Sabtu, 03 Maret 2012

Adik cewe yang seksi

diambil dar:http://www.bluefame.com/topic/441259-adek-cewek-yang-sexy-the-complete-series-with-hidden-ending/page__st__40

1.

“Eh yang itu cakep tuh..”
“Nggak ah cakepan yang kanannya.. Lebi imut...”
“Ah nggak nurut gue cakepan yang kiri..”

Ini kebiasaan teman-temanku setiap jam istirahat ketiga pada hari Kamis. Kami, siswa-siswi SMA, pulang sekolah pukul 13.30 setiap harinya; sementara siswa-siswi SMP sudah mengakhiri pelajaran pada pukul 11.45, bertepatan dengan jam istirahat ketiga kami.

Setiap saat itulah, teman-temanku berdiri bersandar di balkon dan menonton siswa-siswi SMP sekolah kami yang sedang berjalan pulang sekolah. Seringkali mereka mengomentari siswi-siswi mana yang imut atau cantik, dan terutama yang menurut mereka memiliki tubuh yang seksi. Beberapa temanku bahkan sering bersiul pada mereka, atau menggoda mereka, hanya untuk menarik perhatian salah satu dari cewek-cewek SMP yang cantik-cantik itu. Hari ini pun begitu, sementara aku duduk di bangku panjang sambil mendengarkan iPod ku.

“Dit! Dit! Vany tuh!”

Nah, di antara semua cewek SMP yang lain, ada satu cewek yang paling menarik perhatian hampir semua temanku (dan sepertinya hampir semua cowok di SMA dan SMP, dan mungkin bahkan beberapa bapak guru). Cewek itu adalah Stevany, adik perempuanku. Stevany 4 tahun lebih muda dariku, dia duduk di kelas 2 SMP.

Sebenarnya Vany sama seperti cewek-cewek yang lain; dengan tinggi badan 153 cm dan berat 46 kg, Vany tergolong kecil mungil, tidak tinggi semampai. Rambutnya yang hitam pun hanya dipotong pendek sebatas leher. Memang wajahnya sangat imut dan kulitnya pun putih mulus tanpa cacat, tapi bukan itu yang membuat teman-temanku tergila-gila padanya.

“Duh gilak tuh anak cute banget sih!!”
“Sexy banget, maksud lu..!?”

Yap... Kontras dengan wajahnya yang sangat imut seperti anak kecil, Vany bisa dibilang sangat sexy. Alasan utamanya—dan aku yakin bagian inilah yang selalu dilihat oleh hampir semua cowok—Vany memiliki dada berukuran 34 C, yang termasuk sangat besar untuk anak seusianya. Bentuknya pun sangat bulat dan penuh.

“Duh gue ngaceng... Gede banget gilak...”
“Hus! Ada kakaknya tuh.. Ntar lu dibunuh... Hahaha”

Tiba-tiba teman-temanku ber “Oooh...!!” seru. Aku melongok ke arah lantai dasar, mencari tahu penyebab “Ooh..!!” tiba-tiba itu. Pantas, pikirku. Vany sedang berlari berkejar-kejaran dengan beberapa cewek lain. Aku tahu apa yang diperhatikan oleh teman-temanku: dada Vany yang berguncang-guncang menggiurkan saat ia berlari. Aku melirik ke arah teman-temanku, dan aku dapat melihat tonjolan-tonjolan tegang di bagian tengah celana panjang mereka.

“Heh! Udah! Adek gue bukan tontonan!” ujarku. Teman-temanku menoleh.
“Yee... Salahnya adek lu punya badan kayak gitu..” kata Martin, salah satu temanku.
“Toket kayak gitu, lebih tepatnya,” kata yang lain.
“Ah, udalah! Nyebelin...” kataku gusar. Aku berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan teman-temanku yang menatapku gelisah.

Sebenarnya hal ini sudah membuatku gelisah beberapa waktu belakangan ini. Sejak adikku kelas 6 SD, entah kenapa seolah-olah dadanya seperti dipompa; pertumbuhannya pesat sekali! Hampir setiap pergantian semester, adikku ini mengeluh bra-nya sudah kesempitan, dan ternyata ukurannya sudah bertambah besar lagi. Di saat teman-teman seusianya masih belum mengenakan bra, Vany sudah mulai memilih bra mana yang harus dikenakannya, dan saat teman-temannya mulai merasakan pertumbuhan di dada mereka, milik Vany bahkan sudah jauh lebih besar dari milik ibuku.

Dan, yang paling membuatku khawatir, adalah kenyataan bahwa bagaimana pun, aku juga seorang cowok normal, yang juga bisa terangsang bila melihat sepasang dada yang bulat dan sangat besar seperti miliknya. Bahkan sudah beberapa lama ini aku menahan godaan untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang kakak pada adiknya.

Sabtu, 7 Juni 2008 – 21.15

“Kaak... Deek... Turun sini!! Udah mulai nih upacaranya!”
“Iyaa... Bentar aku turun!!”

Ayahku memanggil. Beliau dan Ibuku sedang menonton upacara pembukaan Euro 2008 di ruang keluarga. Ayahku memang sangat menggemari sepak bola, begitu pula dengan aku dan Vany. Hanya ibuku yang tidak terlalu suka sepak bola, tapi karena dikeroyok 3 orang penggemar bola di rumah, akhirnya ibu menyerah dan ikut menonton. Toh, beliau ikut senang melihat upacara pembukaan yang meriah.

“Heeii bagus loh ini!!” suara ibuku yang memanggil kali ini.
“Yaya bentaarr!!! Nanggung!!” aku berteriak.
“Ngapain sih, kamu?”

Aku tak menjawab. Aku sedang melihat foto-foto liburan keluargaku yang terakhir ke Bali. Well, sebenarnya hanya foto Vany yang kulihat... Sudah beberapa minggu—mungkin beberapa bulan—terakhir ini aku sering menghabiskan malamku memelototi foto-foto Vany di komputerku. Makan apa sih kamu, aku sering berpikir begitu. Koq bisa jadi segede itu...

Aku sampai ke foto-foto kami di pantai... Vany mengenakan tank-top putih dan kain sarung Bali di foto itu.
Aku menekan tombol ‘next’, foto berikutnya. Vany sedang bermain air di pantai. Tank-topnya basah, samar-samar memperlihatkan bikininya yang berwarna biru muda, tampak kesulitan menahan dadanya yang besar. Celanaku mulai menyempit di bagian selangkangan.
‘Next’ lagi... Oh, ini video, batinku. Masih Vany yang bermain air. Tapi kali ini ia berlari kecil. Mataku terpaku pada dadanya yang berguncang-guncang. Sangat menggiurkan. Aku merasakan tonjolan di celanaku semakin membesar. Aku merogohkan tanganku ke dalam celana, dan perlahan mulai mengocok penisku yang sangat tegang.
Aku memejamkan mata, pikiranku mulai melayang...

“Heh! Kakak liat apa tuh sampe melotot gitu?!”

Aku melonjak kaget di kursiku. Astaga! Aku lupa mengunci pintu tembusan antara kamarku dan kamarnya! Vany berjalan mendekat. Cepat-cepat aku menarik tanganku keluar dari celana. Tapi aku tak tahu bagaimana menyembunyikan tonjolan besar dari balik celanaku ini! Vany sudah membungkuk di belakangku.

“Eeh... Nggak koq... Ini lagi ngeliat foto-video waktu kita ke Bali terakhir...” kataku gugup. Aku buru-buru menarik bantal kecil di ranjangku untuk menutupi selangkanganku.
“Hoo... Hm? Koq isinya fotoku semua?” katanya sambil menekan-nekan tombol next-next-next-next... Memang foto-fotonya sudah aku kelompokkan kedalam satu folder sendiri.
“Eeh? Eh... Mm... Biar gampang milihnya kakak kelompokin ke dalem satu folder gitu...”
Jantungku berdegup-degup kencang.
“Ooo... Yaya...” aku merasakan ada nada keraguan dibalik suaranya, “Yuk turun.. Udah mulai tuh! Lucu loh ada sapi-sapi segala!”
“Oke oke.. Yuk...”
Aku mematikan komputerku. Vany menggamit lenganku saat kami berjalan keluar kamar dan turun ke bawah. Kami duduk bersebelahan.

“Kak,” tiba-tiba dia berbisik. Sangat pelan.
“Hm?”
“Kakak ngaceng ya tadi waktu ngeliat fotoku? Dosa loh kaak... Hihihi...” bisiknya.
“HAH?! Eh... Ng... Nggak koq!” ujarku gelagapan.
“Aku liat koq kak tadi...” bisik Vany. Senyum jahil melintas di wajahnya yang imut.
“Eh...”
“Bilang mama aahh...” senyumnya semakin jahil.
“Ehh! Eh jangan Van!” bisikku panik.
“Hehehe nggak dehh...”

Kami terdiam... Tomas Ujfalusi dan Alexander Frei, kapten Swiss dan Ceko, berjalan memasuki lapangan. Pertandingan segera dimulai.

“Kak,” bisiknya lagi.
“Ya?”
“Punya kakak gede banget...”

Cepat-cepat aku menarik bantal.


Selasa, 10 Juni 2008 – 01.40

“Kak, bangun! Udah mau kick off tuh!”
“Mmm...”
“Aaa... Kak! Luca Toni tuh! Gattuso! Pirlo! Aaa... Buffon Kak!”
“Mmm....”
“Kaakk... BaanguuUnn...”

Pagi itu pertandingan grup C Euro 2008, Belanda vs Italia. Kami menonton di kamarku. Vany memang pendukung setia Italia, sedangkan aku pendukung baru Belanda. Sebenarnya aku pendukung setia timnas Inggris, tapi sayang sekali Inggris tidak lolos tahun ini, jadi aku beralih mendukung Belanda. Aku dengar tahun ini pelatih Van Basten membawa kejutan dalam timnas Oranye.

“KAAK! Udah kick off!!! Kak.... Kaaakkk.. Bangguunn..!!! Iih nyebelin!!” Vany habis kesabaran, mengguncang-guncangku hingga terbangun.
“Eeehhh... Eh... Ehh... Iya iya iya udah bangun ini!!” kataku mengantuk. Vany terus mengguncang-guncang badanku, tidak mempedulikan protesku. Tapi pemandangan yang aku lihat setelah itu benar-benar membuatku tidak mengantuk sama sekali.

Vany rupanya telah duduk mengangkang di atas perutku. Baju tidurnya yang putih-pink terlihat tipis sekali dini hari itu. Dadanya yang besar menggelayut, dan samar-samar aku melihat 2 tonjolan kecil di masing-masing ujungnya. Vany nggak pake bra?
“Bangun,” ulangnya, nyengir.
“I... Iya...” entah kenapa aku merasa mukaku terbakar. Rupanya Vany menyadarinya. Nyengirnya makin lebar.
“Kenapa mukanya merah, Kak...” suaranya pelan, menggoda. Vany mendekatkan wajahnya ke arahku, hingga hanya berjarak beberapa senti saja. Penisku mulai menegang. Aku menelan ludah, memberanikan diri.
“Van...”
“Hm?”
“Kamu... Kamu beneran liat kakak ngaceng waktu itu?” tanyaku gugup.
Vany mengangguk, tersenyum.
“Koq bisa gitu, Kak? Sampe setegang itu?”
“Yah... Eh...”
“Apa karena... Punyaku gede?” dia tidak menunggu jawabanku.
“Yah...” Aku mengangguk. “Iya... Jujur, iya...”
“Hmmm...” muka Vany memerah. Ia berkata pelan, “Emang segede itu ya?”
“Well... Buat anak seumuran kamu sih gede banget, Van...” kataku. “Kamu tau banyak cowok yang nafsu banget sama punyamu?”
“Iya...” katanya perlahan. “Kakak juga?”
Aku tak dapat menjawab. Aku merasa bersalah. Tapi Vany tersenyum.
“Gapapa, Kak...” ujarnya. “Aku gapapa koq kalo kakak yang nafsu... Hehee...”
Penisku semakin tegak berdiri.
“Be... Bener?” Ia mengangguk. Vany menunduk, mengecup pipiku. Dadanya menekan dadaku. Tepat saat itu tanpa sengaja pantatnya yang empuk menyenggol penisku yang sudah sangat tegang. Vany melonjak kaget.
“Kak... Kakak tegang lagi...” bisiknya perlahan. Ia berbalik, memunggungiku, menatap tonjolan besar di balik celana pendekku. “Be... Besar banget...”

Saat itu 2 hal bergejolak di dalam diriku: nafsu dan logika. Logikaku berkata aku ini kakaknya, dan sesexy apa pun Vany, dia adikku. Tapi nafsuku berkata, Vany itu cewek yang luar biasa sexy, yang sedang duduk di atas perutku menghadapi penisku yang tegang.

Nafsu memang selalu lebih kuat dari logika.

Aku mendudukkan diri, sehingga Vany merosot ke pangkuanku. Penisku benar-benar terjepit di antara kedua pahanya yang mulus sekarang. Aku merasakan penisku berdenyut-denyut tegang.

“Kak...?” bisik Vany.

Aku mulai mencium belakang telinganya dengan lembut, kemudian turun ke arah rahang belakangnya. Aku mencium perlahan tapi pasti, sesekali menjulurkan lidahku untuk menjilatnya lembut.

“Hhh... Ka...k...” Vany mendesah pelan.

Perlahan, lehernya kulumat. Vany menelengkan kepalanya, sehingga dapat dengan cukup mudah aku mencium lehernya. Nafasnya semakin berat.

“Mmhhh... Kak.. Kaakk... G... Ga boleh l...lohh... Mmhh...” desahnya perlahan, memperingatkanku. Aku tak peduli.

Vany mulai menggeliat keenakan, membuat penisku tergesek pahanya. Bahkan walaupun di dalam celana, aku merasakan nikmatnya. Tak tahan, aku menanyakan sesuatu padanya yang mungkin sangat ingin ditanyakan oleh hampir setiap cowok di sekolah.

“Van... Boleh kakak pegang toket kamu?”

Vany terdiam. Aku bisa merasakan pertentangan di dalam dirinya. Namun, sekali lagi, nafsu mengalahkan logika. Vany mengangguk lambat.
Tak menunggu disuruh dua kali, perlahan-lahan aku menjangkaukan tanganku di bawah ketiaknya, dan dengan lembut aku meremas kedua buah dadanya yang besar dan menggiurkan itu. Sensasi empuk dan bulat penuh memenuhi tanganku yang tak cukup besar untuk meremas buah dadanya secara keseluruhan. Aku bisa merasakan putingnya. Benar dia tidak memakai bra.

“Aahh... Kaak... Mmmhh... Pe... lan.. Pelan...” Vany mendesah nikmat. Kedua tangannya mencengkeram erat seprei di ranjangku.

Aku masih menjilati lehernya, kali ini cukup cepat. Kedua tanganku meremas-remas dadanya yang empuk dan besar, yang sudah menjadi kencang karena terangsang. Jari-jariku memainkan putingnya yang sudah tegang dan keras.

“Koq udah keras banget gini, Van?” bisikku menggodanya.
“Mmhh... Abisnya... Mmmhh...”
“Kalo diginiin jadi tambah keras nggak?” Aku menjepit kedua putingnya di antara jari telunjuk dan jempolku, kemudian memelintirnya perlahan-lahan.
“Aaahhh... Aaaahhh... Kaakkk..!!!”

Saat itu aku merasakan penisku tersiram sesuatu. Rupanya Vany sudah sangat basah sehingga cairannya ikut membasahi penisku. Aku meremas dadanya semakin kencang, sambil terus melumat leher dan belakang telinga Vany.

“Ooohh... Kakk... Kak.. Kalo gini teruss... Aku... Akku...”
“Kamu kenapaa?” Tangan kananku memainkan putingnya, sementara yang kiri meremas lebih kuat.
“Aku... Aaahhhh... Mmmhh... Kaakk... Mmhh...”
“Kenapa...”
“Ga... gapapa... Ooohh... Ka...k..”

Aku merasakan penisku semakin tegang, nafas Vany pun semakin tak karuan. Ia menggeliat-geliat keenakan, merangsang penisku semakin hebat.

“Van, pegang penis kakak donk...”
“Mmmhhh... Ga... Ga... Ga bo...leh ah, Kak... Hhhh...”
“Boleehh... Ayo... Gapapa koq...” aku membujuknya.
Ragu-ragu, Vany melepaskan cengkeraman tangan kananya, dan meletakkan jari telunjuknya di kepala penisku. Rasanya sudah mau kuledakkan saja spermaku saat itu.

“Van, digenggam aja...”
“G... Ga ah kak... Gini aja.... Mmhh...” Ia memainkan jari telunjukknya di sekitar tonjolan di balik celanaku itu. Itu saja cukup, pikirku. Aku meremas dadanya yang besar semakin liar, memainkan putingnya dan menjilati lehernya dengan ganas. Aku mulai menggosok-gosokkan penisku ke selangkangannya yang sudah sangat basah.

“Aaahhh... Kaakk... Kak... Aku... Aku bisa.. Aku bisa kelu...arr.. Mmmhhh...”
“Keluarin aja... Mmhhh... Gapapa...” Aku menggerakkan pahaku semakin kuat, rasanya aku sendiri sudah mendekati klimaks. Aku mengeluarkan penisku dari celanaku, membuatnya bergeletar liar menggesek selangkangan dan paha Vany. Remasanku semakin kencang dan liar. Aku benar-benar sudah mau keluar.

“Kaakkk... Kaakkk... Aku... Aku KELUAR... aaAAHHH... AAHHH!!!”

Slllsssrrrlsshhhhh.... Aku terkejut saat penisku tersemprot cairan vaginanya. Vany orgasme dan squirting, menyemprot penisku dengan sangat kuat. Tak butuh waktu lama untukku untuk mencapai giliranku.

“Ooohhh... VAAANNN!!! MMMMHH!!!”

Aku meledakkan spermaku satu, dua, empat, enam kali dalam jumlah besar, melumuri paha dan perutnya, bahkan ada yang menyemprot hingga dada dan wajahnya yang imut.

Vany terkulai ke ranjang. Ia terlentang, dadanya yang besar bergerak naik-turun mengatur nafas. Putingnya masih sangat tegang. Aku mengatur nafas. Penisku masih sangat tegang, mungkin karena hasrat yang sudah kupendam begitu lama untuk merasakan empuknya dada Vany yang besar. Aku siap untuk melangkah lebih jauh lagi.

Tapi saat itu logika kembali ke pikiranku. Tidak, batinku. Ini sudah cukup parah buat kakak-adik. Aku melirik Vany yang tergeletak lemas, celananya basah kuyup. Paha, perut, dadanya yang besar dan wajahnya berlumuran cairan putih kental milik kakaknya. Aku tersenyum.

“Thanks Van...” bisikku.
“Hhh... Hhh...” Vany masih terengah-engah. “I... Hhh... Iya... Sama-sama...”

Aku terdiam, terpaku menatap layar TV. Rafael van Der Vaart sedang bersiap mengambil tendangan bebas untuk Belanda.

“Kak...”
“Ya?”
“Jangan lagi ya... Dosa...” bisiknya lemah menegurku.
“Oke...”

Van der Vaart menendang bola lambung, tinggi ke arah tiang jauh. Buffon menepis.

“Van...”
“Hm?”
“Tapi...” terlintas pikiran jahil dalam benakku, “Enak nggak?”

Joris Matijsen mengambil bola muntah, mengopernya pada Wesley Sneijder. Aku menoleh, dan dalam gelap, aku melihat senyum mengembang di wajah Vany yang kelelahan.
“... Enak, Kak...” jawabnya. “Enak banget...”

Ruud van Nistelrooy meneruskan tendangan Sneijder ke gawang Buffon.

“Van...”
“Ya?”
“Belanda gol tuh...”
“APA?! KOQ BISA!!!!”

2.
“Yang ini aja...”
“Nggak ah, Kak... Bagusan yang ini tau...”
“Hmm... Masa sih?”

Sore itu aku dan Vany sedang berada di dalam sebuah toko yang menjual berbagai kartu ucapan di sebuah mall di dekat rumah kami. Kami sedang memilih kartu ucapan untuk salah seorang teman Vany yang akan berulang tahun sebentar lagi. Sudah sekitar setengah jam kami berputar-putar di antara rak-rak yang memamerkan berbagai macam kartu ucapan yang unik dan lucu, tapi kami masih belum menemukan pilihan yang tepat. Vany menarik sebuah kartu bergambar anjing kartun lucu yang sedang mendengarkan iPod dari raknya.

“Kalo yang ini?” tanyanya kepadaku.
“Hmm... Boleh juga, sih...” jawabku. “Bisa diputer-puter, ya?”
“Ya... Lucuu...”

Aku tersenyum, menunduk, mencium ubun-ubun kepalanya. Vany mendongak, menatapku sambil tersenyum. Ia menyenderkan kepalanya ke pundakku.

“Luv u, Kak...”
“Luv u too, Van...”

Sambil tetap meletakkan kepalanya di pundakku, ia kembali melihat-lihat kartu bergambar anjing yang ia ambil tadi. Seolah ia telah menentukan pilihannya.

“Yang ini aja ya, Kak?”
“Ya... Itu bagus,” jawabku.

Vany nyengir manis sekali, kemudian menggandeng tanganku ke arah kasir. Setelah membayar, kami keluar dari toko kartu itu, masih bergandengan tangan. Kami benar-benar menikmati jalan-jalan kami petang hari itu; kami berjalan perlahan-lahan, sesekali aku memainkan rambutnya yang pendek-kaku, kemudian menciumnya lembut. Vany membalas dengan tusukan nakal jari telunjuknya di pinggangku, bermaksud menggelitikku. Kami saling berbagi candaan dan menggoda satu sama lain, berfoto berdua, pokoknya benar-benar menyenangkan.

Yap. Seperti itu lah aku dan Vany, adik perempuanku satu-satunya, sekarang. Mesra sekali. Sejak kejadian malam itu (saat Belanda akhirnya melibas pasukan tua Italia 3-0—silakan baca episode 1) kami menjadi sangat dekat. Kami memang sudah memiliki hubungan yang baik sebelumnya—kami hampir tidak pernah bertengkar—dan kejadian itu sungguh-sungguh merekatkan kami, layaknya sepasang kekasih.

Sejak kejadian malam itu, kami saling berjanji untuk tidak mengulangi kegilaan seperti itu lagi... Dan kami berhasil! Kami menonton pertandingan-pertandingan Euro selanjutnya dengan seru, dan saling menghormati satu sama lain, menyadari status kami sebagai kakak-adik.
Tapi, aku tidak bisa memungkiri bahwa sejak malam itu, Vany selalu ada dalam pikiranku. Dan setiap malam, sebelum tidur, bayangannya lah yang muncul di benakku. Aku tahu aku harus menolak pikiran-pikiran itu, tapi hasilnya malah pikiran itu muncul semakin menggila setiap kali aku onani. Setiap kali aku melakukannya, selalu muncul gambar-gambar kejadian malam itu; bagaimana aku meremas dadanya yang empuk dan besar, bagaimana putingnya mengeras, bagaimana pahanya yang mulus menjepit dan menggesek penisku, erangan dan desahan nikmatnya, dan tubuhnya yang tergeletak lemas berlumuran spermaku tak pernah bisa kuhapus dari pikiranku. Bayangan itu sungguh efektif dalam merangsangku, begitu efektifnya hingga tak cukup hanya satu kali keluar saat onani untuk memuaskan nafsuku.

Aku tak tahu apa yang Vany alami setelah malam itu; apakah dia juga mengalami apa yang aku alami atau tidak, aku tak tahu. Yang aku tahu, ia semakin sayang pada kakaknya, dan—jujur saja—ia terlihat semakin sexy sejak malam itu. Seolah dadanya yang besar bertambah besar dan menonjol menggiurkan, tetapi wajahnya yang imut bertambah imut dan polos. Ooh... Paradoks seperti itu sungguh menggairahkan!


* * *

Selasa, 17 Juni 2008 – 22.10

“Kaak... Ntar bangunin aku ya kalo udah mulai...”
“Kamu pasang weker juga lah, Van...”
“Udaah... Tapi takutnya ga bangun... Ya?”

Vany sedang menjulurkan badannya dari balik pintu tembusan antara kamarku dan kamarnya (kamar kami dihubungkan dengan kamar mandi), dan memintaku membangunkannya saat pertandingan Italia vs Prancis berlangsung nanti. Pertandingan ini merupakan pertandingan penentuan, dengan Belanda yang telah lolos dari grup maut C, posisi kedua diperebutkan Romania, Italia, dan Prancis. Pemenang laga Italia melawan Prancis akan lolos apabila Belanda berhasil mengalahkan Romania pada laga terakhir. Jika Romania menang, maka Romania-lah yang lolos mendampingi Belanda, tak peduli hasil pertandingan Italia melawan Prancis.

“Oke...” Aku mengangguk, setuju. Aku masih tetap menghadapi komputerku.
Vany berjalan ke arahku, memelukku dari belakang, mengecup pipiku.
“Thanks, Kak...” bisiknya lembut.
Aku tersenyum, menoleh menatapnya, dan mencium hidungnya yang mungil. Vany mengernyit, tapi nyengir setelahnya. Ia mencium pipiku lagi kemudian berbalik ke arah kamarnya.

Aku mendengar debam pintu ditutup di belakangku. Cepat-cepat aku mengganti screen komputerku. Aku sedang mengetik cerita tentang kejadian beberapa malam yang lalu itu. Aku sudah berjanji pada teman-temanku di Bluefame untuk membagikan cerita ini pada mereka.
Setengah jam berlalu, aku masuk bagian ketiga, bagian yang paling seru. Sambil mengetik, aku membayangkan apa yang kulakukan malam itu dengannya. Kupejamkan mataku... Sama seperti sebelumnya, bayangan-bayangan itu muncul dalam benakku. Jelas sekali... Aku membayangkan tanganku sedang meremas dadanya yang empuk dan sangat besar, memainkan putingnya yang semakin lama semakin mengeras dan menegang menggiurkan. Aku menyenderkan badanku ke kursi, merogohkan tangan ke dalam celanaku. Penisku sudah mengeras. Pelan-pelan, aku mengocoknya.

Oohh Vany toket kamu gede bangeeet siih...

Penisku semakin tegang dan membesar, kocokanku semakin keras.

Empuuk... Putingnya keras bangett... Hornya,ya Van?

Tanganku bergerak semakin cepat. Bayangan-bayangan semakin jelas.

Oh my God paha kamu ngegesek penis kakak...

Nafasku semakin cepat.

“Aah...”

Astaga, aku bahkan dapat mendengar suara desahannya dalam benakku.

“Mmmh... Mmm...”

Oh suaranya jelas sekali...

“Mmhh... Ssshhh... Aah...”

Astagaa... Aku akan segera keluaar!!!

Tapi saat itu aku sadar... Bayangan tidak bersuara! Aku membuka mataku, diam terpaku, mendengarkan...

“Mmmhh...”

Samar-samar, dari kamar sebelah, aku bisa mendengar suara desahan tertahan. Vany kah? Apa yang sedang dilakukannya?

Mengendap-endap, aku berjingkat ke arah pintu kamar mandiku, yang menghubungkan kamarku dengan kamarnya. Perlahan, sangat perlahan, aku membuka pintu kamar mandiku, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun.

“Aahh... Mmmhhh...”

Desahannya semakin terdengar. Aku menjulurkan kepalaku ke dalam... benar saja; pintu kamar mandi yang menuju ke kamarnya terbuka sedikit. Mungkin Vany lupa menguncinya malam ini. Aku berjingkat perlahan ke arah pintu yang terbuka sedikit itu, dan dari celah pintu itu aku mengintip ke dalam kamar adikku.

Lampu kamarnya telah dimatikan, hanya tersisa lampu meja yang menyala oranye redup. Vany meringkuk di atas ranjangnya, tubuhnya yang mungil miring ke kanan, menggeliat-geliat pelan. Tangan kanannya merogoh bagian depan celana pendeknya, menjangkau vagina dengan tangannya, sementara tangan kirinya meremas salah satu dadanya yang besar menggiurkan itu. Vany sedang masturbasi!

“Aahhh... Aaahhh....” desahnya nikmat.

Aku terpana. Tidak pernah sebelumnya aku berpikir bahwa adikku yang polos dan imut-imut ini juga memiliki pikiran yang erotis hingga bisa masturbasi. Terdiam sejenak, aku sadar bahwa akulah yang memasukkan pikiran-pikiran seperti itu dalam benaknya. Jika kejadian malam itu tak bisa hilang diingatanku—yang telah sering ML apalagi hanya petting seperti itu—tentunya lebih tidak bisa hilang lagi dalam pikiran Vany yang masih polos dan baru pertama kali melakukannya. Tersenyum, aku membalikkan badanku, bermaksud meninggalkan Vany dalam fantasinya. Tapi, baru setengah langkahku terangkat, aku mendengar sesuatu yang membuatku tertegun.

“Mmmhh... Kak... Kaak...”

Jantungku serasa berhenti. Astaga! Rupanya aku yang dibayangkannya! Penasaran, aku berbalik, hendak mengintip ke arah kamarnya lagi, melihat apa yang terjadi. Namun, karena gelap, aku menyenggol tempat sampah kamar mandi yang terbuat dari besi, sehingga jatuh berkelontangan.

Tanpa melihat pun, aku tahu Vany tertegun di ranjangnya. Hening mencekikku. Aku dilanda kebingungan, berbalik ke kamarku sepelan mungkin, atau membereskan dulu tong sampah itu baru berbalik. Sebelum aku mengambil keputusan, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, lampu menyala. Vany berdiri di ambang pintu. Tubuhnya berkeringat, wajahnya yang imut diliputi kecemasan dan terkejut.

“Eh... Kak? Nga... Ngapain?” Vany bertanya gugup.
“Hah? Oh? Nggak koq nggak ngapa-ngapain... Eh... Belum tidur?” aku tak kalah gugupnya.

Terdiam. Kami membatu di tempat masing-masing, menyadari kejanggalan yang terjadi. Vany memberanikan diri bertanya.

“Kakak... Tadi liat aku?”
“Ah? Ah...” Aku gelagapan, tak tahu harus menjawab apa. “Eh, ya... Lebih ke arah denger sih...”

Terdiam lagi.

“Tadi pintunya agak kebuka sedikit...” lanjutku sambil mengangguk ke arah pintu yang menuju kamarnya.
“Oh, ya...”

Terdiam lagi. Suasana ini tidak menyenangkan. Wajah Vany merah padam.

“Mm... Kakak... Denger semua?” suara Vany sangat pelan hampir berbisik. Aku terdiam, tak mampu menjawab.
“Yah... Ya... Kamu bayangin... Kakak?” tanyaku. Langsung ke sasaran.
“Hah? Eh...” wajahnya tambah merah padam. “Yah... I... Ya gitu deh...”
“Oh ya?” jawabku canggung. Tak tahu melanjutkan ke mana.
“...Yang malem itu...” bisik Vany.

Aku terdiam. Sudah kuduga ia akan memikirkan apa yang kami buat malam itu. Perasaan bersalah terasa menyakitkan menusuk hatiku. Kami terdiam, terpaku di tempat masing-masing, bingung harus melakukan apa selanjutnya.

“Eh... Yah... Yasudah... Kakak tidur dulu?” kataku gugup.
“Hah? Oh... Ya... Oke... Nanti bangunin aku ya...” kata Vany, senyum gugup mengembang di bibirnya yang mungil.

Vany membantuku membereskan sampah yang sedikit berserakan. Aku tersenyum, mengecup keningnya, kemudian berbalik, hendak kembali ke kamarku, berusaha melupakan apa yang kulihat barusan. Saat itulah Vany memelukku dari belakang.

“Kak...” bisiknya.
“Ya?” jawabku, berusaha setenang mungkin.
“Kakak... Juga mikirin yang malem itu?” Vany bertanya takut-takut.

Hening.

“Kak?”
“Ya... Iya...”

Hening lagi.

“Yang pas apa yang kakak bayangin?”
“Heh? Koq nanya kayak gitu?”

Aku mendengarnya tertawa kecil. Vany semakin mempererat pelukannya. Dadanya yang empuk menekan punggungku, enak sekali... Aku merasa celana pendekku mulai menyempit.

“Kamu bener-bener kepikiran, ya?” tanyaku. Aku merasakan anggukan kecil kepalanya.
“Pengen... Lagi...” katanya pelan.
“Heh! Katanya waktu itu jangan lagi... Dosa...” jawabku. Aku agak geli.
“Iya... Tapi...”

Aku tersenyum, membalikkan badanku. Vany menunduk, terlihat lesu.

“Hei...” sapaku lembut. Kuangkat dagunya perlahan. “Ga baek tau kita gitu... Kan kakak-adek... Waktu itu udah janji juga kan kita ga mau gitu lagi... Ya kan?”

Apa yang kukatakan ini sungguh bertentangan 180 derajat dengan apa yang kurasakan. Penisku yang menegang serasa berdenyut-denyut di balik celana pendekku. Ingin rasanya aku langsung melumat bibirnya yang mungil itu dan menghujamkan penisku ke dalam tubuhnya. Tapi, bagaimana pun, aku kakaknya. Aku tahu itu tidak boleh.

“Iya... Iya sih...” jawabnya, lembut. “Sorry...”
“Hm? Koq sory?”
“Abis... Kan udah janji waktu itu...”

Tidak boleh, dia adikku. Aku terus memberitahu diriku sendiri. Tapi saat itu aku mataku terantuk pada dadanya yang besar menantang. Penisku semakin mengeras. Aku menggelengkan kepala.

“Kakak nggak pengen lagi?” tanyanya, polos.

Nggak.

“Yah...”

Bilang nggak pengen.

“Eh...”

Stop.

“Ya... Yah... Jujur sih... Eh...”

Dia adik lu!

“... Ya pengen sih...” Bagaimana pun aku kalah lagi. Vany mendongak, menatapku. Saat itu wajahnya terlihat imut sekali.
“Karena toketku?” tanya Vany.
“... Iya... Sory...” jawabku lemah.
“Gapapa...” jawabnya. Mukanya merah padam.
“Abis... Gede banget...”
“Segede itu kah?” tanyanya perlahan, kedua tangan mungilnya memegang dadanya, meremasnya, seolah tak percaya bahwa dadanya memang sangat besar.


Aku tak tahan lagi. Kupeluk tubuh mungil Vany. Dadanya yang besar menekan dadaku. Aku mencium bibirnya yang mungil, lembut. Vany terkejut. Sesaat seolah ia akan meronta melepaskan diri dari pelukanku, namun detik berikutnya ia telah membalas ciumanku.

Ciuman kami bertambah panas. Lidahku perlahan masuk ke dalam mulutnya, memainkan lidahnya. Vany cepat belajar rupanya, segera membelit lidahku dengan lidahnya yang mungil. Decak lidah kami terdengar menggiurkan di dalam heningnya malam itu. Tanganku merogoh pantatnya, meremasnya. Baru kali ini aku menyadari pantat Vany juga montok dan tebal. Vany melepaskan ciuman, mengambil nafas. Benang ludah tipis menghubungkan mulut kami. Sexy sekali.

“Di kamar aja yuk?” ajaknya.
Aku mengangguk. Kugendong Vany kembali ke kamarnya, kurebahkan tubuh mungilnya di atas ranjangnya. Perlahan, aku merebahkan diri di atas tubuh Vany, kembali melumat mulutnya dengan penuh gairah. Tapi saat itu Vany terbatuk.

“Kenapa?” tanyaku.
“Uhuek... Kakak berat!” katanya terbatuk. Ia tertawa terbahak-bahak. Tawanya yang renyah justru menambah gairahku. Kami berciuman lagi. Nafas kami semakin memburu. Aku menurunkan ciumanku ke rahangnya, kemudian lehernya, perlahan-lahan. Vany mencengkeram rambutku.

“Mmhhh... Jilatin leherku, Kak...”
Aku menurutinya. Aku memutar-mutar lidahku di lehernya, kucium perlahan, terus berulang-ulang. Vany mengejang.

“Enak?” tanyaku.
“Hmmhh... Iya... Lagi kak...” Vany mendesah.

Kali ini, sambil menjilat dan merangsang lehernya terus-menerus, tanganku perlahan meremas dadanya yang seempuk bantal. Rupanya malam ini Vany memakai BH, sehingga tanganku tidak langsung menyentuh putingnya. Tapi aku merasakan puting Vany telah mengeras seperti malam itu.

“Buka aja kaosnya...” pintanya. Aku mengangguk. Perlahan, aku mengangkat kaos piyama warna pink itu. Vany mengangkat kedua lengannya agar bisa kubuka sepenuhnya. Aku tertegun melihat BH warna putih berenda yang dikenakannya. Baru kali ini aku melihat tubuh adikku seperti ini. Dadanya yang besar dan bulat terlihat sangat kesulitan ditahan oleh BH itu. Aku mulai mencium dan menjilat dada Vany, sementara tanganku masih tak puas merasakan empuk dan kencangnya.

“Emang bener-bener gede, Van...” bisikku. Vany hanya tersenyum, menggeliat nikmat. Aku meremas dadanya lagi, ragu-ragu apakah sebaiknya kubuka Bhnya atau tidak. Seolah dapat membaca pikiranku, Vany bertanya.
“Mau liat?” tanyanya, menggoda.

Tak menunggu disuruh dua kali, kutarik BH itu ke atas. Dada Vany yang besar berguncang menggiurkan saat terbebas dari cengkeraman BHnya. Sungguh besar, bulat dan putih mulus sekali, dengan puting yang masih belum pernah tersentuh tangan pria berwarna coklat muda kemerahan. Benar dugaanku, putingnya telah ereksi setegang-tegangnya. Dada Vany benar-benar sempurna.

“Oh my God...” bisikku kagum. “The best...”
“Hehehe... Berisik... Ayo cepet...” katanya.

Aku membenamkan wajahku di antara kedua payudaranya. Empuk, lembut sekali. Sensasi kenyalnya dada Vany membuatku sungguh terangsang. Dada Vany sungguh penuh membungkus wajahku. Aku bergeser. Jemariku memainkan putingnya yang telah tegak berdiri.

“Aaahh... Kakk... MMhhh...” Vany mendesah nikmat. Kujilat dan kusedot puting kanannya, sementara tangan kananku meremas dada kirinya. Kemudian berganti, puting kirinya kusedot dan kujilat perlahan, sementara puting kanannya kumainkan dengan jemariku; kucubit dan kuputar.

“Aaahh... Aaahh... Ka...K... Pelan... Pelaan... Mmmhhh!!”

Aku menyadari Vany lebih terangsang saat puting kirinya kujilat. Rupanya Vany lebih sensitif di puting kiri.

“Kamu lebih suka di sini ya?” godaku sambil menggigit perlahan puting kirinya.
“AAAHH... Aah!! IYA! Ooh... Mmmhhh... Jangan digigiitt... Mm!!” Vany mendesah keenakan. Tubuhnya menggeliat-geliat. Tangannya mencengkeram seprei. Sambil melepas celana pendeknya, aku semakin liar memainkan dadanya yang besar menggiurkan. Kuputar-putar lidahku di kedua putingnya bergantian. Vany tak tahan.

“OOH... Kaakk... Ka... Kalo gitu terus... Aku... Aaahh... Mmhh... Kk...”
“Mau keluar?” tanyaku sambil terus meremas dan menjilat dadanya. Vany mengangguk panik. Aku nyengir nakal. Puting kirinya kujilat sangat perlahan, sementara tangan kananku merogoh selangkangannya. Sudah basah kuyup.

“AaaahhhHH....!!! Kaaakkkk!!!”

Sslllrrssshhhhhhh... Vany mengejang, mengangkat pinggulnya, menyemprotkan cairannya banyak-banyak, membasahi tanganku. Ia terkulai lemas.

“Kenapa kamu? Belon diapa-apain udah squirting gitu?” godaku.
“Hhh... Hh... Enak aja blon diapa... apain... Hh...” jawabnya, terengah-engah. Aku tertawa pelan.
“Masih kuat?”
Ia mengangguk, tersenyum.
“Kakak nakal...” bisiknya. Aku nyengir dan kembali membenamkan kepalaku kedalam bekapan dadanya. Benar-benar enak sekali.
“Mmm... Vnn... Nnii subber bngeddd...(Mmm... Van ini super banget)” kataku dalam bekapan dadanya. Vany tertawa geli. Kedua tangannya meremas dadanya, menekankannya ke arah wajahku, sehingga semakin membekap wajahku. Saat itu ide gila melintas di benakku.

“Van, kamu tau titf*ck?” tanyaku.
“Apa tuh?”
“Itu... Gini...” Aku berdiri, membuka celanaku. Penisku yang tegak berdiri mengacung ke arahnya. Vany melotot memandang penisku.
“Mau diapain, Kak?” tanya Vany.
“Kayak tadi...” Dengan lembut aku berlutut, mengangkang melewati perutnya. Kuletakkan penisku di antara dadanya yang lembut itu. Vany mengerti.
“Ooohh... Iya iya!” katanya, mengangguk-angguk. Vany memegang kedua dadanya yang besar, kemudian menjepit penisku di antaranya. Luar biasa!

“Aaahh!!! Vaan... Ini enak banget!!”
“Enak??” tanyanya.

Tangan Vany meremas-remas, memijat-mijat dadanya. Sensasi empuk dan kencang membungkus penisku. Dadanya sungguh besar hingga yang terlihat hanya kepala penisku yang berwarna merah. Rasanya berdenyut-denyut di antara jepitan lembut dadanya.

“Van, dikocok deh... Mmmhhh... Pelan-pelan,” pintaku.
“Oke...” Vany menggerakkan dadanya naik turun bersama-sama, perlahan. Aku tak dapat melukiskan kenikmatannya dengan kata-kata. Kemudian ia menggerakkan dadanya bergantian, kiri-kanan-kiri-kanan... Benar-benar luar biasa!

“Ooohh... Mmmmhhh... Vaann... Sambil dijilat... Kepalanya...”
Vany menunduk, menjilat kepala penisku. Aku rasa batasku sudah semakin dekat. Seolah mengerti pikiranku, Vany berkata.

“Keluarin aja, Kak... Semprot yang banyak!” bisiknya.
“Okee... Mmmhh... Ben... Bentar laggii... Aaahhh....”
Vany semakin cepat menggerakkan dadanya naik-turun, ia juga mengencangkan jepitannya, tapi jilatannya tetap pelan dan lembut. Aku sudah tak tahan lagi!
“VAAN... Kakak.... MMMMmmmhHHH!!!!”

Crooottt... Crroooottt... Crrroooottt.... Penisku meledakkan sperma kuat-kuat berkali-kali ke wajah imut Vany. Vany memejamkan mata dan menutup mulut rapat-rapat. Aku terus menyemprot hingga hampir seluruh wajah dan dadanya yang besar berlumuran cairan putih kental itu.

Vany membuka mata, menjilat sperma sekitar mulutnya. Cairan putih menetes dari daun telinga, juga poni rambutnya. Wajah polosnya benar-benar belepotan sekarang. Aku mengangkat penisku dari dadanya, masih tegang, sama seperti waktu itu. Rupanya memang tidak cukup hanya sekali untuk memuaskan nafsuku.

“Oke... Sekarang giliran kamu lagi...” kataku.
Aku menunduk ke arah selangkangannya. Kubuka tungkai Vany hingga mengangkang sempurna. Celana dalamnya basah kuyup. Aku menjulurkan jari telunjukku untuk menyentuh vaginanya. Perlahan, kugerakkan naik-turun telunjukku di bibir vaginanya.

“Mmm... Mmhhh... Kaak...” desahnya pelan. Aku menusukkan telunjukku lembut lebih kedalam. Vany menjengit. “Lagi, Kak...”
“Tunggu...” Perlahan, kubuka celana dalamnya yang berwarna putih. Vagina Vany masih belum berbulu, hanya rambut-rambut sangat tipis yang tumbuh sedikit di sekitar bibir vaginanya. Bentuknya pun indah, tembem. Klitoris Vany sudah menonjol keluar. Cairan bening mengalir dari dalam vaginanya.

“Wow... Kenapa badanmu sempurna gini sih?” bisikku menggodanya.
“Apaan sih kakak...” kata Vany.

Tanpa berlama-lama, aku langsung mencium vaginanya. Vany mengejang, menggeliat setiap kali aku menyentuh klitorisnya dengan bibirku. Harum segar sekali baunya.

“Aahh... Kaakk... AaaaHH... Aa...” desah Vany. Aku menjulurkan lidah, kujilat bibir vaginanya yang tembem. Vany menggeliat semakin kuat, mencengkeram kepalaku. Aku meremas pantatnya perlahan-lahan sambil terus menjilati vaginanya.

“Kaakk... Kakakk... Oohh... Mmmhhh... Yess...” Vany mendesah. Nafasnya berat, tak beraturan. Kujulurkan lidahku lebih dalam, kali ini menjangkau bagian dalam vaginanya. Vany mendesah dan mendesis tak karuan, pinggulnya menegang. Aku melirik ke atas, tangan kanannya sedang meremas dadanya yang besar, memainkan puting kirinya yang sensitif. Kugigit lembut klitoris adikku.

“MMM!!! Kaaakkk!!! Keluaaarrrr!!! Aaaahhh... AAAAHH!!!”

Sebelum aku sadar, Vany telah menyemprotkan cairannya ke wajahku. Semprotannya kencang sekali. Untung saja aku sempat memejamkan mata dan menahan nafas. Belum sempat aku mengambil nafas, Vany telah menyemprotkan orgasmenya yang kedua. Lebih banyak kali ini.

“Oohh... Oohh... Mmhhh... Hhh... Hhhh...” Vany terengah-engah tak karuan. Dadanya bergerak naik-turun, mengatur nafas. Aku membenamkan wajahku di dalam selimut, berusaha mengeringkannya. Vany tertawa geli melihat kakaknya basah kuyup.
“Apa kamu ketawa-ketawa...” ujarku. Geli juga sih...
“Hahahaha... Emang aku nyemprotnya sampe segitunya? Hahaha...” katanya geli.
“Hehe... Abis kamu tiba-tiba gitu... Dua kali, lagi...” kataku, akhirnya ikut tertawa.
“Kan aku udah bilang tadi...” jawabnya. Vany terkulai lemah di ranjang, tapi matanya berbinar senang.
“Hehehe... Nakal kamu...” bisikku. Aku merebahkan diri di atas adikku, kemudian melumat bibirnya yang mungil itu dengan sayang. Penisku masih tegang sekali, agak menyentuh vaginanya. Vany berjengit, melepaskan ciuman.

“Kak... Masih tegang, ya?” tanyanya polos. Aku mengangguk.
“Kamu sexy banget sih... Jadi tegang terus...” aku berbisik menggodanya.
“Mau disedot?” tawar Vany sambil tersenyum.
“Heh? Emang kamu bisa?” tanyaku, agak terkejut.
“Bisa... Waktu itu kan pernah ngintip Kakak lagi disedot Kak Grace...” jawabnya, meyakinkanku. Grace itu pacarku. “... Eh... Apa namanya... Oral?”
“Ya... Oral,” kataku membenarkannya. “Nakal ya kamu ngintip-ngintip orang!”

Vany nyengir jahil. Ia mendorongku. Aku berguling ke sisinya, terlentang. Vany bangkit dan membungkuk di atas kakiku, kepalanya menghadap penisku yang tegak berdiri.

“Mulai... Eh... Mulai dari sini kan ya?” tanyanya ragu-ragu sambil menjulurkan tangannya yang mungil untuk menggenggam penisku. Aku mengangguk. Perlahan, Vany mengocok penisku. Aku tahu ia masih takut-takut.

“Mmhh... Enak gitu Van... NnhHh.. Teruss.... Betul... Mhh...” desahku.

Lama-kelamaan Vany semakin yakin dan terbiasa dengan penisku. Kocokkannya semakin mantap. Tak lama kemudian, ia mendekatkan bibirnya ke kepala penisku, menjulurkan lidahnya untuk menjilat. Perlahan-lahan, ia menjilati kepala penisku. Enak sekali.

“Aahh... Ji... Jilat batangnya juga, Sayang... Mmhh...”

Vany menurut. Ia menjilati batang penisku dengan bersemangat. Lama-kelamaan jilatannya semakin berani. Vany memutar-mutar lidahnya di sepanjang penisku.

“Slllrpp... Mmahh... Kaka... Enaa...k... Sllrpp?” tanyanya sambil terus menjilat. Aku mengangguk, memejamkan mata, berusaha menahan agar tidak orgasme terlalu cepat. Tiba-tiba, Vany berhenti menjilatiku. Ia menegakkan tubuhnya, seolah bersiap-siap.

“Abis itu... Gini... Ya...?” Ia membungkuk, memasukkan penisku ke dalam mulutnya yang mungil. Vany harus membuka mulutnya lebar-lebar agar penisku bisa masuk semua. Rasanya luar biasa!

“Mmhh... Ccpp... Bunya... Kak... Gdee... Mmm... Cppp... B... Nget... Puah... Sampe susah nyedotnya...” katanya. Aku tertawa. Ia kembali menyedot penisku, perlahan-lahan. Kepalanya bergerak naik-turun. Di dalam, lidahnya memainkan bagian bawah batang penisku. Ia melakukannya benar-benar seperti sudah profesional.

“Kamu... Mmmhh... Ngintipnya... Sampe kayak gimana... Mmmhhh... Waktu itu?” tanyaku. Tekniknya memang mirip dengan Grace.
“Dari... Mmmh... Slllrpp... Aw...al... Cppp... Mmmm... Sppp... Samp...e... Abiss... Cpp...” jawabnya terpatah-patah. Pantas saja...

Vany semakin cepat menggerakkan kepalanya naik-turun. Rongga mulutnya yang kecil menjepit penisku pas sekali, dan lidahnya yang menggeliat-geliat di bagian bawah penisku sungguh membuatku tak berdaya. Aku tak yakin apakah aku mampu bertahan lebih lama lagi.

“Van... Oohh... Kaka...K... Mmhhh... Aaahh... Mau keluar nih... Aahh.. Kayaknya...”

Vany tidak memedulikanku. Ia menggerakkan kepalanya semakin cepat, kemudian menyedot penisku kuat-kuat sebelum melumatnya hingga ke pangkal. Aku benar-benar tak tahan.

“Vaann... Nnn... MMmhhhh... Uu... Udah... Dikasi.. Tau... Lo... OOOHHH!!!!! AAAAHH!!” sebelum kalimatku selesai, Vany menyedot kuat sekali lagi, dan aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam mulutnya.

“Aahhh... Aaa... AAAHH!!! Mmmhh... OoooH!!!” desahku setiap kali penisku menembakkan cairan ke dalam mulut adikku. Vany terus mempertahankan penisku di dalam mulutnya. Cairan putih kental mengalir keluar dari balik bibirnya. Rongga mulutnya yang mungil tak mampu menahan sperma kakaknya yang menyemprot berkali-kali banyak-banyak.

Aku menghela nafas panjang saat akhirnya selesai. Vany merangkak, merebahkan diri di sisiku, mencium pipiku. Aku menoleh dan melumat bibirnya yang belepotan spermaku. Kami saling membelit lidah. Tak memikirkan betapa hubungan ini sebenarnya terlarang.

“Kak...” katanya lembut.
“Ya?”
“Thanks...”
“Hahaha sekarang kamu yang bilang thanks...”
“Iya donk... Kakak enak banget...”
“Kamu juga...”

Kami terdiam. Aku memejamkan mata. Lelah sekali rasanya. Vany memeluk lenganku. Dadanya yang montok menekan, tapi kali ini aku sudah terlalu lelah.

“Kak...”
”Hmm?”
“Enak mana... Sama Kak Grace?” tanya Vany.
“Oralnya?”
“He-eh...”
“Enak kamu...”
“Bohoooonnnggg...!!” ujarnya. Aku tertawa.
“Hahaha.. Iya deehh... Enakan Grace...” kataku. “Jangan dibandingin donk... Dia bibirnya sexy tebel gitu...”
“Hehehe...” Vany terkekeh.

Terdiam lagi. Apa yang bakal Grace bilang kalo dia tau pacarnya punya hubungan intim dengan adik kandung sendiri?

“Kak...”
“Hm?”
“Lain kali...”
“...Jangan lagi?” aku memotong ucapannya.
“Nggak...” katanya, tersipu. “... Lain kali lagi yuk...”

Aku tertawa. Adikku parah sekali rupanya.

“Besok jalan yuk...” ajak Vany.
“Besok Kakak ada janji sama Cherry,” kataku. Cherry ini sahabatku sejak SD.
“... Mau anal ya?” bisiknya jahil.
“Heehh??? Koq gituuu...??”
“Kan Kakak sering anal sama dia... Aku tau aja...”
“... APAA???”

3.

“Dit! Jaga belakang!”
“DEFENSE! TAHAN ERIC!”

Eric berlari ke arahku, menggiring bola dengan lincah. Samuel mencoba menahannya, tapi ia terus berlari dengan lincah. Sekarang tinggal satu lawan satu denganku. Semua terserah padaku sekarang. Aku bergerak maju, membentangkan tanganku, menutup ruang geraknya. Eric menganyunkan kakinya, menendang. Aku menerkam…

BUAK!!!
Gelap…

“Dit… Dit lu gapapa?”
“Oi… Dit…”

Perlahan, aku membuka mataku… Wajah teman-temanku bergetar dan tampak kabur dalam pandanganku. Aku mengerjapkan mata, saat itulah aku merasakan linu yang amat sangat di selangkanganku. Sangat menyengat dan berdenyut-denyut rasanya. Eric juga menunduk di atasku. Wajahnya pucat pasi.

“Hei, man… Lu… Lu gapapa kan? Gue tadi ga sengaja… Abis…” katanya tergagap.
“Enak aja ga sengaja! Kan udah jelas dia bakal loncat ngambil bola! Kenapa lu tetep hajar sekenceng itu?!” Chris naik pitam, mendorong bahu Eric.
“Tapi… Gue emang ga sengaja!”
“Alaahhh…!!”
“Hei…”

Semua menoleh ke arahku.

“Chris, udalah… Gue gapapa koq. Tadi lengah juga… Ric, gapapa… Gue tau lu ga sengaja…” kataku menghibur. Mataku berair menahan sakit. Perutku mual. Teman-teman tim futsalku berusaha menolongku berdiri. Aku berdiri dan melangkah tertatih-tatih kea rah gawang. Sakit sekali rasanya. Eric benar-benar mengerahkan kemampuan penuhnya tadi.

Hari itu aku dan teman-teman tim futsalku sedang bertanding melawan tim dari kompleks lain. Lapangan futsal di dekat rumahku yang biasa kami sewa sedang mengadakan kejuaraan futsal. Hari itu pertandingan terakhir penyisihan grup. Sebenarnya kedua tim yang bertanding hari itu sudah pasti lolos; kami hanya memperebutkan posisi juara grup, karena bila kami mendapat posisi runner-up, lawannya adalah tim yang sangat jago dari grup lain. Terus terang, kami agak ngeri melawan tim itu.

Saat ini skor imbang 5-5… Pertandingan tinggal tersisa 2 menit lagi. Jika posisi tetap seperti ini, kamilah yang akan lolos sebagai juara grup. Tapi dalam 2 menit terakhir ini tim Eric terus memborbardir gawang yang kukawal.

“Hei… Lu gapapa? Masih bisa maen lagi? Tinggal 2 menit koq…”

Aku mengangguk, berusaha menegakkan badanku di bawah mistar gawang. Pandanganku agak kabur saat ini. Pertandingan dilanjutkan…


* * *



Aku berjalan perlahan-lahan ke arah rumahku. Selangkanganku masih sakit rasanya. Aku mengernyit, jengkel. Saat pertandingan tinggal tersisa 30 detik, sebuah umpan silang dari kanan kotak penalti timku diteruskan Eric dengan sebuah sundulan cantik. Aku benar-benar terkecoh. Akhirnya tim lawan menang 6-5, dan mereka menjadi juara grup.

Aku menggelengkan kepala. Susah sekali berkonsentrasi hari ini, apalagi setelah terkena tendangan bola futsal yang sangat keras tepat di penisku… Urgh!

Aku menggelengkan kepala lagi. Sebenarnya sudah sejak awal pertandingan aku sulit berkonsentrasi. Pikiranku terpaku pada adikku Vany… Terutama apa yang dilakukannya tadi pagi.

Tadi pagi, Vany harus berangkat ke sekolah karena ia menjadi ketua panitia MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah. Hari ini para siswa-siswi SMP baru sudah harus masuk ke sekolah untuk menjalani masa orientasi, dan Vany harus menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Sebelum pergi, pagi-pagi sekali, Vany membangunkanku dengan ciuman nakal perlahan di leherku. Saat aku terbangun, aku melihat adik kecilku yang imut itu tersenyum manis, dengan kancing kemeja seragam sekolah yang tidak dikancingkan dan bra merah muda berenda yang diangkat. Dadanya yang besar menggelayut menggiurkan di hadapanku. Sekejap kemudian Vany sudah menjepit penisku dengan kedua dadanya yang empuk, memijat dan meremasnya perlahan. Aku yang terkejut hanya bisa menikmati sensasi luar biasanya. Tak butuh waktu lama bagiku untuk meledakkan sperma kentalku berkali-kali melumuri wajahnya yang imut. Setelah membersihkan wajahnya, Vany tersenyum puas, mengecup bibirku, kemudian pergi ke sekolah.

Bayangan akan apa yang terjadi pagi itu terus terngiang di kepalaku, bahkan saat pertandingan futsal sedang panas-panasnya sore itu. Mungkin itu yang membuatku dapat kebobolan hingga tujuh gol. Gila…

Lagipula… Sakit sekali... Bagaimana jika aku tidak dapat tegang lagi untuk seterusnya? Apa kata Vany? Grace? Cherry?

Langkahku gontai melintasi halaman rumah. Aku membuka pintu depan rumah. Sepi, kedua orang tuaku sedang menghadiri acara keluarga besarku di Semarang selama seminggu. Aku membanting sepatu futsalku di tempat sepatu, mendaki tangga dengan lemas menuju kamarku, membanting tas dan sarung tangan kiperku, melepas semua pakaianku, kemudian melangkah ke kamar mandi. Aku ingin cepat-cepat mandi air panas. Tanpa memperhatikan apa-apa, aku membuka pintu kamar mandi. Aku tertegun.

Vany sedang mandi dengan santainya. Tampaknya ia tak sadar aku membuka pintu kamar mandi. Vany bermain-main dengan air dari shower, menggosok lengan, leher, pantat, dan tentu saja dadanya yang besar menggiurkan.

“V… Van?”

Vany melonjak kaget. Ia berbalik, melihat kakaknya yang juga telanjang bulat berdiri di hadapannya.

“Eh… Kak? Koq ga ngetok dulu?” tanyanya gugup.
“Hah? Oh… Oh iya… Sory tadi kakak pikir ga ada orang…”
“Oh… Hahaha ya namanya kan kamar mandi bareng… Ketok dulu lah…” jawabnya santai. “Gimana futsalnya?”
“Kalah…6-5… Jadi runner up…” jawabku lemas. “Udah gitu punya kakak ketendang bola kenceng banget lagi… Jarak dekat…”
“Hah??! Oh ya?” ujar Vany terkejut. Ia memperhatikan penisku. “Tapi… Koq… Kayaknya gapapa ya…” lanjutnya. Aku menangkap nada geli dalam suara manisnya.
“Ya iyalah gapapa…. Dasar…” memang saat itu penisku sudah kembali tegang setegang-tegangnya. Segala pikiran tentang apakah aku dapat tegang lagi sirna sudah saat aku meihat tubuh Vany yang basah kuyup sedang mandi.

“Eh… Mm… Jadi…” kata Vany.
“Hah? Oh…” aku tersenyum. “Mau mandi bareng?”

Vany nyengir.

“Dasar nakal…” bisiknya. Tapi ia membukakan juga pintu kaca pembatas ruang shower. Aku masuk, dan seketika itu juga hangatnya air membasahi tubuhku. Damai dan tenang sekali rasanya.

Vany merapatkan dirinya ke arahku. Dadanya yang besar menekan tubuhku, kenyal dan empuk sekali rasanya. Vany mengusap perlahan punggungku.

“Mau aku sabunin, Kak?” tawarnya. Aku mengangguk.

Ia mengambil botol sabun cair, menuangnya ke atas telapak tangannya, kemudian mengusapnya perlahan di punggungku. Aku menunduk, memandang adikku. Vany mendongak, tersenyum. Kami saling bertatapan beberapa lama. Perlahan, Vany mendekatkan bibirnya ke arah bibirku. Aku menyambutnya lembut. Sangat perlahan, kami berciuman. Lidah Vany menusuk ke dalam mulutku dan membelit lidahku. Suara decak ciuman kami semakin lama semakin nyaring. Ciuman kami semakin panas, tapi masih dalam gerakan yang sangat perlahan.

Aku menjulurkan kedua tanganku, meremas pantatnya yang kencang dan bulat. Dalam benakku aku sungguh ingin meng-anal adikku ini suatu hari nanti. Vany menekankan dadanya semakin kencang ke arah tubuhku. Aku dapat merasakan putingnya yang mengeras, seksi sekali.

“Gimana MOS?” kataku saat ciuman kami terlepas. Aku bertanya sambil meremas-remas dadanya yang besar. Empuk dan kenyal sekali. Rasanya sungguh berbeda dengan dada cewek-cewek lain.
“Seru… Tapi anaknya pada susah diatur… Bandel-bandel…” katanya sambil memanyunkan bibir. Aku tertawa.
“Haha.. Bandel mana sama kamu? Hm?”
“Aah Kakak…” bisiknya manja. Tangan mungilnya sudah berpindah mengusap bagian depan tubuhku sekarang. Aku memainkan putingnya yang telah sangat keras. Kujilati putting kirinya yang sensitif, sementara tangan kiriku meremas dada kanannya dengan nafsu. Vany memejamkan menikmati. Perlahan, tangannya bergerak ke arah penisku yang sangat tegang. Vany jongkok, menghadapi penisku sambil mengusapnya perlahan dengan sabun.

“Aduh kacian… Kamu tadi kena bola ya?” Vany berbicara pada penisku, seolah berbicara pada anak kecil yang lucu. Ia mengusap-usapnya, mengocoknya perlahan. Enak sekali.
“Mmhh… Van… Tuh kan… Bandel kamu…” desahku.

Vany nyengir. Ia membiarkan air dari shower membilas sabun dari penisku hingga bersih. Ia menjilat-jilat penisku dengan perlahan, dari pangkal hingga ujungnya.

“Aku sedot ya, Kak? Biar ilang sakitnya…” katanya sambil mendongak memandangku. Aku mengangguk.

Vany segera memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan, ia menggerakkan kepalanya maju, memasukkan semakin banyak bagian dari penisku kedalam mulutnya.

“Van.. Mmhh… Van ati-ati keselek…”

Vany terus memajukan kepalanya. Aku melihat semakin lama ia semakin kesulitan. Saat ¾ bagian penisku sudah masuk, aku merasa kepala penisku telah menyentuh leher dalamnya. Vany memainkan lidahnya di bagian bawah penisku. Enak sekali.

“Aaahh… Vann.. Van.. Terus gitu… Mmmh…”

Vany menyedot semakin kencang. Gerakan kepalanya pun semakin cepat maju mundur. Lidahnya terus bergerak berputar-putar di bagian bawah penisku, menjilat pangkalnya. Aku tak tahan lagi.

“OOOHH.. VAANN… Ka… Kak mau… Keluarrr… MmmmHH!!!”

Aku meledakkan spermaku ke dalam mulutnya. Mulutnya yang mungil tak sanggup menahan semprotan yang begitu kencang. Vany melepaskan sedotannya, membuat semburanku beralih melumuri wajahnya dengan cairan putih kental.

“Ooh… Vaan… Van…” desahku keenakan.

Aku bersandar lemas ke tembok kamar mandi. Vany membiarkan semburan air dari shower membersihkan mukanya. Enak sekali rasanya. Penisku masih tegang, seperti 2 kali sebelumnya, tak cukup hanya sekali aku merasakan kenikmatan adik kecilku ini.

Vany memelukku. Dadanya yang empuk menekan tubuhku. Gejolak antara akal sehat dan nafsu kembali berkecambuk di benakku. Tapi memang nafsu selalu menang. Aku sudah melangkah sejauh ini… Aku rasa sudah terlambat untuk berputar kembali. Aku menunduk, menatap Vany yang balas menatapku. Dari sorot matanya, aku tahu bahwa nafsu juga telah menguasainya.

Tanpa sepatah kata pun, aku membalikkan badannya ke arah dinding kamar mandi. Seolah tahu apa yang hendak kulakukan, Vany meletakkan kedua tangannya pada tembok untuk bertumpu, berjinjit, mengangkat pinggulnya, menyerahkan sepenuhnya vaginyanya untukku.

Aku mengarahkan penisku, meletakkannya di belahan pantatnya yang montok. Sesaat, aku ingin mengawali semuanya dengan meng-anal Vany, tapi sesaat kemudian aku telah menggeser perlahan kepala penisku ke arah bibir vaginanya yang bersih tak berambut. Kumain-mainkan bibir vaginanya dengan kepala penisku; kuusap perlahan, lembut.

“Mmh… Kak… Masukin aja langsung…” pintanya.

Aku setuju. Kumasukkan perlahan kepala penisku. Vany berjengit pelan. Aku merasakan ketegangan mengaliri tubuh adikku.

“Kamu yakin, Van?” tanyaku.

Sekali lagi, logika berteriak-teriak di pikiranku. DIA INI ADIKMU! SADAR! Aku yakin suara yang sama juga berteriak, menggedor-gedor akal sehat Vany. Tapi saat itu kulihat anggukan perlahan tapi mantap dari adik kecilku ini. Keraguanku sirna.

Perlahan, tak ingin menyakiti, aku menusukkan penisku ke dalam vaginanya. Vany mengejang. Aku memasukkan semakin dalam, sudah masuk ¼ bagian sekarang. Sempit sekali… Agak sulit.

“Mmmhh… Aaahh… Aaa… Aaahhh Kak… S… ” Vany mendesah. Aku tahu pasti terasa agak sakit untuknya.

“Kalo sakit kasi tau Kakak ya…” bisikku. Vany mengangguk. Aku memasukkan semakin dalam. Kepala penisku menyentuh selaput tipis. Keperawanan Vany dipertaruhkan. Sekali lagi aku bertanya.

“Kamu bener-bener yakin…?”

Vany tidak menjawab. Tiba-tiba ia mendorongkan pantatnya ke arahku dengan kencang. Selaput daranya robek, penisku benar-benar masuk ke dalam vaginanya.

“AAAHHH….!!!!” Jeritnya kencang. Vany mengakhiri masa perawannya… Di usia 14 tahun. Aku melirik ke bawah, darah segar mengalir pelan dari arah selangkangannya, mengalir turun melalui pahanya.

“Oohh… Oohh… Masuk… Hh… Aku… Dimasukin… Ka…kak… Aaahh… Gede banget… Hhh…” desahnya, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Wajah Vany merah padam. Nafasnya tersengal. Aku tahu betapa sakitnya saat pertama. Aku membelai rambut pendeknya perlahan.

“Kalo udah ga sakit bilang ya sayang…” bisikku lembut.
“…. Mmh… Terusin aja Kak…” pintanya. “Pelan-pelan…”

Aku memasukkan penisku semakin dalam perlahan-lahan. Luar biasa sempit dan hangat di dalam. Vagina Vany seolah menjepit penisku. Aku terus memasukkan penisku hingga kepalanya menyentuh ujung vagina Vany. Vany memiliki vagina yang sangat dalam untuk cewek semungil dia.

“Siap?” tanyaku. Vany tersenyum, mengangguk.

Kutarik penisku hingga setengah jalan, dan dengan kekuatan penuh aku menghujamkannya kembali ke dalam.

“Aaahh!!! Aaahh… Kakk!! Pelan… Pelaa… AANN!! Oohh… Aaahhh!!!” Vany menjerit-jerit keenakan. Aku menggerakkan pinggulku dengan kuat. Pikiranku semakin kabur. Realitas bahwa cewek yang sedang kusetubuhi sekaran adalah adikku sendiri sedikit demi sedikit hilang lenyap.

“Ooohh… Vaaannn… Kam…u… Sempit bangeeett… Aaah… Mmmhh!!” desahku. Aku menjangkau, meremas-remas dadanya yang menggelayut, berguncang-guncang seirama hantaman penisku.
“Kaa… Aaahhh… Kakak… punya… Aaahhh… Kakak punya yang… Mmmhh!! Kegede… ann… aahhh… Mhhh!!” jawabnya tak mau kalah.

Vany mengeratkan jepitan vaginanya. Enak sekali! Penisku seperti dipijat-pijat di dalam sana.

“Aaahh… Aaahhh… Mmmmhh!!! Mmmnn… Kaak… Ohh kakk…” desahnya setiap kali penisku menghujam ke dalam vaginanya. Pinggulku seakan bergerak otomatis, tak bisa berhenti. Sempit dan hangatnya vaginanya, dipadu dengan sensasi empuk pantatnya yang menghantam-hantam pinggangku sungguh tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Aku menggerakkan pinggulku semakin cepat. Kepala penisku menghantam-hantam mulut rahim Vany.

“Aaahhh!!! Kaakk… Kaa… Ooohh… Tambah… Gede… Aaahhh!!! Kakak tambah ged…eee… Lagi di… Aaahhh!!! Aaahhh!! Di dalem…MMMHHH!!! Kaaakkk!!!” Vany menjerit-jerit. Nafasnya sudah tak beraturan sekarang. Aku semakin kencang menggerakkan pinggulku. Suara pantatnya yang menghantam pinganggku menggema di kamar mandi.

“KAAKK!! KAA…KKK… LEPAS! LEPAS! LEPAAsss!! Aaakkuu… Mau… Kelu… AAARR!!!” Vany tiba-tiba berteriak. Aku terkejut, segera menarik lepas penisku dari vaginanya yang sempit. Seketika itu juga Vany menyembur-nyemburkan cairan vaginanya. Semprotannya kencang sekali dan berkali-kali. Vany merosot ke lantai, badannya gemetar hebat. Orgasme pertamanya sungguh dahsyat.

Tak menunggu lama, aku berlutut di belakangnya, kutunggingkan pantat Vany dengan kedua tanganku. Jempolku menarik bibir vaginanya lebar, dan penisku langsung menghujam dengan kuat untuk kedua kalinya ke dalam tubuh Vany. Lebih mudah sekarang, apalagi setelah squirting hebat tadi, vagina Vany menjadi sangat becek dan licin.

“Aaahhh!!! Kaaakkk… Kak! Kak… Kakk… Nnnhhh!!” Vany menjerit.

Buah pelirku menyenggol-nyenggol klitorisnya, membuat Vany semakin kegilaan menikmati seks pertamanya. Aku menggerakkan pinggulku dengan sangat cepat, menghantam bagian dalam vaginanya dengan kuat. Vany kembali mengencangkan vaginanya.

“Aah… aahhh… Aaahhh… aa… Kaak… Oohh… Ooohh… Enak… Bangett… Mmm… Nnnhh!!!” desahnya. Aku rasa saatku sudah semakin dekat.
“Ooohh... Vaaann... Kakak... Mau... Keluaarr... Mmmhhh... Mmmmhh... Aaahh...” kataku, tecekat. Vaginanya terasa begitu sempit dan nikmat.
“Aaahhh... Aaahhh... Kuarin... Di luar... Kaakk... Diluar kakk!!! Aaahh!!” pintanya.
“OOOHH!! VV... VVAANNN!!!!”

Aku mencabut penisku, menjepitkannya di antara kedua pantatnya yang kencang. Ccrroooottt!!! Crrooouuuttt!!! Crruuoottt!!!! Aku meledakkan spermaku berkali-kali dengan kencang, melumuri punggung dan pinggulnya, bahkan ada beberapa semprotan yang mengenai belakang kepalanya.

Vany terkulai, bernafas tersengal-sengal. Aku berlutut, melirik ke bawah dan terkejut. Penisku masih sangat tegang. Tubuhku seakan terus meminta tubuh Vany lagi dan lagi. Sebelum ini belum pernah aku masih tegang setelah dua kali keluar.

“Van… Lanjut di kamar aja yuk…” ajakku.
“Kakak... Hhh... Mas...Ih.. Bisa lagi?” tanyanya, tersengal. Aku mengangguk, dengan keheranan yang sama dengannya.
“Kamu masih kuat?”

Vany mengangguk lemas, masih terengah-engah dan gemetar.

Kumatikan shower. Aku mengambil handuk untuk mengeringkan badanku, kemudian kuselubungkan handuk itu ke tubuh mungil Vany yang gemetaran. Kubantu mengeringkan badannya.

Kuangkat, kugendong adikku ke kamarku. Kubaringkan ia dengan lembut di ranjangku. Aku naik ke ranjang, menunduk di atas tubuhnya. Nafas Vany sudah lebih teratur sekarang, ia menatap mataku. Dadanya yang besar bergerak naik-turun seiring tarikan nafasnya.

“Lanjutin Kak…” katanya sambil tersenyum. Tanpa kusuruh, ia mengangkat pahanya, mengangkang sangat lebar di hadapanku.

Aku mengarahkan penisku ke bibir vaginanya. Untuk ketiga kalinya, kumasukkan penisku ke dalam vaginanya yang sempit. Vaginanya yang semit seperti menyedot penisku ke dalam. Vany menggeliat, menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya mencengkeram seprei dengan erat.

Perlahan, kuhujam-hujamkan penisku ke dalam vaginanya. Tarik, masukkan, tarik, masukkan. Semakin lama semakin kuat, semakin lama semakin cepat.

“Aaahhh... AAHH!!! Teruss... Teruss...!! Terus kakk... Aaahhh!!! Ooohh Kaakk!!!” Vany mendesah liar. Matanya terpejam, menikmati.

Sambil terus menghujamkan penisku, aku meremas dadanya. Tak cukup, aku membenamkan wajahku di antara dua bantalan besar yang empuk itu. Jemariku memainkan puting-putingnya yang tegang.

“Kamu... Makan apa sih... Mmhh... Vann... Koq bisa... Mmmmhh... Gede gini?” tanyaku.
“Aaahh... Aaahhh... Gata...Uu... Mmm... Tau... Tau tau... Gede... Aaahhh...” jawabnya asal-asalan. Kujilati puting kirinya. Kusedot kuat-kuat, setengah berharap akan merasakan susu yang manis menyemprot dari dalam dadanya yang luar biasa itu. Vany meringis, cengkraman tangannya di seprei semakin erat.

“Aaahhhh!!! KaaKkk....!!! Maauu... Keluar... Lagggiiii!!! AAAHHH!!!” Vany berteriak. Squirting untuk kedua kalinya, penisku seperti disemprot cairan dingin. Aku tak peduli, kugerakkan pinggulku semakin cepat. Vany mengangkat pahanya, membantuku. Aku mencengkeram erat pinggangnya, menggerakkan tubuhnya seirama hantaman penisku. Vaginanya semakin mengencang.

Tiba-tiba, bagian dalam vagina Vany seperti bergerak memijat penisku kuat-kuat dengan bergelombang. Aku belum pernah merasakan sesuatu yang seperti ini! Terkejut, aku memperlambat genjotanku.

Aku mendongak, menatap wajah Vany yang merah padam. Dari sorot matanya aku tahu ia dengan sadar melakukan yang terakhir itu.

“Van... Va... Gimana... Yang... Ooohh yang tadi itu enak banget!!! Aahh...” kataku. Vany nyengir lemah. Dadanya mengayun-ayun mengikuti irama gerakan pinggulku.
“Kakak... Aaaahhh... Kak... Mau... Aaahhh... Mau lagi?” godanya. Aku mengangguk cepat-cepat. Vany nyengir semakin lebar.
“Tapi.. Tapi kalo kamu gitu lagi... Kakak bisa-bisa gak keburu ngeluarin di luar...” kataku, agak cemas.
“Gapapa Kak... Yang tadi itu... Mmmhh... Aku juga enak banget... Gapapa... Keluarin di dalem aja... Nnhh... ” katanya.
“Hah? Ntar... Ntar kamu...”
“...Gapapa...”

Aku tahu ini gila. Vany memintaku mengeluarkan spermaku di dalam tubuhnya. Bagaimana kalau dia hamil? Apa kata orangtuaku?

Tapi saat logika mulai merasuki pikiranku lagi, Vany menggerak-gerakkan pinggulnya. Aku seperti otomatis kembali menghujamkan penisku ke dalam vaginanya, menendang jauh-jauh logika.

Gerakan pinggulku semakin cepat dan cepat. Vany semakin mengencangkan vaginanya. Aku yakin tak lama lagi aku akan keluar jika seperti ini terus.

“Aaahhh.... AaahH!!!... Kak... Kaakk... Siaap? Aahhh... Aaa...” tanyanya. Aku mengangguk liar, semakin mempercepat genjotanku. Vany menegang, berkonsentrasi. Gerakanku semakin liar. Nafas kami memburu, tak beraturan.

Dan sensasi itu datang lagi! Vaginanya seakan menyedot penisku, dan gelombang yang sangat kuat berkali-kali datang memijat penisku. Aku tak tahan lagi, sensasi ini sungguh luar biasa!

“Vann!! OOH Vaannn!!! Kakak mau... Aaaahhh... Aaahh!!! VAANN!!! Ke...KELUAR!! Aaahh... Aaahhh!!!” pikiranku mengabur. Mataku berair.
“DI DALEM!! DI... AAHHH!!! Di daleemm...Keluarin di daleeemm!!!” jeritnya.
“VVVVVVAANN....VVAANNYY!!!!!!”

Aku meledakkan spermaku sekuat-kuatnya ke dalam rahim Vany. Aku keluar jauh lebih banyak dari yang sudah-sudah. Satu-dua-empat-enam... Penisku seakan tak mau berhenti meledakkan spermanya. Enak sekali, hangat sekali. Vagina sempit Vany tak cukup menahan muatan sperma kakaknya. Cairan putih itu mengalir keluar, melumuri bahkan penisku sendiri, mengalir membasahi sepreiku...

Aku mencabut penisku. Sudah lemas sekarang. Rasanya agak linu, keluar tiga kali berturut-turut. Cairan putih kental masih mengalir keluar dari vagina adikku, terlihat seksi sekali. Vany tergeletak lemas di ranjangku. Matanya separuh terpejam. Mulutnya menganga kecil. Keringat membanjiri tubuh kami.

Aku merebahkan diri di sebelahnya, terengah-engah.

“Van... Hhh... Thanks...”
“Iya... Aku yang thanks... Hhh...” bisiknya. “...Enak banget...”

Terdiam, hanya suara tarikan nafas terengah kami yang terdengar. Berapa lama kemudian, aku menoleh menatap adikku yang seksi ini.

“Van... Kalo kamu hamil gimana? Kakak keluar banyak banget loh tadi di dalem kamu...” tanyaku, cemas.
“Gapapa... Nanti menikah sama kakak...”
“Ngawur kamu...”

Vany tertawa. Terdiam lagi. Aku memejamkan mata, belum pernah aku merasakan seks seenak ini.
“Kamu belajar dari mana yang terakhir tadi itu?”
“Gatau... Tau-tau bisa aja...”
“Ohya? Itu enak banget...”
“Lebih enak dari Kak Grace?”
“Jauh...”

Kami terdiam.

“Kak...”
“Ya?”
“Mulai sekarang... Kalo kakak pas pengen ML... Kasi tau aku...” katanya. “Aku sepenuhnya milik kakak...”

Aku terdiam. Tak bisa menjawab. Dalam hati aku tahu kami sudah melanggar semua batas dan nilai yang normal. Tapi kenikmatan ini sungguh luar biasa.

“Papa-Mama kan pergi seminggu...” kataku. “...Banyak kesempatan...”

Vany tertawa.

“Ya...” katanya. “Ntar malem lagi?”
“Kalo kuat...”
“Besok?”
“Sepanjang hari...”

Vany tertawa lagi. Tawa yang renyah dan imut. Ia berguling, memeluk lenganku dengan sayang.

“Van...”
“Hm?”
“Kapan-kapan... Coba anal yuk...”

Vany nyengir.

“Yuk...”

4.
“Van... Ayolah...”
“Nggak, Kak...”
“Malem terakhir, Van... Pliis... Udah ga bisa lagi loh abis inii...”
“Aku tau... Tapi kan waktu itu uda janji kita...”

Hari ini adalah hari terakhirku di Jakarta. Esok hari, aku sudah harus pergi ke Singapura untuk melanjutkan pendidikanku. Aku diterima di salah satu universitas terkemuka di Negeri Singa itu dengan beasiswa. Cukup membanggakan bagi kedua orang tuaku, dan tentunya bagi diriku sendiri. Aku sudah siap untuk berangkat; dua koper besar telah selesai dipak, siap menemani hidupku yang baru di sana.

“Van...”
“Nggak, Kaak... Iih maksa mulu deh...” jawab Vany dengan suara tenang.

Aku menghela nafas. Sambil menggelengkan kepala, aku berjalan ke arah ranjang Vany dan merebahkan diriku di sana. Aku sedang berusaha membujuk Vany untuk ML lagi denganku, mungkin untuk terakhir kalinya.

Setelah ML untuk pertama kalinya sore hari tanggal 14 Juli yang lalu, kami menghabiskan seminggu penuh untuk terus menerus ML. Kami benar-benar melakukannya setiap hari; saat mandi pagi, sepulang sekolah Vany, saat mandi sore, setelah makan malam, sebelum tidur. Benar-benar terus menerus. Tubuh kami seakan tak pernah puas merasakan kenikmatannya. Aku tak pernah puas meremas dan mengulum dadanya yang luar biasa besar itu, dan Vany tak pernah puas menerima hujaman penisku, dilanjutkan dengan ledakan sperma berkali-kali di dalam rahimnya. Nafsu kami tak pernah habis.

Tapi, setelah lewat seminggu, kami seolah disadarkan bahwa apa yang kami lakukan ini amat sangat salah. Entah kenapa kami kembali sadar akan status kami sebagai saudara kandung. Kami pun memutuskan untuk menghentikan semuanya.

Dan, hampir 2 minggu sudah lewat tanpa sekali pun kami ML. Kami masih berciuman, dan Vany pun membolehkanku untuk meremas dadanya (yang entah kenapa aku memiliki perasaan bahwa sepertinya sudah bertambah besar lagi ukurannya dari 34C) kapan pun aku mau, tapi hanya sebatas dari luar bajunya. Aku harus mengakui Vany sangat hebat dalam menahan nafsunya. Aku pun merasa cukup bangga aku dapat menahan nafsuku untuk tidak ‘memperkosa’ adikku ini, dan hanya melampiaskan nafsuku dengan onani sambil membayangkannya.

Tapi, masih ada satu hal yang mengganjal dalam benakku. Aku belum sempat meng-anal pantat Vany yang montok itu. Sejak pertama kali ML dengannya, sudah ada keinginan dalam hatiku untuk menghujamkan penisku ke dalam anusnya, tapi sampai hari ini belum sekali pun aku mencobanya. Beberapa kali sudah kami ingin mencoba dalam seminggu masa gila-gilaan itu, tapi tak pernah berhasil (karena Vany selalu tegang dan menjadi kesakitan setiap kali aku mencoba memasukkan penisku ke dalam anusnya. Aku pun tak tega menyakiti adikku ini). Tapi malam ini sudah benar-benar malam terakhirku di sini, dan aku sudah sampai ke taraf amat sangat ingin. Membayangkan semua itu saja sudah membuat penisku tegang dari tadi.

“Van... Istirahat dulu lah... Dari tadi ngerjain PR terus ga capek ya...” kataku.
“Hahaha... Kalo aku istirahat sekarang sama Kakak ntar tambah capek...” jawabnya enteng, tanpa memalingkan kepalanya dari meja belajar. Vany sedang mengerjakan PRnya. Ia menjadi sangat sibuk sekarang. Maklum, Vany sudah masuk kelas 3 SMP, jadi sekolah memenuhinya dengan berbagai tugas dan ulangan untuk mempersiapkannya menghadapi ujian akhir.

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. Adikku ini benar-benar kuat dalam menahan nafsunya.

“.... Kakak juga ga capek ya ngebujuk aku... Udah tiga hari loh...” katanya setelah beberapa lama. Aku tertawa.
“Ya ga lah... Mengingat ini udah hari terakhir Kakak...” jawabku.
“Segitu pengennya kah?” katanya, menoleh untuk pertama kalinya. Aku mengangguk, bangkit dari ranjang, dan duduk di belakang kursi Vany. Aku memeluk pinggangnya.
“Yup... Segitu pengennya...” bisikku di telinganya. Vany tampak tidak terpengaruh. “Udah lama banget tau, Van...”
“Aku tau, Kak...” jawabnya lembut.
“Kamu ga pengen, apa?”
“Pengen lah... Tapi namanya waktu itu kan udah janji...”

Aku mencium bagian belakang telinganya dengan lembut. Vany bergetar sedikit.

“Kak... Jangan nakal...”

Aku tersenyum. Perlahan, tangan kananku bergerak naik, meremas dada kanannya dengan lembut. Vany mengenakan kaos biru yang agak longgar malam itu, tapi aku masih tetap dapat melihat 2 tonjolan sangat besar menyembul dari baliknya. Aku menjulurkan lidahku, menjilat belakang telinganya perlahan. Vany menarik nafas perlahan. Tubuhnya gemetar.

“Ka...ak.... Nakal ahh...” desahnya. Vany menggelengkan kepala, berusaha melepaskan diri, tapi pelukanku terlalu kuat. Ciumanku turun ke lehernya perlahan. Tangan kananku semakin kuat meremas-remas dadanya yang luar biasa empuk. Tangan kiriku menyibakkan rambut pendeknya, memberiku ruang yang lebih lebar untuk mencium leher adikku ini. Aku tau Vany sebenarnya sangat menikmati ini. Tanpa sadar, ia menelengkan kepalanya ke kiri sehingga aku semakin mudah melumat lehernya.

“Plis, Van... Terakhir banget kan ini...” bisikku.
“Hmmh... Kak....” desahnya pelan, jelas-jelas menikmati. “Kakak tuh paling pinter maksa orang...”

Vany berbalik, mencium bibirku. Lidahnya masuk, segera kubelit dengan lidahku. Vany sangat cepat belajar dan sekarang sudah dapat mencium dengan sangat baik dan ahli. Luar biasa. Vany mengulum lidahku, menjilat dan membelitnya.

“Mmh... Kak... Tau nggak...” katanya setelah ciuman terlepas.
“Hm?”
“Besok tuh pas 14 hari kita ga ML... Sayang tau... Rekor”
“Gapapa... Bagus donk!” ujarku sambil tersenyum. “Kamu tau kan angka favorit Kakak? Nomer punggung Kakak di tim Futsal? Tim Bola di SMP-SMA dulu?”
“Ya... 13,” jawabnya sambil nyengir menyerah. Ia menciumku lagi.
“Jadi... Perfect day...” bisikku. Vany menggelengkan kepalanya kalah.
“Iya deeh...” jawabnya sambil tersenyum. Aku tertawa lebar.

Kugendong adikku dari kursinya dan kubawa ia ke ranjang. Vany menurut saja. Kurebahkan diriku di atasnya, menciumnya dengan lembut. Vany membalas, menikmati. Jemariku bermain di atas dadanya yang besar, kedua tanganku meremasnya kuat-kuat. Luar biasa, empuk dan kenyal.

“Mmh... Kak.... Mmmm...” Vany berusaha berbicara di tengah ciuman. “Pelan-pelan kali.. Mmmhh...”
“Mmm... Biarin....” jawabku tak peduli. Vany mendengus geli.
“Kak... Bentar...” katanya setelah beberapa lama. Ia mendorongku hingga aku berguling ke sisinya. Vany naik, duduk di atas perutku. Tersenyum, ia berbalik, memunggungiku, menghadapi penisku yang telah tegang setegang-tegangnya.

“Masih inget ini nggak?” bisiknya.

Aku tersenyum. Tak mungkin aku lupa. Ini adalah posisi yang mengawali segalanya, malam itu, saat pertandingan Belanda vs Italia. Aku duduk, membuatnya merosot ke pangkuanku. Penisku terjepit di antara pahanya yang mulus.

Dengan lembut, kucium belakang telinganya. Vany memejamkan mata, menggeliat menikmati. Perlahan, ciumanku turun ke lehernya. Adikku menelengkan kepalanya lagi, memamerkan lehernya yang kurus, yang segera kulumat dengan nafsu. Tanganku merogoh melalui bawah ketiaknya, meremas dan memainkan kedua buah dada Vany yang luar biasa. Vany membalas dengan merogohkan tangannya ke dalam celana pendekku, menggenggam penisku dengan lembut, kemudian perlahan mengocoknya. Tangan mungil dan halus Vany bergerak, memijat, mengelus penis kakaknya.

Dalam hati, aku tersenyum. Vany telah sangat banyak berubah. Aku masih ingat saat posisi ini pertama kali kami lakukan bermalam-malam yang lalu, Vany tidak berani menyentuh penisku; ia hanya mau meletakkan ujung jari telunjuknya. Betapa sebulan sangat cepat mengubah orang.

Kocokan Vany semakin cepat. Ia mengeluarkan penisku dari celana pendekku, menggenggamnya dengan kedua tangannya dan mengocoknya kuat-kuat. Aku merasa tak tahan jika dibeginikan terus.

“Van... Stop... Kakak ga mau kuar sekarang...” kataku, masih sambil mencium dan menjilat leher dan rahangnya. Vany tertawa.
“Hahahaha... Iya ya... Simpen buat ntar ya...” katanya sambil melepas genggamannya. Aku mengangguk. Vany beranjak dari atasku. Ia bergerak turun, menghadapi penisku dan kembali menggenggamnya.
“Tapi, kalo diginiin masa masih gamau dikeluarin?” bisiknya menggoda. Tanpa aba-aba, tiba-tiba Vany memasukkan penisku ke dalam mulutnya dan menyedotnya kuat-kuat. Aku terkejut.
“V.. Van!! Ngghh...”
“Mmm.. N... Naba Kak? Mmm.. Sllrrppp...” katanya dengan mulut penuh.
“Ja... Ooh... Jangan tiba-tiba... Mmmhh... Jangan tiba-tiba gitu...”

Vany hanya mendengus tertawa. Ia melanjutkan menyedot, menjilat penisku. Ia memainkan lidahnya dengan ahli di bagian bawah penisku. Kepalanya bergerak-gerak naik-turun. Matanya terpejam.

“Van... Nnh.. Van kamu... Udah jago banget ya... Mmhhh... ssSekarang...” kataku tergagap. Memang enak sekali oralnya sekarang. Vany sangat cepat belajar. Tekniknya bahkan sudah hampir sehebat Grace, hanya minus bibir tebalnya.
“Mmhh... Sejara... Selama... Mmm... Semigu... Tiab hari... Mmmm... Sllrpp... gni... tlus... Mmmm...(Secara selama seminggu tiap hari gini terus),” jawabnya.
“Ya... Tapi.. Oohh... Van kamu cepet banget belajar... Nnnhhh... Enak banget...”
“Thanks... Sllrpp...”

Aku sudah menyerah dan akan meledak saja, tapi tiba-tiba Vany menghentikan sedotan dan kulumannya. Ia menegakkan diri, melepas kaosnya dengan perlahan dan seksi, lalu melemparnya ke sudut kamar. BH-nya yang putih berenda tampak sangat kesulitan menahan kedua gunungnya yang mulus dan luar biasa besar, bahkan nampak lebih sulit dari saat terakhir aku melihatnya.

“Van... Kamu tuh beneran tambah gede ya toketnya?” tanyaku. Vany mengangguk.
“Berapa ukurannya sekarang?” tanyaku lagi. Vany tertawa jahil.
“Mau tauuuu.. Ajaa...” ujarnya nakal.
“Aaahh... Vaann.. Kasih taulaah...” pintaku.
Vany nyengir, mengangkat bahu tak peduli. Dengan cuek, perlahan ia melepas BHnya. Dadanya jatuh berguncang bebas saat terlepas dari bekapan BH itu, menggiurkan sekali. Putingnya yang coklat muda sangat sempurna; areolanya kecil dan bulat, sementara putingnya tegak menantang.

Vany mendekatkan dadanya ke penisku, menjepitnya di antara kelembutan dan mulai menggosok dan memijit penisku perlahan di antara dadanya. Aku tak dapat melukiskan kenikmatan di titf*ck oleh Vany. Sungguh luar biasa. Mengetahui kenyataan bahwa ukurannya telah bertambah besar semakin menambah kenikmatannya.

“Ooohh... Vvaann... Ggiiilaa... Nnnhhhh...” suaraku tercekat. Enak sekali rasanya. Vany menggerakkan dadanya naik-turun, bergantian kiri, kanan, kiri, kanan. Setiap kali ia semakin mengencangkan jepitan dadanya. Luar biasa. Aku menunduk ke bawah, melihat kepala penisku yang telah merah membara hilang-timbul di dari belahan dadanya yang sangat besar. Vany menjulurkan lidahnya, menjilati kepala penisku. Aku tak tahan lagi, penisku serasa berdenyut-denyut. Vany mengetahuinya.

“Keluarin, Kak... Yang banyak...” bisiknya sambil mempercepat gosokan dan pijatan dadanya.

Aku tak menunggu disuruh dua kali. Kuledakkan spermaku berkali-kali, menyemprot muka adikku, melumuri leher, dada, tangannya. Vany memejamkan mata dan menahan nafas. Bulir demi bulir cairan putih kental itu melumuri wajah imutnya, sebagian bahkan mengenai poni rambut pendekknya.

Aku menghela nafas panjang. Enak sekali. Sudah sangat lama rasanya aku tidak merasakan kenikmatan seperti ini; tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan onani sehebat apa pun. Vany menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya, menelannya. Seperti biasa, penisku membutuhkan lebih dari sekali keluar untuk puas menikmati tubuh adikku ini. Vany merebahkan kepalanya di pinggangku, mengelus penis kakaknya yang masih sangat tegang.

“Ayo Kak... Giliranku sekarang...” bisiknya.

Aku menurut, beranjak ke bagian bawahnya. Vany merangkak menaiki ranjang, kemudian berbaring terlentang, mengangkang lebar untuk kakaknya. Perlahan, kulepas celana pendeknya, menampakkan celana dalam... G-string!

“Heh! Sejak kapan kamu pake G-string?” tanyaku terkejut.
“Hehehe... Kakak suka, kan?” godanya sambil nyengir.

Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil nyengir. Luar biasa. Vany sudah benar-benar berubah dari gadis kecil imut yang sangat polos menjadi cewek luar biasa seksi dan cenderung nakal. Kubuka simpul tali tipis yang mengikat celana dalam adikku di tempatnya, melepasnya. Vagina Vany masih sama mulus dan tembemnya, dengan bulu sangat tipis yang membuatnya semakin seksi. Cairan bening mengalir dari dalam vagina adikku, sudah basah.

“Kakk... Jangan diliatin teruss... Ayo donk...” pintanya. Aku nyengir, segera membenamkan wajahku di selangkangannya, menyedot dan menikmati vagina adikku. Aroma segarnya segera memelukku. Vany menggrunjal, mengejang, menggeliat menikmati.

“Aaah... Kakk... Koq sekarang rasanya.... Aaahh... Lebih enak sih??” desahnya.
“Mmm... Mungkin karena udah lama nggak...” jawabku.
“Ooh... Kakk...”
“Kalo... Diginiin lebih enak ga?” aku menjulurkan lidahku, memasukkannya ke dalam vagina adikku. Vany mengejang.
“AaaHhh... EnaaAAKK... Oohh... Kaakk...”

Aku tersenyum, memasukkan lidahku semakin ke dalam. Kugerakkan dan kumainkan di dalam vaginanya. Tiba-tiba lidahku seakan tersedot ke dalam, dan sambil menjerit kencang, Vany squirting sekuat-kuatnya, menyemprot mukaku dengan cairan dingin bening.

“Ooh... OooOoh... Udah lama banget ga squirting sekenceng ituu.... Mmmhh..” katanya lemas. Tubuhnya mengigil. Aku merangkak ke atasnya, penisku yang tegang sudah tak sabar, menunjuk tepat ke arah vaginanya yang basah kuyup. Kutatap mata adikku dalam-dalam.

“Siap? Langsung aja?” tanyaku lembut. Dengan keyakinan penuh, walaupun masih lemas, Vany mengangguk.

Aku menempelkan kepala penisku di mulut vaginanya. Sambil menatap matanya adikku, aku menghujamkan penisku ke dalam vaginanya dengan lembut. Vany mengerang, mengejang. Walaupun Vany sangat tenang kali ini, tidak seperti saat pertama kali aku ML dengannya, tapi sempitnya vagina adikku masih sama. Seolah seperti tidak ada pengaruhnya seminggu penuh ditusuk-tusuk penisku setiap hari. Tiba-tiba cengkeraman Vany di seprei mengencang; Vany squirting lagi. Terkejut, aku mencabut penisku. Aku tahu ia sendiri terkejut karena squirting tiba-tiba, padahal baru saja dimasuki.

“Ke... Kenapa koq tau-tau squirting lagi? Kakak bahkan belon mulai loh...” kataku terperangah. Vany terengah-engah.
“Nggak... Nggak tau... Tadi... Hhh... Tadi tau-tau kayak ada yang dorong dari dalem rasanya pengen keluar lagi... Gila...” jawabnya, kebingungan.

Kukecup bibir adikku, menenangkannya. Kembali aku memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Perlahan, kutusukkan lebih dalam. Vany memjamkan matanya, merasakan penis kakaknya memenuhi vaginanya. Saat akhirnya kepala penisku menyentuh mulut rahimnya, Vany memeluk leherku erat, menarik wajahku kedekat wajahnya, mencium bibirku dengan nafsu. Aku menarik dan menghujamkan penisku, semakin lama semakin cepat. Kepala penisku menghantam-hantam mulut rahim Vany setiap kali kutusukkan penisku kuat-kuat.

“Aaahhh... YEESS... Oohh... Y... Aaahh... Kaakkk... Yeess... Mmmm!!!” desahan Vany memenuhi ruangan.
“Mmmhh.. Vaan... Kenapa kamu masih sesempit ini sii... Mmmhh....”

Malam itu AC berhembus dingin di kamar Vany, tapi kami sungguh tak merasa kedinginan walaupun bugil. Hawa panas seperti menguar dari tubuh kami. Aku dan Vany bergulat di ranjang. Kami berciuman dengan sangat panas; lidah kami saling membelit. Decak lidah kami terdengar seksi di kamar yang sepi. Keringat mengucur, menetes, membasahi tubuh kami. Pinggulku seakan tak mau berhenti bergerak, mengayun menghujam vagina adikku kuat-kuat. Vaginanya seakan semakin sempit setiap kali kumasukkan penisku ke dalam.

“Mmmhhh.... NnnnHHH!!! Kaakk... Ka... K... Kakak... Nabrak-nabrak rahimku.. Oohh.... oh... Ooh... Kerasa sampe... Perutt... Nnnyhh...” jerit dan desah Vany seirama hujaman penisku. Nafasnya tak karuan.

Kedua tanganku meremas-remas dada adikku yang montok dengan nafsu. Jari tangan kiriku memainkan putingnya kanannya yang tegang, sementara aku menyedot dan menjilat puting kiri Vany yang luar biasa sensitif. Aku menyedotnya kuat-kuat, masih dengan harapan kosong akan merasakan susu yang manis menyemprot dari dadanya yang empuk dan besar ke dalam mulutku.

“Kaak... Jangan... Aaahh... Kakak tambah gedeeeEE di dalem... aaahhh...” desahnya.
“Ka... Kamu yang tambah sempit ya... Mmmhhh....”
“Nnaah... Kaaak... aaa... Kaakk... Keluarr... lagggiiIII...”

Vany, tak kuasa menahan rangsangan yang begitu hebat, orgasme untuk ketiga kalinya. Tapi yang keempat segera menyusul bahkan hampir bersamaan. Vany squirting banyak-banyak untuk multiple orgasme nya... Luar biasa. Vaginanya seakan menyempit setiap kali ia menyemprotkan cairan keluar, membasahi penisku. Aku tak peduli, semakin mempercepat tusukkanku. Aku tahu sebentar lagi aku akan keluar.

“Van... Vaann... Yang ituu... J.. Jurus... Kammuu... Mmmhh...” pintaku.

‘Jurus’ Vany adalah kemampuan adikku yang luar biasa untuk memainkan otot-otot vaginanya sedemikian rupa sehingga menjepit penisku erat-erat, dan menimbulkan sensasi menyedot dan memijit bergelombang (baca episode 3). Aku tak pernah tahan untuk tidak meledakkan spermaku jika merasakannya. Sisi buruknya adalah karena saking tidak kuatnya aku, aku tak pernah sempat untuk menarik penisku keluar dan mengeluarkannya di luar; pasti selalu keluar di dalam tubuh adikku. Tapi aku sudah mulai tak peduli.

Vany menurut. Wajahnya berkonsentrasi. Sesaat kemudian, sensasi itu datang; penisku seperti disedot kuat-kuat ke dalam vaginanya yang sempit, disertai gelombang yang menyengatku. Aku tak pernah tahan.

“Vann... Mmhh... vaAAAANNNYYY!!!!”
“Di.. DI dalem Kakk.. NNnnHHH!!!”

Aku meledakkan spermaku tanpa berusaha menariknya keluar. Berkali-kali penisku menyemprotkan sperma ke dalam rahim adikku, seolah tak mau berhenti.

“Aahhh... Hhh... Kaak... Banyak bangett... Anget banget...” desah Vany.

Semprotanku berhenti. Aku dapat merasakan cairan hangat kental itu mengalir keluar dari dalam vagina Vany, melumuri bahkan penisku sendiri yang masih belum puas. Aku masih belum mencabut penisku dari dalam vaginanya.

Aku membenamkan kepalaku dalam empuk dan lembutnya dada Vany. Nyaman sekali rasanya. Vany membelai rambutku. Kami terdiam, terengah-engah, mengatur nafas. Keringat membanjiri tubuh kami.

“Belum puas ya Kak...” bisik Vany. Aku mengangguk, masih dalam dekapan dadanya. Kuangkat wajahku sedikit, kutatap mata adikku.
“Van...”
“Hm?”
“Mau coba lagi nggak?”
“Apa... Anal?” tebaknya dengan tepat. Aku mengangguk.

Vany terlihat ragu.

“Hmm... Waktu itu sakit kan, Kak...”
“Ya... Makanya kamu rileks aja... Pasti bisa lah...” kataku.

Vany masih tampak ragu, tapi ia tetap mengangguk perlahan. Ia berbalik hingga telungkup di ranjang. Dadanya yang besar tampak sangat menggiurkan menempel di ranjangnya. Tanpa kusuruh, ia mengangkat pantatnya, nungging. Spermaku masih menetes keluar dari vaginanya. Seksi sekali. Aku berlutut di belakangnya. Kuletakkan penisku di atas pantat Vany, sementara kedua tanganku membelai pantatnya.

“Tau nggak... Pantat kamu tuh hampir semontok pantat Cherry...”
“Aaa... Bohoongg... Cherry kan pantatnya hampir kayak pantatnya Kim Kardashian,” ujarnya. Aku tertawa. Kuremas pantat adikku dengan gemas.
“Tapi kamu juga montok, tau...”

Aku mulai dengan membuka belahan pantatnya menggunakan kedua jempolku. Anusnya tampak merah dan sempit. Aku tahu ini akan sulit, dan tentunya akan cukup sakit bagi Vany. Tapi aku benar-benar sangat ingin meng-anal adikku ini. Kuletakkan penisku di anusnya dan mulai mendorongnya. Sulit sekali, sangat keras.

“Van... Rileks ya.. Kalo kamu tegang jadi semakin sakit,” kataku lembut.
“Iya, Kak...” jawabnya. Tapi aku dapat menangkap nada tegang dalam suaranya.

Aku berusaha lebih kuat menusukkan penisku. Vany mengejang. Aku sadar bahwa butuh pelumas agar lebih mudah memasukkannya. Kutusukkan penisku ke dalam vaginanya. Vany terkejut.

“NnhhH?! Kak.. Aahh... Katanya mau anal?”
“Iya... Kakak butuh ngelicinin penis kakak dulu biar gampang...” jawabku. Vany mengangguk. Kuhujam-hujamkan penisku di dalam vaginanya yang sangat becek. Setelah aku merasa cukup basah, kutarik penisku keluar dan kembali aku berusaha menusukkannya ke dalam anus Vany. Jempolku berusaha menarik anusnya melebar lebih kuat. Masih belum bisa. Aku kembali memasukkan penisku ke dalam vaginanya, melumasinya dengan cairan adikku, kemudian menariknya keluar dan kembali menusukkannya.

Sekitar lima kali aku melakukan ini saat aku merasakan anus Vany mulai mengendur. Aku rasa lama kelamaan Vany sudah dapat rileks dan tidak terlalu merasakan sakitnya. Kepala penisku mulai dapat masuk sedikit.

“Aah... Kak... Kak... Kayaknya udah bisa... Nnhh...” desah Vany.
“Ya... Siap-siap ya... Ini bakal sakit...” kataku mempersiapkannya.

Tiba-tiba, lebih cepat dari yang aku harapkan, kepala penisku menghujam masuk ke dalam anusnya. Seperti ada barikade yang runtuh.

“MMMMMHHHHHHHHH!!!!!!! MMMMHHHHH!!!!!” Vany menjerit-jerit tertahan dari balik bantal. Aku tahu seperti apa sakitnya pertama kali di-anal.
“Vann.. Van... Sshh... Tenang dulu, sayang... Bentar lagi sakitnya ilang...” bujukku. Aku mendekatkan wajahku ke kepalanya, kucium pipi adikku. Wajah Vany merah padam menahan sakit. Air mata meleleh dari matanya.

“Ooh... Kak... Kak itu bener-bener sakit... Hhh...” bisiknya. Aku mengangguk. Kukecup lagi pipinya, berusaha menenangkannya. Saat itu, perlahan-lahan aku mendorong penisku lebih dalam lagi ke dalam anusnya. Ini bahkan lebih sempit dari vagina Vany.

“Van... Pantat kamu... Sempit banget gila...” bisikku di telinganya. Vany tersenyum lemah di balik kesakitannya. Tapi sekarang wajahnya mulai tidak semerah tadi, dan sepertinya sakitnya sudah mulai menghilang.

“Kak... Ayo lanjut...” pinta Vany akhirnya. Aku mengangguk.

Perlahan, aku mulai menggerakkan penisku; menariknya setengah jalan keluar dari anus Vany, kemudian menghujamkannya lagi, semakin lama semakin cepat. Sempitnya luar biasa. Vany sepertinya semakin lama juga semakin menikmati.

“Nnhh... Nnn... Mmmhhh.. Kak... Enak juga... Loh... aAahh..” desahnya.
“Iyakan... Mmmhh... Mmh.. Oh Van ini bener-bener sempit...”
“Iya... Aahh... Punya Kakak.. Aahh... Jadi kerasa lebih gede lagi...”

Aku sangat menikmati meng-anal Vany, akhirnya. Sensasi pantatnya yang empuk yang menepuk-nepuk pinggangku melengkapi sempit anusnya yang luar biasa membungkus penisku. Aku menghujamkan penisku semakin kuat. Suara ‘plek-plek-plek-plek’ pantatnya yang menepuk-nepuk pinggangku terdengar semakin keras memenuhi kamar Vany malam itu. Vany mulai mengencangkan jepitan anusnya (menurutku tanpa sadar).

“Kaak... Kakk... Kayaknya... Aaahhh.. Aku mau... Aahh.. aku mau keluarr...” desahnya setelah beberapa lama.
“Keluarin aja... Aaahh... Kakak terus masukin.. Aaahh... kan tetep... Mmmhh... Bisa... Nnhh...”

Vany tak menunggu lama. Sesaat kemudian ia semakin mengencangkan jepitannya. Ini luar biasa. Aku merasa hampir keluar juga.

“Vann... Van tunggu.. Mmhh... Tunggu jangan keluar dulu... Kakak bentar lagi kuar juga.. Tungg... Tunggu... Nnnhh... Aaahh...”
“Okkee.. Oke cepetan kak....aAaahhh... Aku udah... KAK AKU... Ga... GA TAHANN...” desahannya semakin cepat. Nafasnya semakin tak karuan.
“Ya... Yaa.. OKE... Vann.. VANNN... Tahan dikit lagii...” pintaku.
“Ga bisaa... Aaahh... Ga... TahaaaaaNNNNNN!!!!! AAAHHH!!!!”
“Oooh... VAAANNNN!!!!”

Kami mencapai orgasme di saat yang sama. Vany menyembur-nyemburkan cairannya kuat-kuat di saat yang sama aku meledakkan spermaku berkali-kali di dalam anusnya yang luar biasa sempit. Saat Vany squirting anusnya menjadi lebih sempit lagi, sehingga penisku seperti diperas untuk mengeluarkan sperma sebanyak-banyaknya.

“Vvvv... vvvaann... Mmmhh... Kakak... Ga bissa.. berenti kuaarr... Ooohh...” desahku dengan suara tercekat. Ini enak sekali. Aku mencabut penisku yang masih mengeluarkan sperma, dan menhujamkannya ke dalam vagina adikku. Vany tiba-tiba mengeluarkan jurus andalannya itu tanpa peringatan.

“VAANN!! UOOHH!!! VAANN... VV... VAN... Kakak... Keluar lagii...”
“KELUARIN KAAK... YANG BANYAK... Aaah... Yang banyaakkk... Buat terakhir kalinyaa....”

Aku meledakkan lagi spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya bahkan sebelum ledakan sebelumnya berhenti. Benar-benar luar biasa. Gelombang demi gelombang melanda penisku. Vany seolah tak mau berhenti membuat kakaknya mengeluarkan spermanya hingga tetes terakhir di dalam tubuhnya.

Vany roboh, tertelungkup di ranjang. Spermaku mengalir keluar perlahan dari vagina dan anusnya, melumuri seprei ranjangnya. Aku beringsut ke sisinya, tergeletak lemas, terengah.

“Hh... Kak... Udah kan... Kesampean.... Hhh..” katanya lemas.
“Hh.. Iya.. Hh... Thank you...” aku tak dapat berkata banyak.


Selama beberapa lama, hanya desah nafas kami yang terdengar di ruangan itu. Aku menatap langit-langit kamar dengan puas. Sekarang aku dapat pergi tanpa beban.

“Kak...” kata Vany pelan setelah beberapa lama.
“Hm?”
“Aku pasti hamil kali ini...”

Aku tak dapat menjawab. Aku pun berpikir begitu. Sudah terlalu banyak aku mengeluarkan spermaku di dalam tubuhnya.

“... Kalo emang ternyata gitu gimana?” tanyaku setelah beberapa lama.
“Ya... Mau gimana lagi...”
“Kamu ikut Kakak pindah ke Singapore aja...”

Vany mendengus geli.

“... Mau deh...” jawabnya. Suaranya bergetar. Ia beringsut mendekatiku, memelukku erat. Vany mengecup pipi kakaknya dengan sayang. Aku menoleh, melumat bibirnya yang mungil. Saat ciuman kami terlepas, aku melihat air mata mengalir di pipinya. Mata Vany berkaca-kaca.

“Ke... Kenapa nangis, sayang?” tanyaku lembut.
“Aku... Hk... Aku... Aku bakal kangen Kakak...” jawabnya tersendat.
“Iya... Kakak juga bakal kangen kamu... Banget...”

Vany menangis di sisiku. Kata-kata seperti menghilang dari mulutku. Aku hanya dapat memeluknya, membelai rambut pendeknya.

“Aku... Hk... Kayaknya... Kayak... Ngerasa Kakak... Terlalu cepet... Hks.. Pergi...” bisik Vany dalam isaknya.
“Halah... Terlalu cepet apa... Udah hampir 15 taon barengan juga...” jawabku bercanda sambil tersenyum menatapnya.
“Aku.. Aku ga mau kehilangan Kakak... Aku... Kakak udah kayak cowokku...”
“Iya...” Kupeluk adikku erat. Air matanya mengalir membasahi pundakku.

Kami terdiam. Saat itu sebuah lagu mengalun dalam benakku. Kunyanyikan lagu itu perlahan kepada Vany, untuk terakhir kalinya.

I could stay awake just to hear you breathing
Watch you smile while you are sleeping
While you’re far away and dreaming

I can spend my life in this sweet surrender
I could stay lost in this moment forever
For every moment spent with you
Is a moment I treasure

I don’t wanna close my eyes
I don’t wanna fall asleep
Coz I’ll miss you babe
And I don’t wanna miss a thing

Coz even when I dream of you
The sweetest dream will never do
I’d still miss you babe
And I don’t wanna miss a thing

Lying close to you, feeling your heart beating
And I’m wondering what you’re dreaming
Wondering if it’s me you’re seeing

And then I kiss your eyes, and thank God we’re together
I just wanna stay with you
In this moment forever
Forever and ever...

Saat aku selesai menyanyikan lagu ini, Vany telah tertidur dalam pelukanku. Kukecup kening adikku dengan sayang. Tanpa sadar, air mataku mengalir. Aku pun tak ingin kehilangan dia. Aku sudah terlalu sayang padanya, bahkan melebihi sayangku pada Grace pacarku. Aku tak ingin berpisah dengannya...

Aku...

Aku mencintainya.


* * *


“Vany lucu ya kalo tidur...”
“Hahaha kamu parah ya Kak baru nyadar sekarang...”

Pagi itu kami sedang dalam perjalanan ke airport. Ayahku menyetir di depan, ibuku duduk di sebelahnya, sementara aku dan Vany duduk di kursi belakang. Vany terlelap, kepalanya terkulai di bahuku.

“Vany koq daritadi duduknya aneh ya...” kata ibuku.
“Hm? Aneh kenapa?” ayahku menimpali.
“Miring gitu...”
“Ya namanya tidur...”

Aku tersenyum, tapi diam saja. Vany memang duduknya aneh karena berusaha agar anusnya tidak menyentuh jok mobil. Pastinya masih sakit karena baru di anal untuk pertama kalinya malam sebelumnya.

Bandara Soekarno-Hatta cukup ramai hari Minggu pagi itu. Setelah check-in dan memasukkan bagasi, kami menunggu di sebuah restoran sambil mengecek apa-apa yang akan aku bawa, jangan sampai ada yang tertinggal. Ibuku menjadi cukup panik pagi itu, mungkin karena tegang anak sulungnya akan segera pergi.

Akhirnya, saat keberangkatan tiba. Aku berjalan ke arah pintu keberangkatan, bersiap untuk berpisah untuk waktu yang cukup lama dengan keluargaku. Perpisahan kami cukup emosional. Ayahku memelukku untuk waktu yang lama. Aku sungguh-sungguh berterima kasih atas semua didikan dan kebijaksanaannya selama ini. Setelah itu kupeluk dan kucium ibuku dengan sayang, yang dengan air mata bercucuran menyampaikan pesan-pesan dan wejangan bagi anak sulungnya yang akan hidup di negeri orang. Aku tak kuasa menahan haru. Saat itu aku merasa sangat berdosa di depan mereka, melakukan sesuatu yang⎯jika mereka tahu⎯pasti akan sangat memalukan mereka. Kupeluk kedua orang tuaku.

“Pah... Mah.. Maafin aku ya...” bisikku di telinga mereka. Aku tahu mungkin mereka tak paham untuk apa aku meminta maaf, tapi aku tak peduli. Aku menangis dalam pelukan mereka cukup lama.

Dan, tiba saatnya berpisah dengan Stevany, adikku. Kami bertatapan sangat lama. Vany benar-benar menangis saat memelukku.

“I love you so much, Hunny...”

Aku tersenyum. Vany memanggilku ‘Hunny’.

“I love you too, Van...” kataku sungguh-sungguh.

Kami berpelukan sangat erat. Aku benar-benar tak ingin melepas adikku.
“Jaga diri ya, kamu...” pesanku padanya.
“Ya... Kakak juga...” bisik Vany. “Jangan kebanyakan ML sama Cherry...”

Aku tertawa.

“Kamu tuh... Masih sempet-sempetnya mikir itu...”
“Hehehe... Tapi bener kan...”
“Iya... Kamu juga... Jangan ML sama cowok sembarangan...”
“Nggak...” jawabnya mantap. “Aku mau nunggu Kakak pulang...”
“Kuat apa?”
“Kuat... Kakak itu yang ga bakal kuat... Hehehe...”

Aku nyengir, mengecup pipinya. Sesaat sebelum melepas pelukan, Vany berbisik sangat perlahan di telingaku.

“Oya... Kakak masih pengen tau ukuran BHku yang sekarang?”
“Hahaha... Masih... Berapa?”
“32D...”

Aku merasa celana jeansku menyempit.

5.
“Hhh… Kakk…”
“Oohh… V… Vann… Mmmhh”
“Ohh… Oohhh… Kaakk… Kak…”

Kuremas dada adikku yang super besar. Lama sekali rasanya aku tidak merasakan dadanya yang empuk dan padat itu. Vany mengecup keningku. Nafasnya tak beraturan.

“Kakk… Kak… Pelan pelan… mmmhhh….”
“Hhh… Vann… Enak… banget… sempit banget….”
“Kakk… Mmmm… Tapi… Tapi ntar bayinya… sakit… Mmmhhh,” kata Vany sambil mengelus perutnya yang buncit.

* * *


Singapore, 20 September 2008

Aku terbangun. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Nafasku terengah-engah, jantungku berdegup sangat kencang. Kulirik jam di mejaku, pukul 3 dini hari. Aku memejamkan mata, berusaha mengatur nafasku. Kurebahkan diriku perlahan-lahan.

Mimpi itu lagi. Ini sudah kali ketiga dalam seminggu ini aku mimpi tentang Vany yang hamil. Entah kenapa. Dan mimpinya selalu sama; selalu aku sedang ML dengan dia, dan dia berkata seperti itu.

Kujangkau handphoneku dari meja kecil di sebelah ranjang. Sinar layar HP menyilaukan mataku di kamarku yang gelap gulita. Wallpapernya menampilkan fotoku dengan Vany, adikku. Kami sedang tertawa cerah di foto itu. Aku tersenyum ganjil. Bayangan akan mimpiku masih mengganggku pikiranku. Aku tahu hubunganku dengannya sudah sangat jauh, tapi kurasa tidak sejauh itu.

Ya. Hubunganku dengan Vany sebenarnya memang sudah melebihi hubungan kakak-adik yang, secara moral, pantas (baca episode 1-4). Sejak bulan Juni yang lalu, kami bertingkah seperti sepasang kekasih, dan saling membuka dan mengakui nafsu yang sudah dipendam sejak lama (bagiku, sejak dia kelas 6 SD). Berawal dari sentuhan-sentuhan, hubungan kami semakin menjurus ke arah seksual, dan pada pertengahan Juli lalu akhirnya Vany melepas keperawanannya di tanganku, kakaknya sendiri. Kami sungguh mengerti bahwa hubungan ini terlarang, tapi sepertinya kami sudah melangkah terlalu jauh untuk dapat kembali lagi.

Tapi aku tak pernah bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau adikku ini hamil karena kakaknya sendiri. Walaupun aku tahu kenyataan bahwa setiap kali kami ML, hampir selalu aku mengeluarkan spermaku ke dalam rahimnya, dan aku sungguh tahu bahwa resiko kehamilannya sangat tinggi, aku masih tetap tak dapat membayangkannya.

Aku menghela nafas, menoleh ke sisiku. Tubuh bugil Cherry, sahabatku, meringkuk di balik selimut, masih terlelap. Kupandangi wajah cantik sahabatku itu. Sepertinya sudah saatnya aku menceritakan ini padanya, sekedar minta masukan.

* * *


“Hmmm... Kalo nurut gue sih jangan dianggep terlalu serius.”
“Tapi masa seminggu tiga kali gue mimpi itu...”
“Mm... Mungkin lu kangen aja kali ma dia...”
“Ya tapi masa kangen mimpinya dia hamil?”

Aku sedang berdebat dengan Cherry soal mimpiku semalam sepulang kuliah. Kami berada di halte, sedang menunggu bus yang akan membawa kami pulang ke tempat kos. Singapura panas sekali hari itu. Sinar matahari sore serasa menyengat kulit kami. Cherry mengeluarkan kaca mata hitam.

“... Lagian adek sendiri di MLin sih...” katanya perlahan sambil mengenakan kaca mata hitamnya, setengah bercanda.
“Yee...”

Bus kami datang. Berdesakan, aku menggandeng tangan Cherry agar tidak terpisah, dan kami pun masuk ke dalam bus. Penuh sesak, kami terpaksa berdiri berimpitan di dalam bus. Aku berdiri di belakang sahabatku.

“Tapi bener loh, Dit...” lanjut Cherry. “Mungkin sebagian diri lu ngerasa berdosa, dan jadi agak ada takut bahwa hal itu mungkin terjadi.”
“Iya sih...” Aku pun menyadari hal itu. Mungkin memang itu yang terjadi.
“Udah lah gausah dipikirin lagi...” katanya. Cherry perlahan menekankan pantatnya yang luar biasa montok ke arah selangkanganku. Cherry memakai hot pants yang super pendek siang itu, sementara pantatnya memang jauh lebih besar dari rata-rata, sehingga sebagian bongkahan pantatnya yang bulat agak menyembul keluar dari bawah celananya. Aku meremas pantatnya sambil melotot memperingatkan. Sahabatku ini nyengir nakal... Dasar...
“Tapi kalo emang ternyata bener dia hamil gimana?” bisikku di telinganya. Aku harus berhati-hati untuk tidak berbicara terlalu keras karena Bahasa Indonesia sedikit banyak mirip Bahasa Melayu, yang masih dipahami orang-orang Singapura. Masalah yang aku perbincangkan ini cukup sensitif.
“... Gue bahkan baru mau nanya itu ke lu... Kalo bener gimana?” Cherry bertanya balik. Aku terdiam. Aku sendiri tak tahu harus bagaimana.
“Ya paling dibawa kesini lah si Vany...” jawabku setelah beberapa lama.
“Ya... Mungkin gitu...” Cherry mengiyakan, setengah tercenung. Ia menggerakkan pantatnya yang menempel di selangkanganku naik-turun.
“Heh! Cher! Di bus ini...”
“Alaa... Lu udah ngaceng gitu...” katanya jahil.
“Gue udah ngaceng dari tadi sejak ngeliat lu... Tapi tetep aja! Aduh tunggu bentar napa sih bentar lagi juga sampe rumah!” kataku tak sabar. Sulit sekali menahan nafsu jika selangkanganku di gesek-gesek pantat semontok dan sebesar pantat Cherry.
“... Mungkin bentar lagi udah ga bisa sesering ini loh lu anal gw...” katanya perlahan. “... kalo Vany dateng?”
“Ah nggak lah...” jawabku sambil mendorong pantat Cherry menjauhi selangkanganku.

* * *


“OOHH!! Aarrghh.. Mmmhhh... Harder... Hardeerr hunny.. Nnhh..”
“Oohh... Cherryy... Chherr... Nnhhh...”

Aku menampar pantat Cherry dan meremasnya kuat-kuat. Sungguh belum pernah ada pantat cewek lain yang kukenal yang sebulat dan semontok pantat Cherry; rasanya sungguh kenyal dan padat! Cherry menggeletar, meliuk di atas tubuhku sambil bergerak naik-turun dengan cepat. Penisku menghujam anusnya berkali-kali dengan kuat. Keringat membasahi tubuh kami berdua.

“Nnnggghh!!! Nnggghhhh... Addiiitt... Mmmhhh...” lenguh Cherry keenakan. Ia menggigit bibir bawahnya yang tipis. Cherry sudah orgasme tiga kali sore itu, tapi tetap saja tak berkurang tenaganya.
“Cherrr... Cherryy... Asstagah enak bangettt...”

Aku merasakan bongkahan pantat Cherry yang super montok menghantam-hantam pahaku. Enak sekali rasanya. Anusnya ketat sekali menjepit penisku, ditambah dengan empuknya pantat Cherry yang membungkus penisku. Aku tak sedetik pun melepaskan cengkeraman tanganku dari pantatnya.

“Cherr.. Cherrr gue mau kkuarr... Nnnghhh...”
“Aaahh... Aaahhh... Lagi? Mmmmnnhh... Tahann dulu Hunny... Nnnhh...” desahnya. Aku sudah keluar sekali dalam vaginanya dan sekali kali dalam anusnya.

Ini gila. Aku sudah tidak kuat lagi.

“Mmmmhhh... Bodooo.. Bodo ahh.. Gue mau kuarin ajaa... Mmmmmhhh... Ga kuat Cherrr...”
“Tungguu... Tunggu barengannn.. Mmmmhhh gue juga udah mau kuarrr... Aahhh... Ngghhh!!! NNHHH!!!”
“Ga kuatt.. Ga kuaattt!!! MMMHHH!!!”

Aku menyemprotkan spermaku berkali-kali ke dalam anusnya, sementara Cherry squirting kuat-kuat, membasahi pinggang dan perutku. Aku mencabut penisku yang sudah ngilu dari anusnya, dan segera aku merasakan cairan putih mengalir deras keluar dari anusnya, seolah sumbatnya baru terlepas.
Cherry roboh ke atasku, terengah-engah, mengecup bibirku sambil mengelus dadaku. Aku memejamkan mata. Dahsyat sekali.

“Hhh... Lu gila Cher...” kataku terengah. Cherry tertawa lemas.
“Haha... Abisnya bentar lagi kan ga bisa seheboh ini lagi...”
“Hus... Yakin banget sih lu...”
Cherry hanya mendengus tertawa. Kami tak memiliki energi lagi untuk membahas hal ini.

* * *


Cherry begitu dahsyat sore hari itu ML dengaku, hingga aku sudah hampir lupa sama sekali akan mimpiku tentang Vany ketika tiba-tiba aku dibangunkan oleh dering handphoneku. Terkejut, aku terjaga seketika. Kamarku gelap, remang-remang diterangi sinar matahari yang sudah sangat redup. Langit berwarna keunguan. Kulirik jam dinding, pukul 7 malam Singapura. Rupanya kami tertidur sekitar sejam. Cherry masih tertidur, tertelungkup di atasku. Perlahan, kupindahkan tubuh bugil sahabatku ke atas tempat tidur, kuselimuti dengan selimutku, dan kuambil handphoneku.

Ada sebuah sms baru masuk... Dari Vany, adikku.

Kak, bole webcam skg? Aku mw ngmg.

Singkat. Terlalu singkat. Aku menangkap urgensi dalam nada pesan singkat adikku. Mencurigakan. Ah, atau hanya pikiranku saja? Tapi jantungku berdegup sangat kencang. Aku tak tahu kenapa.

Kunyalakan Skype melalui laptopku. Begitu melihatku online, Vany segera memanggilku. Koneksi tersambung setelah beberapa saat. Layar komputer menampilkan wajah adikku, Vany, tersenyum manis seperti biasa, malah cenderung nyengir.

Aku tak dapat mengartikan ekspresi wajahnya. Aku menangkap kegembiraan yang sangat meluap-luap dari dalam diri adikku ini, tapi aku juga menangkap ketakutan dan kekuatiran dari sorot matanya.

“Hai, Kak...” katanya sambil melambaikan tangan.
“Hai... Ada apa?” tanyaku, langsung pada sasaran. Setelah bertanya aku baru sadar nadaku agak terlalu tegas.
“Hm? Eh...” kata Vany gelagapan. Rupanya tak menyangka akan langsung ditanya. “Eh... Aduh harus mulai dari mana ya...”

Aku diam dan menunggu. Jantungku berdebar sangat kencang, dadaku sakit rasanya. Vany memejamkan mata, menggeleng pelan. Sambil menghela napas panjang, ia membuka mulutnya yang mungil.

“Aku hamil, Kak...”

Entah bagaimana, aku tidak kaget sama sekali. Mungkin karena telah dipersiapkan dengan mimpi-mimpiku itu. Sungguh, aku tidak kaget sama sekali. Melihat aku terdiam, Vany melanjutkan.

“Aku udah ga dapet 2 bulan sejak awal Juli kemaren. Terus sejak seminggu yang lalu tiap pagi mulai muntah-muntah... Jadi aku periksa pake alat cek kehamilan... Hasilnya positif,” jelas Vany.
“Jadi... Aku bilang ke mami, terus 3 hari yang lalu aku dianter mami ke Tante Rina, dicek. Hari ini hasilnya keluar... Bener positif aku hamil... Udah 11 minggu... Jadi hampir 3 bulan,” lanjutnya. Tante Rina adalah dokter keluarga kami, dulu beliau lah yang membantu ibuku melahirkan aku dan Vany.

Aku terdiam. Tak tahu harus bertanya apa. Aku tahu itu pasti anakku, tapi aku tetap bertanya.

“... Itu... Anak...?”
“Anak Kakak...”
“Pasti?”
“Ya. Udah di cek tadi sama DNA Kakak. Si tante masih punya ternyata sample nya,” jelas Vany panjang lebar, dengan tenang, cenderung riang. “Lagian aku ga pernah ML sama cowo laen.”
“Jadi... Mami uda tau?” tanyaku.
Pipi Vany merona merah. Sambil tersenyum ia menjawab, “Mami uda tau sejak kita ML, Kak...”

Kali ini aku terkejut.

“Hah? Koq bisa??”
“Mami... Tadi mami bilang sama aku, mami pertama kali taunya tuh waktu itu pernah kebangun suatu malem sekitar pertengahan Juli abis pulang dari Semarang,” kata Vany. Pertengahan Juli, aku berpikir, berarti itu malam-malam terakhir aku dan Vany ML sebelum vakum selama hampir 2 minggu dan ML lagi di malam terakhirku di Jakarta (Baca episode 4).
“Terus?”
“Terus mami pas kuar kamar, mau turun minum di bawah, lewat kamar kita. Dia denger suaraku desah-desah gitu,” kata Vany. “Pertamanya mikir cuma Kakak lagi nonton film bokep, tapi terus dia nyadar koq suaranya kedengerannya dari kamarku. Jadi terus dia deketin pintunya.”
“Terus Mami coba buka pintu, ternyata ga kekunci. Ya terus mami ngeliat kita lagi ML lah... Katanya mami ngintip sampe kita kelar....” lanjut Vany sambil tertawa kecil. “... Terus katanya mami juga pernah masuk kamarku pas kita lagi mandi bareng sore-sore... Jadi udah beberapa kali tau lah...”

Aku terdiam, tak percaya. Bagaimana mungkin ibuku telah mengetahui hubungan terlarang kedua anaknya selama ini dan tak menghentikannya?

“Koq... Koq ga dihentiin ya sama mami...” tanyaku bingung.
Vany mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. “Nggak tau... Aku tadi juga tanya gitu...”
“Terus mami bilang apa?”
“Katanya... Uda terlanjur mau diapain lagi...”

Aku mengangguk. Memang seperti itulah ibuku. Ia tak pernah berusaha mengubah bubur menjadi nasi. Dalam hati aku sangat berterima kasih atas pemahaman ibuku.

“Jadi Papi-Mami udah tau...”
“Belum, Papi belum,” ujar Vany. Kali ini suaranya agak bergetar. “... Mungkin malem ini kita kasi tau papi.”

Aku mengerti ketakutan Vany akan ayahku. Pasti beliau akan murka besar mengetahui anak gadisnya dihamili oleh anak sulungnya sendiri. Aku pun ngeri. Pikiranku campur aduk sekarang.

“Van... Bagaimana pun papi harus tau,” kataku. Vany mengangguk tegas.
“Ya. Aku sih udah siap nanggung semua resikonya, Kak...”

Tertegun, aku terdiam sejenak. Tak kukira Vany setegar dan memiliki hati sekeras itu. Aku tersenyum, untuk pertama kalinya sejak mendengar kabar luar biasa ini.

“... Kamu hebat, Van...” kataku lembut. Vany nyengir.
“Kak... Kakak bakal tanggung jawab ‘kan?” Vany bertanya tanpa ragu.
“... Pasti,” jawabku. Entah kenapa keyakinan mengalir kuat di hatiku. Vany tersenyum lega. “Kita tanggung sama-sama. Kita yang berani berbuat koq, ya harus kita yang nanggung akibatnya.”
“Ya,” jawab Vany.

Kami terdiam, tak tahu harus ngomong apa.

“Van...” kataku akhirnya. Masih ada satu pertanyaan yang mengganjal di hatiku.
“Ya?”
“... Koq kamu bisa setegar dan seceria itu? Kamu... Kamu bakal kehilangan sebagian masa ABGmu,” tanyaku. Vany terdiam sejenak.
“... Aku...” katanya, menunduk, melihat ke arah perutnya yang tak terlihat berbeda. ”... Aku seneng bisa hamil anak Kakak... Seneng banget.”

* * *


Semuanya berjalan sangat cepat. Ayahku, di luar dugaan, tidak marah sama sekali saat mengetahui perbuatan kedua anaknya. Beliau hanya menyatakan kekecewaannya yang sangat besar, dan justru hal itulah yang membuat aku dan Vany merasa sangat berdosa. Tapi saat semua itu berlalu, kedua orangtuaku menjadi sangat antusias menyambut kehadiran seorang anggota keluarga baru, cucu pertama mereka.

Setelah negosiasi dengan pihak sekolah, Vany diputuskan untuk mengikuti sekolah hingga akhir semester pertama kelas 3 SMPnya, kemudian pindah ke Singapore untuk menutupi masalah ini. Setelah melahirkan, Vany boleh melanjutkan sekolah, tapi harus mengulang dari awal kelas 3 SMP. Vany setuju akan hal ini.

Hal lain yang perlu dihadapi Vany tentu saja soal teman-temannya. Seperti sudah diduga, sebagian besar teman-teman Vany di sekolah segera menyebarkan berita kacau ini ke seantero sekolah, dan mulailah orang-orang memandang Vany dengan tatapan sinis. Aku bersyukur karena memiliki adik yang sangat keras hati dan teguh, di samping juga ia memiliki satu grup sahabatnya yang tetap menyayangi, melindungi, dan terutama, menerimanya tanpa pandang bulu.

Vany diharuskan mengikuti terapi khusus secara intensif oleh dokter untuk memperkecil kemungkinan cacat pada bayi kami, mengingat anak hasil hubungan inses memiliki kemungkinan cacat, baik mental maupun fisik, yang besar. Untungnya, jika terapi dilakukan sejak usia kehamilan masih sangat awal, tingkat keberhasilannya menjadi sangat besar.

Dan tak terasa, bulan November sudah mendekati akhirnya. Perut Vany semakin membesar. Kuliahku berjalan sangat lancar, dan aku akan pulang ke Jakarta pada akhir bulan ini. Aku sudah tak sabar untuk bertemu dengan adikku satu-satunya. Webcam dan foto yang dikirimkan padaku tak cukup memuaskan kerinduanku untuk bertemu secara fisik dengan Vany, dan calon anakku yang ada di dalam perutnya... Dan tentu saja aku ingin merasakan bersetubuh dengan cewek hamil


* * *


Singapore, 29 November 2008, 10.15pm

“Hahahahaha... Ih Kakak parah!! Hahahaha...”
“Loh tapi bener kan?? Pasti jadi lebih berat! Kan ditindih 2 orang!”

Malam itu aku sedang bercanda dengan Vany melalui webcam. Ini malam terakhirku di Singapore untuk semester ini. Aku akan pulang ke Indonesia besok siang. Barang-barangku sudah terpak rapi di dalam koper.

“Eh, Kak, aku udah musti tidur... Dokternya bilang jam 10 batas maksimal sebetulnya,” kata Vany sambil mengelus perutnya yang sudah jelas terlihat buncit. Janinnya bertumbuh sehat dalam kandungan Vany yang sudah hampir mencapai bulan ke 5.
“Oiya.. Udah 10.15 malah sekarang... Yaudah kamu istirahat aja...” kataku sambil tersenyum.
“Sampe ketemu besok... Jangan ada yang ketinggalan!” ujar Vany mengingatkan. Sudah persis ibuku.
“Hahaha kamu tuh uda persis mami tau nggak ngomonginnya...”
“Iiih... Apa coba...” ujarnya. Aku tertawa lagi.
“Kangen banget sama kamu, Yang...” kataku lembut. Vany nyengir.
“Aku juga kangen sama Kakak...” bisiknya. “... Udah ga tahan.”

Aku tertawa terbahak-bahak.

“Hahahahaha akhirnya kamu juga yang nggak tahan!”
“Halah Kakak pasti uda lebih ga tahan lagi kan??” tebaknya tepat. Aku mengangguk.
“Pengen nyoba ML sama cewe hamil...” kataku jujur. Muka Vany merona.
“Dasar...” katanya pelan. Tapi ia tetap nyengir malu. “Aku punya kejutan buat Kakak soal itu...”
“Apa tuh?” tanyaku penasaran.
“Ada lah... Pasti Kakak suka... Tunggu aja besok,” jawabnya sambil nyengir nakal.
“Hahaha kamu tuh... Yaudah... Nitez, Van...”
“Nite, Kak... Nggak bilang nitez sama baby?” katanya sambil mengedik ke arah perutnya.
“Oiya... Nite Nite, Baby!” ujarku.
Vany tertawa, melambaikan tangan, melemparkan kecupan, dan mematikan webcam.

Terminal 2, Bandara Soekarno-Hatta Jakarta,
30 November 2008, 18.05

Aku berjalan, setengah berlari, ke arah tempat pengambilan bagasi. Jas hitamku berkibar diterpa angin. Kebetulan aku mendapat kursi tempat duduk terdepan di pesawatku pulang, sehingga imigrasi pun kulalui dengan cepat (tidak perlu ngantre).

Sekitar sepuluh menit kemudian, sebuah koper hitam besar bergaris cokelat muda muncul di conveyor belt. Segera kuambil koperku, kuletakkan di atas troli bersama ranselku, dan mulai berjalan, sedikit tergesa, ke arah luar. Hatiku berdebar-debar mencari wajah yang kukenal.

Dan di tengah kerumunan orang yang menunggu kerabat, teman, atau kenalan yang datang hari itu dari Singapura, aku melihat wajah ibuku; tersenyum cerah melihat anak sulungnya, melambai bersemangat. Ayahku di belakangnya, tinggi menjulang, nyengir melihatku. Di sebelahnya... Jantungku seolah berhenti berdetak.

Vany berdiri di samping ibuku, nyengir sangat lebar. Rambutnya yang dulu sangat pendek-kaku sekarang panjang terurai sebahu. Pipinya yang tirus sekarang menjadi agak chubby, tapi justru membuat wajahnya menjadi cantik dan anggun sekali; hanya sedikit tersisa kesan kekanak-kanakannya. Adikku mengenakan t-shirt hijau muda, ditutupi cardigan warna broken white, dan celana putih selutut. Perutnya yang buncit tampak jelas menyembul keluar, dan tentu saja... dadanya... astagah, apa tambah besar lagi?

Aku melihat pandangan beberapa orang di sekitar Vany yang agak heran, karena bagaimana pun tampang adikku masih seperti anak kecil, tapi jelas sedang mengandung. Tapi aku tak peduli, dan aku tahu Vany juga tidak peduli. Belum sampai aku ke pembatas yang memisahkan penjemput dan orang yang dijemput, Vany sudah berlari menghambur dan memelukku erat-erat. Aneh rasanya, ada yang mengganjal di bagian perut. Tapi aku pun memeluk erat adikku.

“Kaaaaakkkkk... I miss you soo muchhh!!” ujarnya tulus. Aku tertawa dan membelai rambutnya.
“I miss you too, Hunny...”
Kami melepas pelukan, dan aku memandangi adikku yang berseri-seri, dan tentunya memperhatikan perutnya yang buncit. Ia memukul lenganku.
“Koq ngeliatnya kayak gitu?” tanyanya geli.
“Masih heran ngeliat kamu hamil...” kataku jujur. Vany terbahak.
“Mau pegang ga?” katanya, menyodorkan perutnya.
Aku mengulurkan tanganku, entah kenapa agak gemetar, dan dengan canggung mengelus perut Vany. Bulat dan mulus sekali rasanya. Vany tertawa lagi, menyadari kecanggunganku. Ia menggamit lenganku dengan sayang dan kami berjalan ke arah kedua orangtua kami.

“Apa kabar, Dit?” kata ibuku sambil mengecup pipiku.
“Baik banget, Ma,” kataku, kupeluk beliau erat. Ayahku menonjok lenganku perlaan. Aku nyengir dan merangkulnya. Tinggi kami hampir sama sekarang.
“Welcome home,” katanya. Aku mengangguk dan tersenyum cerah. Memang tak ada yang mengalahkan Jakarta sebagai rumahku. Banyak hal yang berubah di keluarga ini, tapi aku bersyukur karena kasih sayang tidak berubah di antara kami.

Kami berempat berjalan keluar gedung terminal ke arah mobil. Ayah dan ibuku di depan, aku mendorong troli sambil merangkul pinggang Vany di belakang mereka.

“Kamu bedaaa banget...” kataku pada Vany.
“Hm? Beda gimana?” tanyanya.
“Beda deh... Rambutnya, semuanya...”
Aku tak mampu menjelaskan dengan kata-kata.
“Tambah cakep ga?”
“Tambah besar,” bisikku. Vany tertawa terbahak-bahak.
“Dasar Kakak...”
Sambil memelankan suaraku, aku bertanya, “Eh kejutannya apa?”
Vany nyengir nakal dan berkata, “... Ntar malem aja di kamar.”

* * *

Rumahku, 22.00

“... Jadi kalo nurut aku sih antara kru pit stop yang lain sama yang kasi aba-aba untuk jalan ada salah paham.”
“Terus Massa langsung jalan aja gitu?”
“Ya. Langsung tancep gas, selang bensin masih nempel padahal. Jadi orang yang bagian ngisi bensin langsung kebanting gitu.”
“Hooo... Wah seru ya.”

Kami sekeluarga sedang duduk-duduk di sofa ruang tengah rumah kami, menonton pertandingan Manchester United vs Manchester City di TV sambil berbagi cerita. Aku sedang menjelaskan kepada ayah, ibu, dan Vany tentang insiden Felipe Massa yang menarik selang bensin dan membuat salah seorang kru Ferrari terpelanting pada balapan F1 di Singapura bulan September lalu. Kebetulan aku mendapat free pass untuk masuk ke area tribun VIP karena aku magang sebagai stage crew untuk acara di F1 Executive Lounge. Tempat dudukku sangat dekat dengan area pit stop, sehingga dapat melihat insiden Massa dengan sangat jelas.

“Sayang ya... Padahal kalo ga ada kejadian itu dia bisa menang ya,” kata ayahku.
“Iya... Jadi yang menang Alonso deh...” jawabku.

Kami terdiam. Vany duduk bersandar di sebelahku sambil mengelus-elus perutnya. Entah kenapa setiap kali melihat perutnya yang buncit, penisku mulai menegang (aku segera menggeser bantal untuk menutupinya). Badanku memang lelah sekali malam itu, tapi hatiku masih ingin mengetahui kejutan yang Vany siapkan bagiku. Seolah mengerti pikiranku, Vany nyengir dan menegakkan tubuhnya.

“Hmmmh...” Vany menghela nafas dan berdiri perlahan.
“Oh ya udah jam 10 ya...” kata ibuku, tersadar.
“Ya. Aku naik dulu deh ya, Pa, Ma...” ujarnya. Ia menoleh, menatapku dengan penuh arti. “Besok sekolah juga kan.”
“Ah ya... Aku naik juga deh ya...” kataku, mengetahui maksud Vany. “Capek juga.”
Ayah ibuku tidak menjawab, saling berpandangan. Dalam hati aku sepertinya mengerti apa yang mereka pikirkan.

Kami sudah setengah jalan menaiki tangga ketika tiba-tiba ayahku memanggil.

“Kak, Dik,”
“Ya?” jawabku dan Vany berbarengan sambil menoleh. Ibuku yang melanjutkan.
“... Jangan sampe kemaleman ya kalian maennya. Vany inget Kakak baru pulang, pasti capek. Kamu juga besok sekolah kan,” ujar beliau.

Terdiam sejenak, aku dan Vany saling berpandangan.

“Iya Ma tenang aja,” jawab Vany riang.
“Nite Ma, Pa!” kataku sambil mendorong punggung Vany agar melanjutkan naik ke lantai 2 dan masuk ke kamarku.

Begitu pintu kamarku menutup, tawa kami meledak.

“Hahahahahaha ngasi taunya vulgar gitu sih Mami?” kataku sambil tertawa.
“Hahahahaha iya tuh parah!” mata Vany berair karena tawa.
“Hahahaha...”

Terdiam sesaat. Aku memeluk adikku dari belakang. Vany menghembuskan nafas dengan agak gugup. Tanganku mengelus perutnya yang buncit. Wangi buah-buahan khas Vany memenuhi inderaku.

“... Tapi aku bersyukur punya orangtua kayak mereka,” bisik Vany. Aku mengangguk.
“Ya... Kalo yang lain mungkin kita udah diusir,” kataku sambil mengecup belakang telinga adikku dengan lembut. Vany bergidik.
“Mmmhh... Udah lama banget rasanya ga dicium kayak gitu...” bisiknya senang. Aku tersenyum, menurunkan kecupanku ke arah rahang belakang Vany.
“Mmm... Van...”
“Hmm...? Nap...a?” tanya Vany di balik desahan.
“Gapapa... Kakak kangen banget sama kamu gini,” kataku perlahan. Tanganku bergerak, meremas dadanya yang super besar perlahan.
“Tambah gede lagi ya?” tanyaku. Vany mengangguk.
“Iyalah... 34DD... Mmhhh...” katanya.
“Gila cepet banget tambah gedenya!” ujarku, terkejut. Saat aku pergi bulan Agustus lalu, dada Vany berukuran 32D.
“Iyalah namanya hamil... Mmmm... Ka...ak... Pelan donkk...” desah Vany keenakan. “Ah... Tapi gemuk tau aku... Mmhh...”
“Nggak koq... Sexy... Lagian kan emang hamil pasti gitu...”
“Iya sih.. Mmmhh... Aah... Kakak... Pelan-pelan...”

Aku meremas dada Vany dengan nafsu sambil terus menciumi dan menjilati lehernya. Vany menelengkan kepalanya, memberi ruang untuk memudahkanku menciuminya. Tanganku tak cukup besar untuk membekap dada adikku. Luar biasa empuk dan padat rasanya. Penisku sudah tegang setegang-tegangnya.

“Hmmm... Vann... Empuk banget...”
“Mmmnhh... Kakk... Kak... Jangan keras-keras...”

Vany berbalik, mencium bibirku. Kulumat bibir adikku, kumasukkan lidahku yang langsung dibelitnya. Kami berciuman semakin panas. Bunyi decak lidah kami yang saling membelit tedengar sexy di kamarku yang dingin. Vany mundur hingga ke arah ranjangku dan merebahkan diri di sana, diikuti aku yang menelungkup di atas tubuh adikku, melumat bibirnya dengan lembut. Vany membelit lidahku dengan nikmat. Tanganku bergantian bermain di atas perut dan dadanya yang empuk.

“Sayang... Udah boleh tau kejutannya?” tanyaku. Vany nyengir nakal.
“Mmm... Sabar donk, yang...” godanya. Perlahan, Vany mengangkat sedikit kaos tidur biru mudanya, menampakkan perutnya yang buncit dengan jelas, menggodaku. Kulitnya mulus sekali, tak ada bekas-bekas strechmark sama sekali. Penisku rasanya berdenyut-denyut di balik celanaku.

Aku tersenyum, mengelus dan mengecup perut adikku. Masih heran rasanya akan kenyataan bahwa yang di dalam sana adalah anakku sendiri. Sekali lagi, Vany seolah membaca pikiranku.
“... Ga nyangka ya, Kak?” tanyanya.
“Iya... Tapi Kakak seneng...” jawabku sambil mengecup perutnya. Entah kenapa enak sekali rasanya.
“Aku juga...” kata Vany. “... Cowo ato cewek ya?”
“... Semoga cewek...” jawabku. Vany tertawa.
“Koq gitu?”
“Abis maminya cantik banget... Kalo anaknya cewek harusnya secantik maminya...”
“Ciah.. Gombal...” dengus Vany geli. Aku nyengir. Tanganku merogoh ke arah dadanya, meremasnya dengan nikmat. Vany membuka kaosnya seluruhnya. BH Vany yang pink berenda tampak sangat kesulitan menampung dadanya yang besar; sebagian dadanya masih ada yang menyembul ke samping kanan-kiri cakupan BH itu.

“Gede banget sih...” kataku gemas sambil meremas dadanya. Aku merasakan puting Vany sudah mengeras di balik BHnya.
“Kakak yang buka deh... Kan bukannya dari depan,” katanya.

Tak menunggu disuruh dua kali, aku membuka kancing BHnya, dan perlahan, kedua tanganku menyingkapkan BH putih itu. Dada Vany bergelayut menggiurkan saat terlepas dari bekapan BHnya. Benar-benar besar dan kencang sekarang. Putingnya jelas bertambah besar, dan sekarang warnanya menjadi lebih gelap.
Tanpa ragu-ragu aku meremas dada Vany. Montok dan kenyal sekali. Jemariku memainkan putingnya yang tegak berdiri. Vany menggeliat, menggelinjang.
“Aahh.... Kakkk... Enak bangett...” desahnya.
Aku memainkan puting kirinya yang super sensitif dengan telunjukku. Tangan kiriku meremas dada kanannya, sementara jemari tangan kananku mencubit puting kirinya. Tiba-tiba aku tertegun. Aku merasa tanganku basah. Aku mendongak, menatap adikku. Vany tersenyum. Sepertinya aku tahu apa kejutannya.

“Van... Kamu...?”
“Hehehe coba aja...”

Vany menarik kepalaku, membenamkan wajahku dalam bekapan dadanya. Empuk dan lembut sekali. Perlahan, aku menggeser wajahku ke arah putingnya. Kujilat puting kirinya perlahan. Vany mengejang.

“Kakk... Sedot aja...” pintanya.
Aku menyedot putingnya... Dan seketika itu juga mulutku tersemprot cairan... manis... Susu!

“Van! Kamu udah kuar susu?” ujarku. Vany hanya nyengir lebar dan mengangguk. Aku kembali menyedot susu dari putingya dengan bersemangat. Enak sekali rasanya. Manis dan kental. Penisku benar-benar sudah sangat tegang.
“Mmhh.. Pelan-pelan... Kakk... Mmmnn... Kakak tuh kayak bayi gede...” katanya geli. Aku tak peduli, terus menikmati air susu adikku. Bergantian aku menyedot, menjilat, mengulum puting kiri dan kanannya, sambil terus meremas-remas, menikmati keempukan dada Vany dan manis susunya. Vany mengelus-elus rambutku dengan sayang.
“.... Kakk... Mmmhh.... Suka banget ya?” tanyanya perlahan.
“... Mmmm... Cppp... Sllrpp... Enak banget... Vann... Mmm...” kataku dengan mulut penuh. Aku menegakkan diri, menjilat ceceran air susu di sekitar mulutku, dan mengecup bibir adikku lembut.
“Kamu pinter kasi kejutan...” bisikku. Vany tersenyum.

Kami berciuman lagi. Tangan kiriku merogoh ke bawah perutnya yang buncit, masuk ke dalam celana pendek dan celana dalamnya. Sudah basah sekali.
“Basah banget, Van?” godaku.
“Iihh... Kakak kan yang bikin gituu...” katanya manja. “Ahh!!”
Aku memasukkan jari telunjuk dan jari tengahku ke dalam vaginanya yang telah sangat basah sehingga Vany berjengit.
“Kakk... Nakal bangett... Mmmhh... Mmmmnn... Mmmhhh!”
Jemariku keluar-masuk vaginanya, makin lama makin cepat. Vany menggeliat, mengejang. Aku tahu sebentar lagi ia akan orgasme.
“Ayo, Sayang... Keluarin aja...” kataku sambil terus memainkan jemariku di dalam vaginanya. Vany tak tahan lagi.
“Kakkk... Kaa... Ahhhh... Aaahhh... Kkkaakk... Mauu... Kellluarr... NNnnhh!!!”
Tangan kiriku tersiram cairan dingin kuat-kuat. Vany squirting kuat sekali.
“Ooohh.... Oohhh... Kaakk... Kakkk...” kata Vany terengah.
“Kamu masih kuat ya squirtingnya,” kataku, tersenyum.
“Ayo Kak... Lanjutin...” pintanya.

Aku menurut. Perlahan, aku menciumi leher Vany, kemudian turun ke dada dan perutnya yang mulus. Tubuh Vany bergetar saat ciumanku turun dari perut ke arah pinggang bawahnya. Dengan lembut kubuka celana pendek Vany. Vany mengenakan celana dalam pink tipis berenda, serasi dengan BHnya. Sudah basah kuyup.

“Buka aja ya?” tanyaku. Vany mengangguk, mengangkang untung memudahkan kakaknya membuka.

Kubuka celana dalam adikku perlahan. Bibir vaginanya yang ditumbuhi rambut sangat tipis menjadi lebih tembem sekarang setelah ia hamil, agak berdenyut setelah tadi keluar sekali. Tanpa ragu-ragu aku membenamkan kepalaku di selangkangannya. Vany menggrunjal.

“Mmmhh... Kakk...” desahnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Kuciumi vagina adikku dengan nikmat. Wangi segar sekali. Perlahan, kujulurkan lidahku ke dalam vaginanya dan mulai menjilati dinding bagian dalam vagina Vany.
“Mmmnnn... Aaahh... Kakkk... Pelan... Oohh....” desah Vany, mencengkeram rambutku. Aku memainkan lidahku semakin liar di dalam vagina adikku. Vany mengejang.
“Kakkkkk.... KKAAKKK!!!”
Vany menjerit sambil squirting untuk kedua kalinya, menyiram wajahku dengan cairannya. Tubuhnya gemetaran hebat, nafasnya tersengal. Kulepas kaosku untuk mengelap wajahku yang basah kuyup.
“Hhh... Hhhh Kakk... Hhh...” dada dan perut Vany bergerak naik-turun menggiurkan, mengatur nafas.
“Ayo, giliran Kakak ya sekarang...” kataku sambil menegakkan diriku di hadapannya, menyodorkan penisku ke arah wajahnya.

Vany mengangguk, beringsut menegakkan diri perlahan. Perutnya yang besar membuatnya tak selincah dulu. Vany duduk bersender ke kepala ranjang, dan mengelus penisku perlahan. Dengan tatapan menggoda, Vany menjilati penisku yang sudah sangat tegang. Dijilatinya dengan lembut dari pangkal hingga kepalanya, kemudian Vany memutar-mutar lidahnya di kepala penisku.
“Mmm... Sllrpp... Kasian udah lama ga dijilat aku... Mmmm..” kata Vany manja. Aku nyengir sambil menahan nikmatnya.
“Ngghh... Sedot... Sedot aja sayang,” pintaku.
Vany memasukkan penisku ke dalam mulutnya, dan dengan ahli mengulumnya. Kepalanya bergerak maju-mundur. Enak sekali.
“Aahh... Vannn... Mmmmnnhh.... Kamu emang jago... Nggg...” desahku.

Vany menggerakkan lidahnya di bagian bawah penisku sambil terus mengulum dan menyedotnya kuat-kuat. Teknik oral sex adikku sudah sangat hebat sekarang.

“Mmmm... Sllrppp... Cppp... Tabah besal lagii.. Nagalll.. Sllrpp... (Tambah besar lagi... Nakal)” katanya dengan mulut penuh. Vany semakin mengencangkan sedotannya. Kalau seperti ini aku tak akan tahan lama.
“Ss.... Sayangg... Mau kuarr... Nnggghhh... Titt... F... uck aja...” desahku tak kuat.
“Oke...” katanya.

Vany menghentikan sedotannya dan memegang penisku. Ia mengarahkannya ke arah putingnya yang juga telah tegang, dan memainkan penisku di situ. Enak sekali rasanya.
“Vaann... Vannn... Nngghhh....” aku benar-benar tak tahan.
“Mmmhh... Kakk...” desahnya menikmati. Vany meremas dadanya hingga air susu mengalir keluar dari kedua putingnya. Ini sudah keterlaluan.
“VaannnNNNNN!!!!” aku meledakkan spermaku berkali-kali ke atas dada adikku yang besar, ke leher dan wajahnya. Enak sekali. Vany menjilat sperma yang ada di sekitar bibirnya sambil mengocok penisku yang masih tegang perlahan.

“Mmm... Kakak ga seru nihh... Masa digituin aja langsung keluar...” ujarnya bercanda.
“Ya lagian kamu disuru titf*ck malah maen-maenin di puting kamu... Pake keluar susunya segala lagi... Mana tahan,” kataku membela diri. Vany nyengir lebar.
“Segitu sukanya ya aku titf*ck?” bisiknya perlahan. Tersenyum, kuletakkan penisku di belahan dadanya. Empuk dan lembut sekali, kulitnya sungguh-sungguh mulus. Vany menekan kedua dadanya yang luar biasa bulat dan besar, menjepit penisku di tengah, dan mulai menggerakkannya naik-turun.
“Ooohhh... Vannn... Ini enaakkk.. nngghh... banggett...” kataku dengan suara tercekat. Penisku terasa berdenyut-denyut di tengah bekapan dadanya. Sensasinya luar biasa karena bagian samping penisku terbungkus dadanya yang besar dan empuk sementara bagian bawahnya tertekan perutnya yang buncit dan keras. Benar-benar tak bisa dilukiskan nikmatnya.

“Mmmnnhh... Vannn.. Vann...” tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur. Vany menjulurkan lidahnya, menjilati kepala penisku yang hilang-timbul dari balik dadanya.
“Ngghh.. Vann.. Vann... Kakak mau.. keluarr... Mmmnnhhh...” aku menggerakkan pinggulku semakin cepat. Jepitannya terasa semakin kuat.
“Kuarin di mulutku ya, Kak...” katanya. Aku mengangguk-angguk.

Vany melepas jepitan dadanya dan segera menyedot penisku kuat-kuat. Aku menyemprotkan spermaku ke dalam mulutnya berkali-kali, rasanya tak mau berhenti. Mulut Vany terlalu mungil untuk menampung semuanya, sehingga sebagian menetes ke dagu dan dadanya. Penisku masih tegang. Tak ada tanda-tanda akan melemas sedikit pun. Badanku masih menginginkannya.

Vany menelan sperma kakaknya. Seksi sekali.
“Kamu selama kakak pergi sering nonton bokep ya?” tanyaku tiba-tiba.
“Hahahahaha.. Koq kakak tauu??” tanyanya polos.
“Gayanya udah persis gitu...” Vany terkekeh. Tangannya bergerak turun, mengelus perutnya yang buncit, dan merogoh vaginanya. Jemarinya membuka bibir vaginanya, memamerkannya padaku.
“Ayo Kak... Katanya pengen ngerasain...” godanya.

Aku tersenyum. Kuarahkan penisku ke vagina adikku, kumainkan bibir vaginanya yang tembem dengan kepala penisku.

“Nngg... Kaak... Ayoo masukiinn...” pintanya tak sabar.
“Iya iya ini yang udah ngebet siapa sih sebenernya..” candaku. Vany terbahak.
“Makanya cepett...”
Aku menunduk, mengecup perut adikku yang buncit dan mulus.
“Papi masuk ya...” kataku meminta izin pada anakku. Vany tertawa lagi.

“Kaakk... Ayoo...”
Tak perlu disuruh lagi, aku segera menghujamkan penisku ke dalam vaginanya. Hangat dan sempit sekali, lebih nyaman dari vagina-vagina lain. Vany menggrunjal, tangannya yang mungil mencengkeram seprei. Kugerakkan pinggulku perlahan di hadapannya.
“MMnnhhh!! Kakk... Aaahhh... Aahh.. Ahh..” desahnya tiap kali penisku menghantam mulut rahimnya. Dadanya berguncang-guncang menggiurkan seirama tusukanku. Sesekali air susu merembes keluar dari putingnya.
“Vaann.. Nghh.. Nghhh... Jadii... Anget... Bangett.. Ahh...” kataku.
“Mmhhh.. Mnnhhh... Ahh.. Kakk.. Kak pelan.. pelaann...”

Aku meremas dada Vany yang penuh susu. Air susunya muncrat keluar, membasahi tanganku. Sambil terus menghujamkan penisku, aku menunduk, menyedot dan menjilat putingnya, meminum susu adikku yang manis.

“Aahh.. Ahhh.. Kakk... Kakkk... Mmnhhh... Mauu...” desahnya terbata. Wajahnya merah padam. Aku tahu Vany sudah hampir mencapai klimaksnya.
“Nnghhh... Keluarin.. Keluarin sayangg...” ujarku, mempercepat genjotanku.
Vany mencengkeram seprei kuat-kuat. Aku tahu jilatan dan kulumanku di putingnya semakin merangsangnya, sehingga kumainkan lidahku di atas puting kirinya yang super sensitif. Vany mengejang, tak tahan.
“Kaaakkkk... KAAKK!!!” Vany menjerit sambil squirting kuat-kuat. Air susunya menyemprot keluar ketika ia mencapai orgasme. Luar biasa sekali. Vaginanya pun menyempit drastis, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku semakin mempercepat genjotanku.
“MMhhh.. S... Sayangg.. Enakk bangettt... Ngghhhh...” bisikku.
“Kakk... Ahhhh... Ahh.. Hhh... Pelan... Pelann...” desah Vany di balik nafasnya yang tersengal. Keringat membanjiri tubuh kami. Tangannya merangkul leherku.
“Vann... Kamu.. Nghh... Tambah... Mmhh.. Sempit.. Tauu...”
“Aahh... Ahhh... Tapi.. Tapi ntar.. Bayinya... Sakit... Aahhh...” kata Vany sambil mengelus perutnya.

Aku tertegun.

“... Hhh... Hhh... Kenapa Kak?” tanya Vany heran karena aku tiba-tiba berhenti.
“... Hm? Oh... Nggak... Gapapa...” kataku, menggelengkan kepala. Ini persis dengan mimpiku berbulan-bulan lalu saat belum mengetahui bahwa adikku sedang mengandung anakku.
“Kurang kenceng, kah?? Oke bentar...” kata Vany. Tiba-tiba ia berkonsentrasi, mengetatkan jepitan vaginanya, dan mengeluarkan ‘jurus’nya: penisku seketika seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan.
“Nngggaahhhh... Vaann... Vann.. Vaannn... Kakakk... Ga bilang gitu...” kataku, menahan sensasi nikmatnya. Aku memejamkan mata rapat-rapat.
“Mmhhh... M... Lagian... Tau-tau... Ahh.. Diem gitu...”
“Iya dehhh... Cepet deh... Mmmhhhh...” kataku, mempercepat hujamanku. Kulumat bibir adikku. Lidah kami saling berbelit, berdecak. Penisku sekali lagi diserang gelombang Vany, dan aku sudah tak tahan lagi.
“Mmmmwahh... VaannnnnnnNNNN!!!!” seruku sambil melepas ciuman. Aku mengeluarkan cairan putihku di dalam vaginanya berkali-kali. Vany mengencangkan vaginanya, membuat penisku serasa diperas.

Kucabut penisku saat masih belum berhenti keluar, dan meledakkan sisa sperma di atas perut adikku yang sedang hamil. Vany terbaring terengah-engah; cairan putih kental mengalir keluar dari dalam vaginanya membasahi pahanya dan ranjangku. Perutnya yang buncit, terlihat mengkilat karena keringatnya tertimpa cahaya lampu kamarku, bergerak naik-turun. Vany memejamkan mata, menikmati sensasi yang masih tertinggal.

Kududukkan diriku di sisinya. Penisku sudah linu, tapi masih tetap meminta lebih lagi. Vany menyenderkan kepalanya di bahu kakaknya. Kukecup kepala Vany.
“Masih mau lagi ya, Kak?” tanyanya saat melihat penisku yang masih tegak berdiri.
“Mungkin sekali lagi... Kamu udah capek belon?”

Vany menggeleng.

“Yuk... Anal?” tanyanya. Aku nyengir dan mengangguk. Vany beringsut menegakkan dirinya dan berjongkok di atas penisku, membelakangi aku. Kuremas pantatnya yang besar dan montok.
“Sekarang bahkan lebih besar dari Cherry...” kataku memuji.
“Kan hamil.. Ntar Cherry kalo hamil juga pasti lebih gede lagi...” katanya. Aku tertawa. Tak terbayang seberapa besarnya pantat sahabatku saat hamil nanti.

Kubuka bongkahan pantat adikku, menampakkan anusnya yang baru sekali dimasuki. Perlahan, Vany menurunkan pinggulnya ke atas pangkuanku, hingga penisku perlahan masuk ke dalam anusnya yang sempit. Sensasi lembut pantatnya dan sempit anus adikku membungkus penisku. Enak sekali.
“Mmmhhh... Vannn...” kataku sambil mulai perlahan menggerakkan pinggulku naik-turun.
“Ngghh... Kakk... Kalo bukan... Nhh... Kakak... Aku ga mau loh di anal... Mmhh...” ujarnya terbata. Vany menyenderkan punggungnya ke arahku.
“Mmhh.. Mmhh.. Tapi... Kamu... Suka kan...” kataku. Aku semakin mempercepat genjotanku.
“Aahh.. Ahh... Nnhh... Se... Sekarang sih... Nggaahh.. Sukaa... Aaahh...” desahnya. Kuremas-remas dada adikku dengan nikmat, memeras air susunya hingga menyemprot-nyemprot keluar. Penisku menghujam ke dalam anusnya berkali-kali, semakin lama semakin cepat. Enak sekali, sempit sekali.

“NMmhh... Sayang... Ini sempit bangetttt... Mmmhhh....” kuciumi lehernya. Pinggul Vany mulai bergerak naik-turun juga, membantuku.
“Aaahh... Aaahh... Kakkk...” desah Vany sambil membelai perutnya. Tanpa sadar, tangannya merogoh ke arah vaginanya yang masih berlumuran spermaku dan mulai memasukkan jemarinya sendiri ke dalam.
Kumainkan, kucubit puting adikku yang tegang. Nafas kami seolah seirama sekarang. Erangan dan desahan memenuhi kamarku malam itu.
“Kakk... Aahhh... Kakk... Aaaahh... Ahh.. Keluar... Keluarrr...” desah Vany tak karuan. Jemarinya semakin cepat memainkan vaginanya sendiri. Genjotanku semakin kuat di anusnya.
“Bentar.. Bentarrr... Bentar Vann... Nnhh... Bar.... enggg.. Yuk...” kataku.
“Kaakk... Kakk... Ga kuatt... Nggahhh... GGHhh.!!!... Kaaakk... Kakakkkkk!!! KAAAK!!”
“Oke.. Ohhhh... VaannNNN!!! Vanyyy!!!”

Kami orgasme bersama. Kuledakkan berkali-kali spermaku ke dalam anusnya. Tanganku meremas kuat-kuat dada Vany hingga saat ia squirting, air susunya menyemprot kuat-kuat keluar, tak henti-henti.
Kami merosot lemas ke atas ranjang. Vany berguling ke sebelahku, terkulai. Anus dan vaginanya masih berlumuran sperma kakaknya. Kepalaku sakit sekali rasanya setelah keluar empat kali berturut-turut. Rasanya ML malam ini cukup untuk beberapa hari. Kupejamkan mataku. Kami langsung tertidur tanpa berkata apa-apa.

* * *

Aku terbangun tiba-tiba, kedinginan. Kulirik jam di dinding kamarku... Samar-samar... Pukul enam pagi. Pandanganku kabur, tapi sakit kepalaku telah hilang. Aku menoleh ke sisiku, tinggal seprei dan selimut kosong. Vany rupanya sudah bangun lebih dahulu.

“Ehh... Udah bangun...”

Aku menoleh, melihat Vany masuk dari arah pintu tembusan ke kamarnya, sedang mengancingkan kemeja putih SMPnya. Sepintas aku melihat kulit mulus perut hamilnya di balik kemeja itu.

“Mmhh... Mau berangkat sekolah?” tanyaku lemas.
“Yup!” ujarnya riang. Aku selalu heran pada semangat yang dimiliki adikku ini. Padahal malam sebelumnya kami habis-habisan ML. Pandanganku mulai jelas, dan menyadari bahwa tubuh Vany yang sedang hamil terlihat seksi sekali dalam balutan seragam putih-biru SMP.
“Oya Kak... Hari ini ada sparring basket juga pulang sekolah.. Aku mau nont...”

Kata-kata Vany terpotong. Aku telah memeluknya dari belakang dengan lembut. Kubelai perutnya yang buncit dengan kedua tanganku.

“Mmm? Napa, sayang...?” bisiknya riang. Ia mendongak, mengecup pipiku.
“Kamu seksi banget pake seragam sekolah...” bisikku di telinganya. Kukecup juga pipi Vany dengan lembut. Vany terkikik.
“Hihihi... Aku udah ngira kakak bakal bilang gitu...” katanya.
“Mm... Kamu ga boleh cape-cape loh di sekolah...” kataku menggoda sambil memegang dadanya dengan lembut. Vany mendesah pelan. “Mending di rumah...”
“Kak... Ntar aku telat lohh...”
“Kan sekolahnya deket...” bisikku sambil melepas kancing kemejanya perlahan. Kukecup belakang telinga adikku. “Kakak pengen minum susu dulu...”
“Hehehe... Ketagihan ya?” tanyanya, aku mengangguk.
“Mm... Gimana kalo kakak ntar dateng ke sekolah... Terus kita nonton basket bareng?” tawarku. Kuremas dada Vany dengan lembut. Aku merasakan puting adikku mulai menegang di balik BH putihnya.
“Hmmhh.. Boleh... juga...” desahnya. Kuangkat BH Vany hingga dadanya yang super besar jatuh keluar berguncang. Aku bergerak ke arah depan Vany dan mulai mengulum putingnya, menyedot dan meminum air susunya. Vany terduduk di atas kursi komputerku, memejamkan mata menikmati.
“Ngghh... Kakk... Kalo aku telat... Kakak yang tanggung jawab.. Ya... Mhh...” katanya sambil membelai rambut kakaknya.

Sambil mengelus perutnya yang buncit dan terus menyedot air susu adikku, aku berpikir tentang apa yang akan kami lakukan siang nanti di sekolah...


Sepertinya akan seru.

6.
Kubelokkan mobilku masuk ke halaman parkir gedung tua itu. Entah kenapa bibirku seolah memaksaku untuk tersenyum lebar. Tapi, sesaat kemudian aku tersadar… Terlalu banyak kenangan manis yang disimpan gedung ini.

“… Kangen ya sama sekolah ini.”

Aku mengangguk dan tersenyum pada Cherry yang duduk di sebelahku, seolah dia mengerti apa yang aku pikirkan. Aku yakin sahabatku ini juga memikirkan hal yang sama. Bagaimana pun kami menghabiskan 12 tahun masa SD hingga SMA di sekolah yang sama.
Cherry dan aku datang bersama ke bekas sekolah kami hari itu karena keperluan kami masing-masing; Cherry harus melatih anak-anak The Foxes (grup modern dance sekolahku) yang akan tampil di kejuaraan dance akhir tahun, sementara aku datang untuk menemani Vany, adikku, menonton sparring tim basket putri SMP.

“Lu latian sampe jam berapa?” tanyaku pada Cherry sambil keluar dari mobil.
“Jam… 4an gitu lah…” katanya sambil melirik arloji. “Kan latian mulai jam 2. Basket sampe jam berapa?”
“Mungkin sekitar jam 3… Gapapa ntar pulang bareng aja,” jawabku.
“Hah? Terus sejam…? OOHH!! DASAR LU!” ujar Cherry sambil tertawa dan memukul lenganku.
“Hahahaha… Udah lama tau ga di sekolah,” jawabku sambil nyengir.
“Ih... Mesum dasar. Belom pernah kan ya sama Vany di sekolah? Dulu sama gue terus kan lu… Hehehe,” kata Cherry.
“Hehehe makanya…”

Menonton sparring basket memang bukanlah satu-satunya tujuanku datang ke sekolah ini. Aku ingin ML dengan Vany di gedung sekolah ini! Aku ingin mengenalkan perasaan seru dan deg-degannya ML bukan di rumah pada adikku.

“Eh tapi lu jangan terlalu nafsu lah... Kasian dia lagi hamil gede gitu masih lu hajar juga...” kata Cherry perlahan saat kami berjalan masuk.
“Iyaa... Lagian dianya yang tambah nafsu tau,” kataku membela diri. Cherry nyengir.
“Iya sih katanya emang cewek hamil jadi tambah nafsu...”

Ya, Vany, adikku yang berusia 15 tahun, memang sedang hamil. Vany mengandung anakku, kakaknya sendiri, dan sekarang kandungannya sudah mencapai bulan kelima. Sejak bulan Juni yang lalu hubunganku dengannya memang bergeser jauh dari selayaknya hubungan kakak-adik; mulai dari saling menyentuh tubuh satu sama lain, hingga akhirnya kami ML berkali-kali sebelum aku pindah untuk kuliah di Singapore, dan akhirnya Vany hamil (baca episode 5).
Dan entah kenapa, menurutku Vany (yang pada dasarnya sudah sangat seksi untuk anak seusianya) menjadi jauh lebih seksi saat ia hamil. Perutnya yang buncit dan mulus selalu merangsangku, dan dadanya yang luar biasa montok dan besar (34DD sekarang) bisa mengeluarkan susu yang manis sekarang. Selain itu vaginanya menjadi lebih sempit dan hangat di bagian dalam, di samping pantatnya yang menjadi semakin montok dan padat. Sungguh luar biasa!

“Hus! Tuh kan udah ngebayangin... Dasarrrr!” bisik Cherry sambil mencolek bagian tengah celanaku yang sudah mulai menonjol. “Lu ngapain sama dia tadi pagi?”

Tadi pagi setelah aku puas meremas dan menyedot susu dari dadanya yang montok, akhirnya Vany men-titf*ckku dengan nikmat hingga aku meledakkan spermaku banyak-banyak di wajahnya. Untung ia tidak telambat sampai di sekolah.
“Duh... Susah dijelaskan dengan kata-kata, Cher...” jawabku. Cherry menggelengkan kepalanya sambil nyengir.

Aku dan Cherry berjalan memasuki gedung SMA sekolah kami. Saat itu jam pulang sekolah, sehingga situasi sangat ramai. Setelah menyapa beberapa adik kelas yang mengenal kami, Cherry bergegas ke arah tangga yang akan membawanya ke ruang latihan tari.

“Oke sampe ketemu ntar sore! Inget Dit jangan terlalu nafsu!” ujar Cherry mengatasi keributan suara anak-anak. Aku melotot memperingatkan, tapi sahabatku ini nyengir nakal, menjulurkan lidah, dan berjalan menjauh ke arah tangga. Aku menggelengkan kepala sambil memperhatikannya pergi... Eh? Sepertinya ada yang berbeda dari Cherry.

Menyadari aku masih terpaku menatapnya, sahabatku menoleh.
“Hus! Jangan melototin pantat gue terang-terangan gitu ah...” katanya perlahan sambil kembali berjalan mendekat. Aku tertawa.
“Haha... Nggak lah... Lu... Agak lain deh,” kataku jujur.
“Hm? Lain apanya?”
“Gatau... Lu tambah berat ya?” tanyaku. Cherry mengernyit.
“Eehh kurang ajar ya...!” jawabnya gengsi. Tapi kemudian ia tersenyum... Penuh arti.
“Koq senyum gitu?”
“Emang ga boleh? Eh udalah gue udah mau telat ini!” ujarnya sambil melirik arloji lagi. Aku nyengir dan meremas pantat sahabatku yang super montok.
“Yaya... Sampe ketemu ntar sore...”
“Eh nakal ya tangannya!” bisiknya sambil berbalik dan berlari menaiki tangga, memamerkan pantatnya yang bulat dan besar di balik celana trainingnya yang merah terang.
Aku tersenyum saat memandangnya pergi... Tapi sungguh, sepertinya ada yang lain dari Cherry. Hmm... Tak apalah.

Aku berjalan perlahan ke arah gedung olahraga sekolahku. Aku bisa mendengar suara decit sepatu para pemain dan sorakan penonton, juga suara debam bola basket yang didribble oleh para pemain. Pertandingan sudah dimulai rupanya. Gedung olahraga⎯saat sedang dilangsungkan pertandingan di dalamnya⎯ selalu terasa panas dan memberi ketegangan tersendiri saat dimasuki, begitu pula saat ini.

Masuk, aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari Vany... Tidak sulit. Selain karena perut buncitnya yang menyembul di balik kemeja putih seragam SMPnya, jumlah penontonnya sedikit, dan Vany ternyata duduk di dekat bangku cadangan tim sekolahku. Aku tersenyum. Tentu saja, Vany adalah kapten tim basket putri SMP sebelum ia hamil.

Raut muka adikku terlihat sangat serius memperhatikan pertandingan. Aku menoleh ke papan skor; quarter pertama, 12-10 untuk sekolahku. Ketat. Aku berjalan mendekat ke arah Vany. Vany begitu berkonsentrasi pada pertandingan hingga tidak menyadari saat aku duduk di sebelahnya. Aku melambai pada Tasya (panggilan dari Natasha), adik Grace mantan pacarku dan salah satu sahabat terbaik adikku, yang menyenggol lengan Vany dan mengangguk ke arahku sambil tersenyum. Vany tersadar dan menoleh.

“Eehh Kak... Aku ga nyadar Kakak dateng!” ujarnya riang sambil nyengir.
“Hahaha gapapa... Kamu serius banget ngeliatin anak-anak,” kataku.
“Iya... Musuhnya jadi jago nih,” jawabnya serius, kembali melihat ke lapangan. Saat itu seorang pemain sekolah lain memblok passing tim sekolahku dan menyetak angka 3 points. Vany merengut.
“Passingnya.. Aduh... JESSICA KONSEN!!!” Vany meneriaki seorang pemain sekolah kami yang tidak kukenal. Jessica mengacungkan jempol ke arah kaptennya, tampak gugup.
“Ini pertama kali dia main dari awal sih...” kata Tasya di sebelah Vany.
“Point Guard ya dia?” tanyaku pada Vany sambil mengamati Jessica, cewek mungil, kira-kira setinggi adikku, dengan rambut dikuncir ekor kuda. Adikku mengangguk. “Dia yang gantiin aku jadi point guard. Kelas satu.”
“Erika mana?” tanyaku lagi. Aku kenal Erika; point guard cadangan Vany, kelas 2.
“Keseleo kemaren pas latian,” jawab Tasya.
“... Padahal kalo pas latian keliatan gesit banget loh si Jessica ini,” kata Vany. Natasha mengangguk, membetulkan kacamatanya.
“Gesitnya sih sama kayak lu, Van, tapi sering ga konsen... Terus belon begitu berani maennya. Ya masih kelas satu sih... Ntar juga jadi jago,” katanya. Vany mengangguk setuju. Aku pun menyadari bahwa Jessica bergerak sangat gesit, hanya ⎯ tidak seperti Vany ⎯ operannya masih sering meleset dan mudah dibaca lawan.

Aku mengenal beberapa pemain basket tim putri SMP karena mereka adalah teman-teman adikku. Agnes sang Center bertubuh tinggi besar baru saja mencetak angka. Kedudukan sekarang 14-13. Aku nyengir menikmati pertandingan ini. Sudah lama aku tidak menonton pertandingan basket seperti ini. Kulirik Vany yang duduk tegang di sebelahku... Sepertinya ia sudah lupa bahwa ia sedang hamil 5 bulan.
“Van, santai dikit... Inget kamu lagi hamil ga boleh tegang-tegang,” kataku pelan padanya. Vany tersadar dan nyengir, mengelus lenganku dengan sayang dan mulai duduk bersandar ke tembok.
“Hehehe iya kalo udah seru nonton basket gini suka lupa,” katanya sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. Aku merasa penisku mulai tegang, entah kenapa.

Terdiam, menonton lagi. Aku memperhatikan adikku... Kemejanya terlihat sangat sempit menahan dua tonjolan montok dadanya, ditambah dengan perutnya yang buncit menggiurkan. Aku melihat pundaknya... Hm? Biru muda?
“Van, kamu pake BH biru muda ya...” bisikku perlahan. Vany memukul lenganku sambil tertawa.
“Koq liat sih? Emang keliatan dari balik baju?” bisiknya balik. Aku mengangguk, nyengir.
“Yang tadi pagi putih basah ya...”
“Kena susu sama sperma! Kakak sih!” desis Vany sambil mencubit lenganku. Aku tertawa.
“Kamu seksi, Van...”
“Hus! Kak...”

* * *


“Tapi bagaimana pun emang hebat kan anak-anak...”
“Iya sih... Cuma maennya bikin deg-degan tipis- tipis gitu,”

Aku dan Vany sedang berjalan perlahan menyusuri koridor dari gedung olahraga menuju ke gedung utama sekolah kami. Pertandingan sudah berakhir, dimenangi oleh SMP ku dengan skor tipis 38-34. Vany agak bersungut-sungut dengan hasil ini, karena saat ia bermain dulu SMP kami pernah membantai mereka 60-8. Benar-benar tidak diberi kesempatan.

“Udalah, Vann... Jangan bete gitu donk,” ujarku menghiburnya.
“Hmm... Coba aku maen,” katanya. Tiba-tiba ia geli sendiri dengan perkataannya dan terkikik. “Ga mungkin ya... Hihihi...”
“Dasar...” kataku. Vany menggamit lenganku dan menyenderkan dirinya padaku dengan sayang. Kami berjalan dalam diam perlahan menyusuri koridor sekolah, menuju ke lantai empat, ke tempat Cherry latihan dance.
Sambil berjalan, Vany membelai-belai perutnya yang buncit; sungguh entah kenapa setiap kali aku melihatnya melakukan itu ada rangsangan sangat besar yang menyerangku. Sembunyi-sembunyi aku membetulkan penisku yang tegang di balik celana jeansku.

“Kita pulang sekarang?” tanya adikku setelah beberapa lama. Aku menggeleng.
“Nggak... Nunggu Cherry kelar latian MD,” jawabku. Vany melirik arlojinya.
“Jam?”
“Empat...”
“Loh ini baru jam 3 kurang... Kita ngapain sejam?” tanyanya, polos.

Ketika itu kami telah sampai di depan kelas kosong di ujung koridor lantai empat yang dulu sering aku pakai bersama Cherry sebagai tempat kami ML sepulang sekolah. Saat itu Vany sepertinya mengerti, menatapku yang nyengir sambil menatapnya dengan tatapan meminta. Vany menggelengkan kepala.

“Dasar mesumm...” bisiknya. Tapi ia menggandengku masuk ke kelas itu. Aku menutup pintu di belakangku perlahan. Kelas ini tak memiliki jendela ke arah dalam, hanya ke arah luar, itu pun agak tinggi di atas, karena ruang ini sebenarnya adalah bekas gudang yang diubah menjadi kelas. Dan karena terletak di ujung koridor dan agak jauh dari kelas-kelas yang lain, maka mendesah sekencang apa pun akan agak susah terdengar.

“Emang gapapa, Kak di sini? Kalo ketauan orang gimana?” tanyanya. Aku merangkul adikku.
“Gapapa... Aman koq. Kakak udah pake kelas ini sejak kelas 3 SMP,” jawabku. Vany terbahak dan memukul lenganku.
“Sama Cherry apa Grace?”
“Pernah dua-duanya,” jawabku tenang. Vany tertawa lagi.
“Lebih sering sama Cherry kan pasti...” bisiknya. Aku tertawa dan mengangguk.
“Cherry lebih heboh,” kataku bercanda.
“Tapi Tasya pernah bilang katanya dulu pas Kakak ML di rumahnya, heboh banget MLnya sama Grace,” kata Vany. Aku terkejut.
“Natasha juga suka intipin Kakak sama Grace??? Astagah kalian!” ujarku. Vany terbahak-bahak.
“Kita pengen tau lah, Kaaak...” jawabnya manja. “Ah si Tasya enak tuh udah bibirnya sama seksinya sama Grace, diajarin langsung lagi. Aku kan cuma belajar dari ngintip doank.”
“Kamu juga udah hebat koq tapi, Van...” kataku. Vany nyengir.
“Kakak yakin ini aman?” tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk, meyakinkannya.

Vany tersenyum, berjalan ke arah deretan meja yang ada di tengah ruangan, dan menyenderkan dirinya ke salah satu meja. Posenya seksi sekali; kedua tangannya bertumpu ke meja, tersenyum manis sekali padaku. Aku berjalan perlahan ke arahnya, mendekatkan wajahku hingga berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Aku bisa merasakan nafasnya yang agak tegang.

“Kakak tuh... Nafsunya gede banget deh...” bisiknya. Ia membelai wajahku lembut. Kami berciuman, lembut tapi penuh nafsu. Lidah kami saling berbelit, berdecak memenuhi ruangan itu.

Perlahan, jemariku mulai merayap naik, meremas kedua dada adikku yang montok dan penuh susu, menggosok dan memainkannya dengan nikmat. Aku merasakan desahan mungil keluar dari mulut Vany, menikmati remasan dan rangsanganku pada dadanya.

“Mmh... Kak...” desahnya. Tangannya yang mungil merogoh selangkanganku, mengelus tonjolan keras di baliknya. “Gede banget...”
“Kamu itu yang gede banget...” bisikku, terus menciumi leher kurus adikku sambil meremas dadanya dengan lembut, beberapa kali mengelus perut buncitnya yang keras. Vany menggelinjang tiap kali aku menyentuh titik-titik tertentu yang merangsangnya; benar, adikku ini lebih mudah terangsang saat ia hamil. Apa semua wanita hamil memang seperti itu?

Aku menegakkan badanku sedikit. Vany telah terduduk di atas salah satu meja, sedikit terengah. Tangan kirinya menopang perutnya yang buncit. Saat itu aku melihat bercak basah pada kemeja putih adikku, tepat pada bagian puting susunya. Aku nyengir nakal.

“Van... Kamu baru digituin masa udah keluar susunya?” tanyaku menggodanya.
“Aaa... Kakak kan ngeremesnya heboh... Gimana ga keluar,” jawab Vany sedikit malu. Aku tersenyum, membuka kancing kemejanya perlahan. Benar saja, BH biru muda yang dikenakannya telah basah oleh susu.
“Hmmmhhh... Vannnyy... Kamu seksi banget, sayang...” kataku. Kubenamkan wajahku pada belahan dadanya yang 34 DD itu. Empuk dan lembut sekali. Aku merogoh ke belakang punggungnya, membuka kancing dan melepas BH adikku.

Aku mundur dan terdiam sebentar. Tak pernah aku habis pikir bagaimana adikku bisa memiliki payudara sebagus dan sebesar ini; putih mulus tanpa cacat sedikit pun, montok dan sungguh bulat menantang. Putingnya coklat kemerahan pun telah sangat tegang. Sekali lagi, aku membenamkan wajahku dalam keempukannya.

“Aah... Kak... Jangan buru-buru donk...” desahnya perlahan. Kumainkan kedua putingnya perlahan-lahan dengan telunjukku, membuatnya semakin kegilaan. Air susu sesekali menyemprot dan mengalir dari putingnya. Kuremas dada adikku kencang-kencang sekali lagi hingga susunya benar-benar menyemprot keluar. Vany menggelinjang dan mendesah setiap kalinya.
“Van... Kamu makhluk paling seksi yang pernah kakak kenal,” bisikku. Vany tersenyum dan membelai rambutku, mengecup keningku. Ku sedot putingnya bergantian, meminum susunya dengan nikmat, sementara tanganku membelai perut hamilnya yang mulus. Penisku terasa berdenyut-denyut, minta dibebaskan dari bekapan celana dalam yang sempit.

“Mmhh.. Nnhh.. Kaa... K... Jangan nafsu-nafsu minumnya... Ooh...” desah Vany. Lidahku memainkan kedua putingnya, memelintirnya dan menyedot setiap tetes yang keluar dari dalamnya. Rupanya Vany tidak tahan dibegitukan.
“Kakk... Kakk... Mmnnnhhh!!!!! Mmmhh!!!”

Sejumlah besar susu menyemprot ke dalam mulutku. Aku tahu Vany telah mencapai klimaksnya yang pertama. Tanganku bergerak pelahan mengelus perutnya dan merogoh ke selangkangannya... Benar saja; celana dalamnya telah basah kuyup.

“Ohh... K... Kakk...” desah adikku terbata. Aku mengecup bibirnya.
“Lanjut ya, sayang?” kataku. Vany mengangguk, tersenyum.

Ciumanku bergerak dari bibir ke rahang dan leher adikku, ke kedua dadanya yang super besar dan lembut, hingga ke atas perutnya yang buncit. Kubelai lembut perut adikku, mengecupnya sekali lagi dengan sayang.

“Mmh... Perut kamu gede tapi bagus banget, Van...” kataku. Vany tertawa.
“Kakak demen banget ya sama perutku? Padahal buncit gitu,” katanya imut.
“Seksi tau...” jawabku sungguh-sungguh. Vany nyengir.
“Sini, Kak... Gantian!” Vany turun dari meja dan perlahan berlutut di depanku.

Ia membuka kancing dan retsleting celana jeansku, membiarkannya jatuh ke lantai. Penisku yang tegang langsung menyembul keluar dari balik celana dalamku, mengacung tepat ke wajah adikku. Tanpa aba-aba, Vany langsung menyedotnya dengan bersemangat.
“Oohh Vann... Astagah.. Pelan-pelann...”
“Mm... Cp... Kakak dabi juga... Mmmhh.. Ga belan-belan... Mmmm... (Kakak tadi juga ga pelan-pelan)” jawabnya dengan mulut penuh. Kepalanya bergerak maju-mundur mengulum penisku. Lidahnya bergerak liar menjelajah bagian bawah penisku. Enak sekali.
“Mmmnnhh... Aahh.. Vann... Vanny...” desahku.

Vany melepaskan penisku dari mulutnya, membiarkannya jatuh di atas dadanya yang luar biasa montok dan bulat. Ia mengangkat dadanya dengan kedua belah tangannya dan mulai menjepit penisku di antara keduanya. Adikku ini memang spesialis titf*ck. Belum pernah ada cewek lain yang seenak Vany melakukannya.
“Oohh.. Nnghh... Vann... Kamu emang paling enak...” erangku keenakan. Vany nyengir sambil terus menggerakkan dadanya naik-turun, meremas dan memijat penisku dalam keempukan dadanya. Rasanya aku memang tak dapat bertahan lama dibeginikan.
“Kalo diginiin gimana, Kak?” goda Vany.
Tangan kiri Vany menekankan perutnya yang buncit ke atas, sementara tangan kanannya memegang dadanya dan menjepitkannya lebih erat membungkus penisku. Ini luar biasa; sensasi lembut dan keras perut hamilnya dipadu dengan empuknya dada adikku yang luar biasa besar. Tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur, menggosokkan penisku semakin cepat. Aku tak tahan.
“Nggghhh!! V... Vaan... VannnnNN!!!”

Crott... Crrroootttt.... Cccroottt... Spermaku seolah tak mau berhenti meledak, melumuri wajah imut adikku dengan cairan kental putih, mengalir turun membasahi dada dan perutnya juga. Aku merosot bersandar pada meja di belakangku.
“Mmm... Kakak selalu ga tahan kalo digituin,” kata Vany seraya menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya. Ia kembali duduk di atas meja, dan dengan ekspresi polos Vany mengusap dan meratakan cairan kental yang melumuri perut dan dadanya yang montok itu, seolah spermaku sejenis krim; pemandangan yang membuat penisku tak menjadi lemas sedikit pun.

Aku berdiri perlahan, melumat bibir adikku dengan nafsu, mendorongnya hingga terlentang di atas meja. Vany tersenyum.

“Ayo, Kak... Langsung aja...” pintanya lembut. Aku tersenyum dan menurutinya.

Kubuka kancing rok SMP adikku, membukanya dan membiarkannya merosot ke lantai batu. Perlahan, aku menarik celana dalamnya yang basah kuyup dan melepasnya. Vany mengangkat kedua pahanya yang montok dan mengangkang lebar-lebar di depanku. Aku meletakkan penisku di bibir vaginanya yang tembem dan mulus dengan bulu yang sangat halus. Perlahan, kumasukkan kepala penisku yang merah padam ke dalamnya. Vany menggrunjal sedikit.

“Mmhh... Kakk...” desahnya, menggeliat merasakan batang penis kakaknya perlahan-lahan memasuki vaginanya yang sempit dan hangat hingga mentok.

Tanpa menunggu lagi, aku segera menghujam-hujamkan penisku ke dalam tubuh Vany. Adikku menggeliat, mendesah, mengerang keenakan setiap kali penisku bergerak masuk, semakin lama semakin cepat.
“Ohh... Nnhhh... Vann.. Vann... Vanny...” kataku berulang-ulang. Vaginanya yang becek dan lembut benar-benar nikmat membungkus penisku.
“Ahh.. Aaahh... Ahhh Kakk.. Nnggghh!!” Vany mengerang, satu tangan mencengkeram pundakku, yang lain mengelus perutnya yang buncit.

Kuremas dadanya kuat-kuat hingga susunya menyemprot, kumainkan puting kirinya yang sensitif dengan jemariku, membuat Vany memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya menahan rangsangan.
“Oohh.. Kakk.. Kak aku ga bosen bosen digituin.. Ahhh...” desahnya. Keringat membanjiri tubuh kami. Gerakan pinggulku semakin cepat menghujam vaginanya. Nafas kami memburu. Penisku berdenyut-denyut, menghantam-hantam mulut rahimnya yang sedang mengandung anakku.
“Aaahh.. NNhhh!! Ooh Kakk.. Kakak... Mmmnhh!! Aaahh...” Vany menggeletar, badannya semakin menegang. Ia mengapitkan kedua kakinya ke pinggangku. Vaginanya mengencang, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku tahu Vany sudah tak tahan.
“Van... Vann tunggu bentar Kakak juga.. Nnggghh juga udah mau keluarr...”
“Ga ku.. kuattt... Kaaaakk... KKkk... Aaaahhh...!!!”

Vany orgasme dan squirting berkali-kali kencang sekali hingga aku harus mencabut penisku dari vaginanya. Tubuh mungil adikku gemetar hebat sekali setelah itu, tapi aku benar-benar belum puas menikmatinya; padahal tadi sudah tinggal sedikit lagi aku mencapai klimaksku juga. Tanpa menunggu lama, aku segera memasukkan lagi penisku ke dalam vaginanya, dan kembali menggenjot adikku dengan nafsu.

“Aahh.. Hhh.. Kakk.. Kakkk nafs.. nafssuu banget de...hhhH!.. Aaahh pelan-pelan kakk..” desah Vany tak karuan. Tangannya mencengkeram tepi meja, susu menyemprot dari putingnya, dadanya yang super besar dan perutnya yang buncit berguncang-guncang seirama tusukan penisku.

“Mnnhh.. Vann.. Vanny kuarin jurus kamu donk... Nngghh...” pintaku.
Vany mengangguk, wajahnya menegang, berkonsentrasi, dan sebentar kemudian serangan itu datang! Penisku serasa seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan bertubi-tubi. Ini dia yang kutunggu.
“Oohh... Vaann.. Vannyy!!! VANNN!!!”

Aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Nikmatnya tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku memejamkan mata, menahan nafas, membiarkan spermaku terus keluar hingga bulir terakhirnya di dalam tubuh Vany.

Kucabut penisku, dan segera terlihat cairan putih kental yang mengalir perlahan dari dalam vagina adikku, melumuri anus dan menetes ke meja. Aku merosot, tersengal mengatur nafas, duduk bersandar pada meja di belakangku. Penisku ngilu rasanya, tapi seperti biasanya, belum menunjukkan tanda-tanda melemas setelah dua kali keluar. Tubuhku tak pernah puas menikmati Vany.

Saat itu Vany turun dari meja, menegakkan dirinya, dan berjongkok persis di depanku. Vaginanya yang basah kuyup, masih meneteskan spermaku, berada beberapa senti di atas kepala penisku.
“Lagi, Kak... Aku belom puas... Tanggung jawab...” perintah Vany sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku tersenyum, melumat bibir mungilnya lembut. Tanganku merogoh ke pantatnya yang montok, membimbingnya turun.

Vaginanya membungkus penisku erat saat Vany menurunkan pinggulnya perlahan. Hangat dan lembut sekali rasanya. Vany mulai bergerak naik-turun perlahan; perutnya yang buncit dan mulus menggesek perutku setiap kalinya.
“Nnhh.. Mmhh... Vannn.. Enak banget.. Mmhh...” desahku.

Vany menikmati sekali posisi ini. Ia memejamkan mata, menggigit bibirnya. Tanganku bergerak, meremas-remas pantatnya yang montok dan padat sambil membantunya bergerak naik-turun. Dada Vany yang besar menekan dadaku, membuat susunya mengalir keluar dan membasahiku. Kucium, kujilat leher adikku dengan nafsu.

“Aaahh.. Kakkk... Kenapa posisi ini enak.. Bangett sihh... Nnhhhh” desahnya. Ia mencium pundak dan leherku, tangannya mencengkeram erat punggung kakaknya.

Aku mempercepat genjotanku ke dalam vaginanya. Vany mengerang, menekankan kepalanya ke pundakku.
“Kakk... Kakak... Nnnnnhhh...”
“Mau keluar, Yang??”
Vany mengangguk liar, memelukku semakin erat. Aku dapat merasakan vaginanya menyempit, menjepit penisku kencang-kencang. Aku menusukkan penisku lebih cepat dan kuat. Vany menggelengkan kepalanya.
“Mmmmmmmmnn... Nnnnn... NNNHHaaaaaHH!!!”
Dengan lenguhan panjang Vany orgasme untuk ketiga kalinya siang ini. Aku dapat merasakan cairan vaginanya yang dingin meledak keluar, menyiram penis dan pahaku. Susunya pun menyemprot banyak membasahi dadaku.

Kucabut penisku dari vaginanya dan mengarahkannya ke dalam anus adikku. Vany menjerit kecil ketika penisku menerobos anusnya yang luar biasa sempit dan mulai menghujam dengan kuat ke dalamnya. Ini enak sekali. Aku merosot hingga tiduran di lantai, sementara Vany terduduk di atasku, bergerak sesuai irama genjotanku. Dadanya berguncang-guncang menggiurkan.

“Aaahh... Ahh Kakk.. Nnhhh... Kakk... Mmhh..” desah Vany sambil mengelus perutnya. Tangan kirinya meremas dan memainkan dadanya sendiri, menyemprot-nyemprotkan susu keluar. Kucengkeram pantat Vany. Anusnya sangat ketat menjepit penisku, membuatku tak bertahan lama.

“Van.. Ohh.. Hhh.. Hhh... Vannn Kakak mau keluarr...”
“Kak... Kakk... Kakk.. Nnhh Nnhhh... Akuu jugga... MMmmhhhHH...”
“Nngghh.. Vann.. Vannyy... Vannyyy!!! VANNNY!!”

Aku mengerang, tapi Vany ternyata telah mencapai puncaknya terlebih dahulu. Ia menjerit kencang dan squirting kuat-kuat membasahi pinggang dan pahaku, anusnya menyempit lagi. Sedetik kemudian aku orgasme, meledakkan spermaku banyak-banyak ke dalam anus adikku.

Vany roboh ke atasku, terengah, tersengal. Tubuh kami bersimbah keringat. Penisku yang telah lemas kucabut dari anusnya, membuat spermaku meleleh keluar dari dalamnya. Vany berguling turun dan duduk bersandar ke meja di sebelahku, matanya terpejam; dadanya bergerak naik-turun, berusaha mengatur nafas.

“Hh.. Thanks Van...” bisikku setelah beberapa lama.
Vany mengangguk lemah, lelah.
“Sama-sama...” katanya.

Kami terdiam. Aku mendudukkan diri, melirik arloji, jam 4.15... Harusnya Cherry sudah selesai. Aku menoleh ke adikku, perlahan aku meraba dadanya yang besar. Kudekatkan mulutku ke putingnya dan mulai menyedot susu yang manis dari dalamnya. Vany nyengir dan mendengus tertawa.

“Kak... Belum capek apa? Ntar aku jadi terangsang lagi loh...” katanya lembut. Ia membelai rambutku.
“Mmm... Cuma mau minum koq, Yang...” bisikku. Vany tersenyum. Tanganku mengelus perutnya, mulus sekali, enak sekali.

Saat itu tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka perlahan. Hatiku mencelos. Aku menatap Vany, melihat ketakutan dan keterkejutan yang sama di mata adikku. Kami membeku di tempat. Panik. Tak akan sempat kami memakai pakaian kami. Langkah kaki perlahan mendekat, semakin jelas.

“Astagah Diitt... Udah gue duga lu bakal di sini!!”

Aku hampir pingsan karena lega. Cherry, sahabatku, berkeringat dan terlihat lelah tapi senang, berdiri bertolak pinggang di hadapanku dan Vany.

“Duh Cher... Lu bikin gw jantungan,” ujarku lega. Vany telah tertawa terbahak-bahak di sebelahku.
“Lagian lu kacau sih... Hai, Van!” kata Cherry geli. Ia melambai ke arah Vany, yang segera berdiri dan memeluk Cherry erat.
“Apa kabar, Cher??” ujar Vany riang.
“Baik banget... Wah kamu udah gede banget!” kata Cherry sambil menatap perut adikku. Vany tertawa.
“Iya donk udah 5 bulan... Salahin dia nih!” ujarnya sambil menunjukku. Cherry tertawa, membelai perut buncit Vany dengan lembut. Heran, koq bisa ga canggung sama sekali sih?
“Yang ini juga gede banget, Van... Bagi-bagi donk!” ujar Cherry sambil meremas dada Vany yang memang super besar.
“Eehh!! Cherry!!” seru Vany sambil tertawa dan menghindar.
“Heh.. Udah-udah ayo pulang,” kataku sambil memakai celana dan kaosku lagi. Vany mengambil sehelai kaos dan celana pendek dari tasnya dan mengenakannya perlahan.

Kami bertiga berjalan ke arah tempat parkir. Tiba-tiba Vany nyeletuk.
“Cher, kamu... Agak beda deh,”
“Hm? Beda gimana?”
“Ya kan Cher! Emang gw ngerasa agak ada yang lain dari lu...” ujarku setuju. Vany mengangguk. Rupanya Vany juga melihat ada sesuatu yang aneh dari Cherry.
Anehnya, sekali lagi Cherry hanya tersenyum simpul penuh arti.

* * *


Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Terminal 2 Keberangkatan
Sabtu, 3 Januari 2009 – 15.00 WIB.


“Sampe ketemu, Ma...”
“Ya... Ati-ati ya... Jaga adikmu baik-baik. Bulan depan Mami-Papi kesana.”

Ayah-Ibuku memeluk dan mencium kedua anaknya. Hari ini aku, Vany, dan Cherry akan berangkat ke Singapore. Vany akan tinggal di sana bersamaku hingga setelah melahirkan. Kami melambai dari balik pintu kaca yang memisahkan kami dari Ayah dan Ibu, dan mulai berjalan perlahan menuju ruang tunggu.

“Hmmm... Tinggal di luar negri sendirian enak ga, Kak?” tanya Vany, mengenakan baju terusan warna pink muda ditutupi jaket Adidas putih. Ia berjalan sambil membelai perutnya yang semakin besar, memasuki bulan keenam sekarang (Aku berusaha mengalihkan pandanganku. Celanaku terasa menyempit). Kami sudah tahu bahwa anak yang di dalam kandungan Vany berjenis kelamin perempuan, dan entah kenapa Vany sangat ingin menamainya Ella.
“Ya ada enaknya ada enggaknya... Tapi kamu kan ga sendirian,” kataku. “Ada Kakak...”
“Ada aku juga...” ujar Cherry riang. Vany tertawa.
“Hahaha iya sih...”

Kami berjalan menuju ruang tunggu. Sambil berjalan, aku tak dapat melepaskan pandanganku dari sahabatku. Sungguh, ada yang lain darinya, tapi aku tak dapat menemukan apa. Jelas Cherry terlihat agak menggemuk setelah sebulan di Jakarta, tapi itu wajar karena aku pun menghabiskan sebulan ini untuk makan makanan yang enak-enak di kota kelahiranku. Apa ya? Apa pantatnya tambah montok? Aku jarang bertemu dengan sahabatku ini selama sebulan terakhir, karena kami masing-masing sibuk dengan urusan kami sendiri. Kami bahkan tidak ML sama sekali selama di Jakarta. Aku menatapnya makin tajam, menyelidiki.

“Heh, lu ngapain ngeliatin gue sampe kayak gitu?” hardik Cherry.
“Cher... Lu... Seriusan deh ada yang laen. Apa ya?”

Kali ini Cherry nyengir lebar, nyaris tertawa. Tapi heran sekali, Vany juga ikut nyengir!

“Ahh Cherr!! Van! Kalian apaan sih kasi tau donk ada apa!” pintaku tak sabar. Tak kuduga, Vany yang menjawab.
“Ella kan bakal punya adik, Kak...” ujarnya riang. Aku melonjak kaget.
“HAH?! Hah jangan bercanda kamu, Van!!” aku memelototi sahabatku. “Lu... Lu hamil??”
Cherry nyengir, mengangguk.
“Udah 3 bulan...” katanya sambil membuka retsleting hoodie tebalnya. Ternyata benar, memang perutnya terlihat buncit dari balik tank top kuningnya. “... Anak lu juga, Dit. Pasti.”
“Minggu lalu ke Tante Rina sama aku,” jelas Vany. “Tantenya sampe geleng-geleng waktu tau ini anak Kakak juga...”

Aku tak dapat berkata apa-apa. Bagaimana ini? Cherry juga hamil anakku?

“... 3 bulan, Cher?” tanyaku gelagapan. Cherry mengangguk, tersenyum manis seperti biasanya. Berarti... Berarti sekitar awal-awal aku tahu bahwa adikku juga hamil, sekitar akhir September. Wah ini kacau!

Tiba-tiba aku sadar akan suatu keanehan. Sekali lagi aku mengamati perut Cherry yang buncit.

“Cher, 3 bulan kata lu?”
“Ya. Napa mank?”
“Koq udah segede itu? Waktu Vany hamil 3 bulan gue liat dari webcam belum begitu keliatan bedanya,” tuntutku.

Cherry nyengir, Vany tertawa terbahak-bahak. Astagah ada apa?

“... Kan kembar, Dit...”
“KEMBAR??!!”

7.
Kubelokkan mobilku masuk ke halaman parkir gedung tua itu. Entah kenapa bibirku seolah memaksaku untuk tersenyum lebar. Tapi, sesaat kemudian aku tersadar… Terlalu banyak kenangan manis yang disimpan gedung ini.

“… Kangen ya sama sekolah ini.”

Aku mengangguk dan tersenyum pada Cherry yang duduk di sebelahku, seolah dia mengerti apa yang aku pikirkan. Aku yakin sahabatku ini juga memikirkan hal yang sama. Bagaimana pun kami menghabiskan 12 tahun masa SD hingga SMA di sekolah yang sama.
Cherry dan aku datang bersama ke bekas sekolah kami hari itu karena keperluan kami masing-masing; Cherry harus melatih anak-anak The Foxes (grup modern dance sekolahku) yang akan tampil di kejuaraan dance akhir tahun, sementara aku datang untuk menemani Vany, adikku, menonton sparring tim basket putri SMP.

“Lu latian sampe jam berapa?” tanyaku pada Cherry sambil keluar dari mobil.
“Jam… 4an gitu lah…” katanya sambil melirik arloji. “Kan latian mulai jam 2. Basket sampe jam berapa?”
“Mungkin sekitar jam 3… Gapapa ntar pulang bareng aja,” jawabku.
“Hah? Terus sejam…? OOHH!! DASAR LU!” ujar Cherry sambil tertawa dan memukul lenganku.
“Hahahaha… Udah lama tau ga di sekolah,” jawabku sambil nyengir.
“Ih... Mesum dasar. Belom pernah kan ya sama Vany di sekolah? Dulu sama gue terus kan lu… Hehehe,” kata Cherry.
“Hehehe makanya…”

Menonton sparring basket memang bukanlah satu-satunya tujuanku datang ke sekolah ini. Aku ingin ML dengan Vany di gedung sekolah ini! Aku ingin mengenalkan perasaan seru dan deg-degannya ML bukan di rumah pada adikku.

“Eh tapi lu jangan terlalu nafsu lah... Kasian dia lagi hamil gede gitu masih lu hajar juga...” kata Cherry perlahan saat kami berjalan masuk.
“Iyaa... Lagian dianya yang tambah nafsu tau,” kataku membela diri. Cherry nyengir.
“Iya sih katanya emang cewek hamil jadi tambah nafsu...”

Ya, Vany, adikku yang berusia 15 tahun, memang sedang hamil. Vany mengandung anakku, kakaknya sendiri, dan sekarang kandungannya sudah mencapai bulan kelima. Sejak bulan Juni yang lalu hubunganku dengannya memang bergeser jauh dari selayaknya hubungan kakak-adik; mulai dari saling menyentuh tubuh satu sama lain, hingga akhirnya kami ML berkali-kali sebelum aku pindah untuk kuliah di Singapore, dan akhirnya Vany hamil (baca episode 5).
Dan entah kenapa, menurutku Vany (yang pada dasarnya sudah sangat seksi untuk anak seusianya) menjadi jauh lebih seksi saat ia hamil. Perutnya yang buncit dan mulus selalu merangsangku, dan dadanya yang luar biasa montok dan besar (34DD sekarang) bisa mengeluarkan susu yang manis sekarang. Selain itu vaginanya menjadi lebih sempit dan hangat di bagian dalam, di samping pantatnya yang menjadi semakin montok dan padat. Sungguh luar biasa!

“Hus! Tuh kan udah ngebayangin... Dasarrrr!” bisik Cherry sambil mencolek bagian tengah celanaku yang sudah mulai menonjol. “Lu ngapain sama dia tadi pagi?”

Tadi pagi setelah aku puas meremas dan menyedot susu dari dadanya yang montok, akhirnya Vany men-titf*ckku dengan nikmat hingga aku meledakkan spermaku banyak-banyak di wajahnya. Untung ia tidak telambat sampai di sekolah.
“Duh... Susah dijelaskan dengan kata-kata, Cher...” jawabku. Cherry menggelengkan kepalanya sambil nyengir.

Aku dan Cherry berjalan memasuki gedung SMA sekolah kami. Saat itu jam pulang sekolah, sehingga situasi sangat ramai. Setelah menyapa beberapa adik kelas yang mengenal kami, Cherry bergegas ke arah tangga yang akan membawanya ke ruang latihan tari.

“Oke sampe ketemu ntar sore! Inget Dit jangan terlalu nafsu!” ujar Cherry mengatasi keributan suara anak-anak. Aku melotot memperingatkan, tapi sahabatku ini nyengir nakal, menjulurkan lidah, dan berjalan menjauh ke arah tangga. Aku menggelengkan kepala sambil memperhatikannya pergi... Eh? Sepertinya ada yang berbeda dari Cherry.

Menyadari aku masih terpaku menatapnya, sahabatku menoleh.
“Hus! Jangan melototin pantat gue terang-terangan gitu ah...” katanya perlahan sambil kembali berjalan mendekat. Aku tertawa.
“Haha... Nggak lah... Lu... Agak lain deh,” kataku jujur.
“Hm? Lain apanya?”
“Gatau... Lu tambah berat ya?” tanyaku. Cherry mengernyit.
“Eehh kurang ajar ya...!” jawabnya gengsi. Tapi kemudian ia tersenyum... Penuh arti.
“Koq senyum gitu?”
“Emang ga boleh? Eh udalah gue udah mau telat ini!” ujarnya sambil melirik arloji lagi. Aku nyengir dan meremas pantat sahabatku yang super montok.
“Yaya... Sampe ketemu ntar sore...”
“Eh nakal ya tangannya!” bisiknya sambil berbalik dan berlari menaiki tangga, memamerkan pantatnya yang bulat dan besar di balik celana trainingnya yang merah terang.
Aku tersenyum saat memandangnya pergi... Tapi sungguh, sepertinya ada yang lain dari Cherry. Hmm... Tak apalah.

Aku berjalan perlahan ke arah gedung olahraga sekolahku. Aku bisa mendengar suara decit sepatu para pemain dan sorakan penonton, juga suara debam bola basket yang didribble oleh para pemain. Pertandingan sudah dimulai rupanya. Gedung olahraga⎯saat sedang dilangsungkan pertandingan di dalamnya⎯ selalu terasa panas dan memberi ketegangan tersendiri saat dimasuki, begitu pula saat ini.

Masuk, aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari Vany... Tidak sulit. Selain karena perut buncitnya yang menyembul di balik kemeja putih seragam SMPnya, jumlah penontonnya sedikit, dan Vany ternyata duduk di dekat bangku cadangan tim sekolahku. Aku tersenyum. Tentu saja, Vany adalah kapten tim basket putri SMP sebelum ia hamil.

Raut muka adikku terlihat sangat serius memperhatikan pertandingan. Aku menoleh ke papan skor; quarter pertama, 12-10 untuk sekolahku. Ketat. Aku berjalan mendekat ke arah Vany. Vany begitu berkonsentrasi pada pertandingan hingga tidak menyadari saat aku duduk di sebelahnya. Aku melambai pada Tasya (panggilan dari Natasha), adik Grace mantan pacarku dan salah satu sahabat terbaik adikku, yang menyenggol lengan Vany dan mengangguk ke arahku sambil tersenyum. Vany tersadar dan menoleh.

“Eehh Kak... Aku ga nyadar Kakak dateng!” ujarnya riang sambil nyengir.
“Hahaha gapapa... Kamu serius banget ngeliatin anak-anak,” kataku.
“Iya... Musuhnya jadi jago nih,” jawabnya serius, kembali melihat ke lapangan. Saat itu seorang pemain sekolah lain memblok passing tim sekolahku dan menyetak angka 3 points. Vany merengut.
“Passingnya.. Aduh... JESSICA KONSEN!!!” Vany meneriaki seorang pemain sekolah kami yang tidak kukenal. Jessica mengacungkan jempol ke arah kaptennya, tampak gugup.
“Ini pertama kali dia main dari awal sih...” kata Tasya di sebelah Vany.
“Point Guard ya dia?” tanyaku pada Vany sambil mengamati Jessica, cewek mungil, kira-kira setinggi adikku, dengan rambut dikuncir ekor kuda. Adikku mengangguk. “Dia yang gantiin aku jadi point guard. Kelas satu.”
“Erika mana?” tanyaku lagi. Aku kenal Erika; point guard cadangan Vany, kelas 2.
“Keseleo kemaren pas latian,” jawab Tasya.
“... Padahal kalo pas latian keliatan gesit banget loh si Jessica ini,” kata Vany. Natasha mengangguk, membetulkan kacamatanya.
“Gesitnya sih sama kayak lu, Van, tapi sering ga konsen... Terus belon begitu berani maennya. Ya masih kelas satu sih... Ntar juga jadi jago,” katanya. Vany mengangguk setuju. Aku pun menyadari bahwa Jessica bergerak sangat gesit, hanya ⎯ tidak seperti Vany ⎯ operannya masih sering meleset dan mudah dibaca lawan.

Aku mengenal beberapa pemain basket tim putri SMP karena mereka adalah teman-teman adikku. Agnes sang Center bertubuh tinggi besar baru saja mencetak angka. Kedudukan sekarang 14-13. Aku nyengir menikmati pertandingan ini. Sudah lama aku tidak menonton pertandingan basket seperti ini. Kulirik Vany yang duduk tegang di sebelahku... Sepertinya ia sudah lupa bahwa ia sedang hamil 5 bulan.
“Van, santai dikit... Inget kamu lagi hamil ga boleh tegang-tegang,” kataku pelan padanya. Vany tersadar dan nyengir, mengelus lenganku dengan sayang dan mulai duduk bersandar ke tembok.
“Hehehe iya kalo udah seru nonton basket gini suka lupa,” katanya sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. Aku merasa penisku mulai tegang, entah kenapa.

Terdiam, menonton lagi. Aku memperhatikan adikku... Kemejanya terlihat sangat sempit menahan dua tonjolan montok dadanya, ditambah dengan perutnya yang buncit menggiurkan. Aku melihat pundaknya... Hm? Biru muda?
“Van, kamu pake BH biru muda ya...” bisikku perlahan. Vany memukul lenganku sambil tertawa.
“Koq liat sih? Emang keliatan dari balik baju?” bisiknya balik. Aku mengangguk, nyengir.
“Yang tadi pagi putih basah ya...”
“Kena susu sama sperma! Kakak sih!” desis Vany sambil mencubit lenganku. Aku tertawa.
“Kamu seksi, Van...”
“Hus! Kak...”

* * *


“Tapi bagaimana pun emang hebat kan anak-anak...”
“Iya sih... Cuma maennya bikin deg-degan tipis- tipis gitu,”

Aku dan Vany sedang berjalan perlahan menyusuri koridor dari gedung olahraga menuju ke gedung utama sekolah kami. Pertandingan sudah berakhir, dimenangi oleh SMP ku dengan skor tipis 38-34. Vany agak bersungut-sungut dengan hasil ini, karena saat ia bermain dulu SMP kami pernah membantai mereka 60-8. Benar-benar tidak diberi kesempatan.

“Udalah, Vann... Jangan bete gitu donk,” ujarku menghiburnya.
“Hmm... Coba aku maen,” katanya. Tiba-tiba ia geli sendiri dengan perkataannya dan terkikik. “Ga mungkin ya... Hihihi...”
“Dasar...” kataku. Vany menggamit lenganku dan menyenderkan dirinya padaku dengan sayang. Kami berjalan dalam diam perlahan menyusuri koridor sekolah, menuju ke lantai empat, ke tempat Cherry latihan dance.
Sambil berjalan, Vany membelai-belai perutnya yang buncit; sungguh entah kenapa setiap kali aku melihatnya melakukan itu ada rangsangan sangat besar yang menyerangku. Sembunyi-sembunyi aku membetulkan penisku yang tegang di balik celana jeansku.

“Kita pulang sekarang?” tanya adikku setelah beberapa lama. Aku menggeleng.
“Nggak... Nunggu Cherry kelar latian MD,” jawabku. Vany melirik arlojinya.
“Jam?”
“Empat...”
“Loh ini baru jam 3 kurang... Kita ngapain sejam?” tanyanya, polos.

Ketika itu kami telah sampai di depan kelas kosong di ujung koridor lantai empat yang dulu sering aku pakai bersama Cherry sebagai tempat kami ML sepulang sekolah. Saat itu Vany sepertinya mengerti, menatapku yang nyengir sambil menatapnya dengan tatapan meminta. Vany menggelengkan kepala.

“Dasar mesumm...” bisiknya. Tapi ia menggandengku masuk ke kelas itu. Aku menutup pintu di belakangku perlahan. Kelas ini tak memiliki jendela ke arah dalam, hanya ke arah luar, itu pun agak tinggi di atas, karena ruang ini sebenarnya adalah bekas gudang yang diubah menjadi kelas. Dan karena terletak di ujung koridor dan agak jauh dari kelas-kelas yang lain, maka mendesah sekencang apa pun akan agak susah terdengar.

“Emang gapapa, Kak di sini? Kalo ketauan orang gimana?” tanyanya. Aku merangkul adikku.
“Gapapa... Aman koq. Kakak udah pake kelas ini sejak kelas 3 SMP,” jawabku. Vany terbahak dan memukul lenganku.
“Sama Cherry apa Grace?”
“Pernah dua-duanya,” jawabku tenang. Vany tertawa lagi.
“Lebih sering sama Cherry kan pasti...” bisiknya. Aku tertawa dan mengangguk.
“Cherry lebih heboh,” kataku bercanda.
“Tapi Tasya pernah bilang katanya dulu pas Kakak ML di rumahnya, heboh banget MLnya sama Grace,” kata Vany. Aku terkejut.
“Natasha juga suka intipin Kakak sama Grace??? Astagah kalian!” ujarku. Vany terbahak-bahak.
“Kita pengen tau lah, Kaaak...” jawabnya manja. “Ah si Tasya enak tuh udah bibirnya sama seksinya sama Grace, diajarin langsung lagi. Aku kan cuma belajar dari ngintip doank.”
“Kamu juga udah hebat koq tapi, Van...” kataku. Vany nyengir.
“Kakak yakin ini aman?” tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk, meyakinkannya.

Vany tersenyum, berjalan ke arah deretan meja yang ada di tengah ruangan, dan menyenderkan dirinya ke salah satu meja. Posenya seksi sekali; kedua tangannya bertumpu ke meja, tersenyum manis sekali padaku. Aku berjalan perlahan ke arahnya, mendekatkan wajahku hingga berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Aku bisa merasakan nafasnya yang agak tegang.

“Kakak tuh... Nafsunya gede banget deh...” bisiknya. Ia membelai wajahku lembut. Kami berciuman, lembut tapi penuh nafsu. Lidah kami saling berbelit, berdecak memenuhi ruangan itu.

Perlahan, jemariku mulai merayap naik, meremas kedua dada adikku yang montok dan penuh susu, menggosok dan memainkannya dengan nikmat. Aku merasakan desahan mungil keluar dari mulut Vany, menikmati remasan dan rangsanganku pada dadanya.

“Mmh... Kak...” desahnya. Tangannya yang mungil merogoh selangkanganku, mengelus tonjolan keras di baliknya. “Gede banget...”
“Kamu itu yang gede banget...” bisikku, terus menciumi leher kurus adikku sambil meremas dadanya dengan lembut, beberapa kali mengelus perut buncitnya yang keras. Vany menggelinjang tiap kali aku menyentuh titik-titik tertentu yang merangsangnya; benar, adikku ini lebih mudah terangsang saat ia hamil. Apa semua wanita hamil memang seperti itu?

Aku menegakkan badanku sedikit. Vany telah terduduk di atas salah satu meja, sedikit terengah. Tangan kirinya menopang perutnya yang buncit. Saat itu aku melihat bercak basah pada kemeja putih adikku, tepat pada bagian puting susunya. Aku nyengir nakal.

“Van... Kamu baru digituin masa udah keluar susunya?” tanyaku menggodanya.
“Aaa... Kakak kan ngeremesnya heboh... Gimana ga keluar,” jawab Vany sedikit malu. Aku tersenyum, membuka kancing kemejanya perlahan. Benar saja, BH biru muda yang dikenakannya telah basah oleh susu.
“Hmmmhhh... Vannnyy... Kamu seksi banget, sayang...” kataku. Kubenamkan wajahku pada belahan dadanya yang 34 DD itu. Empuk dan lembut sekali. Aku merogoh ke belakang punggungnya, membuka kancing dan melepas BH adikku.

Aku mundur dan terdiam sebentar. Tak pernah aku habis pikir bagaimana adikku bisa memiliki payudara sebagus dan sebesar ini; putih mulus tanpa cacat sedikit pun, montok dan sungguh bulat menantang. Putingnya coklat kemerahan pun telah sangat tegang. Sekali lagi, aku membenamkan wajahku dalam keempukannya.

“Aah... Kak... Jangan buru-buru donk...” desahnya perlahan. Kumainkan kedua putingnya perlahan-lahan dengan telunjukku, membuatnya semakin kegilaan. Air susu sesekali menyemprot dan mengalir dari putingnya. Kuremas dada adikku kencang-kencang sekali lagi hingga susunya benar-benar menyemprot keluar. Vany menggelinjang dan mendesah setiap kalinya.
“Van... Kamu makhluk paling seksi yang pernah kakak kenal,” bisikku. Vany tersenyum dan membelai rambutku, mengecup keningku. Ku sedot putingnya bergantian, meminum susunya dengan nikmat, sementara tanganku membelai perut hamilnya yang mulus. Penisku terasa berdenyut-denyut, minta dibebaskan dari bekapan celana dalam yang sempit.

“Mmhh.. Nnhh.. Kaa... K... Jangan nafsu-nafsu minumnya... Ooh...” desah Vany. Lidahku memainkan kedua putingnya, memelintirnya dan menyedot setiap tetes yang keluar dari dalamnya. Rupanya Vany tidak tahan dibegitukan.
“Kakk... Kakk... Mmnnnhhh!!!!! Mmmhh!!!”

Sejumlah besar susu menyemprot ke dalam mulutku. Aku tahu Vany telah mencapai klimaksnya yang pertama. Tanganku bergerak pelahan mengelus perutnya dan merogoh ke selangkangannya... Benar saja; celana dalamnya telah basah kuyup.

“Ohh... K... Kakk...” desah adikku terbata. Aku mengecup bibirnya.
“Lanjut ya, sayang?” kataku. Vany mengangguk, tersenyum.

Ciumanku bergerak dari bibir ke rahang dan leher adikku, ke kedua dadanya yang super besar dan lembut, hingga ke atas perutnya yang buncit. Kubelai lembut perut adikku, mengecupnya sekali lagi dengan sayang.

“Mmh... Perut kamu gede tapi bagus banget, Van...” kataku. Vany tertawa.
“Kakak demen banget ya sama perutku? Padahal buncit gitu,” katanya imut.
“Seksi tau...” jawabku sungguh-sungguh. Vany nyengir.
“Sini, Kak... Gantian!” Vany turun dari meja dan perlahan berlutut di depanku.

Ia membuka kancing dan retsleting celana jeansku, membiarkannya jatuh ke lantai. Penisku yang tegang langsung menyembul keluar dari balik celana dalamku, mengacung tepat ke wajah adikku. Tanpa aba-aba, Vany langsung menyedotnya dengan bersemangat.
“Oohh Vann... Astagah.. Pelan-pelann...”
“Mm... Cp... Kakak dabi juga... Mmmhh.. Ga belan-belan... Mmmm... (Kakak tadi juga ga pelan-pelan)” jawabnya dengan mulut penuh. Kepalanya bergerak maju-mundur mengulum penisku. Lidahnya bergerak liar menjelajah bagian bawah penisku. Enak sekali.
“Mmmnnhh... Aahh.. Vann... Vanny...” desahku.

Vany melepaskan penisku dari mulutnya, membiarkannya jatuh di atas dadanya yang luar biasa montok dan bulat. Ia mengangkat dadanya dengan kedua belah tangannya dan mulai menjepit penisku di antara keduanya. Adikku ini memang spesialis titf*ck. Belum pernah ada cewek lain yang seenak Vany melakukannya.
“Oohh.. Nnghh... Vann... Kamu emang paling enak...” erangku keenakan. Vany nyengir sambil terus menggerakkan dadanya naik-turun, meremas dan memijat penisku dalam keempukan dadanya. Rasanya aku memang tak dapat bertahan lama dibeginikan.
“Kalo diginiin gimana, Kak?” goda Vany.
Tangan kiri Vany menekankan perutnya yang buncit ke atas, sementara tangan kanannya memegang dadanya dan menjepitkannya lebih erat membungkus penisku. Ini luar biasa; sensasi lembut dan keras perut hamilnya dipadu dengan empuknya dada adikku yang luar biasa besar. Tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur, menggosokkan penisku semakin cepat. Aku tak tahan.
“Nggghhh!! V... Vaan... VannnnNN!!!”

Crott... Crrroootttt.... Cccroottt... Spermaku seolah tak mau berhenti meledak, melumuri wajah imut adikku dengan cairan kental putih, mengalir turun membasahi dada dan perutnya juga. Aku merosot bersandar pada meja di belakangku.
“Mmm... Kakak selalu ga tahan kalo digituin,” kata Vany seraya menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya. Ia kembali duduk di atas meja, dan dengan ekspresi polos Vany mengusap dan meratakan cairan kental yang melumuri perut dan dadanya yang montok itu, seolah spermaku sejenis krim; pemandangan yang membuat penisku tak menjadi lemas sedikit pun.

Aku berdiri perlahan, melumat bibir adikku dengan nafsu, mendorongnya hingga terlentang di atas meja. Vany tersenyum.

“Ayo, Kak... Langsung aja...” pintanya lembut. Aku tersenyum dan menurutinya.

Kubuka kancing rok SMP adikku, membukanya dan membiarkannya merosot ke lantai batu. Perlahan, aku menarik celana dalamnya yang basah kuyup dan melepasnya. Vany mengangkat kedua pahanya yang montok dan mengangkang lebar-lebar di depanku. Aku meletakkan penisku di bibir vaginanya yang tembem dan mulus dengan bulu yang sangat halus. Perlahan, kumasukkan kepala penisku yang merah padam ke dalamnya. Vany menggrunjal sedikit.

“Mmhh... Kakk...” desahnya, menggeliat merasakan batang penis kakaknya perlahan-lahan memasuki vaginanya yang sempit dan hangat hingga mentok.

Tanpa menunggu lagi, aku segera menghujam-hujamkan penisku ke dalam tubuh Vany. Adikku menggeliat, mendesah, mengerang keenakan setiap kali penisku bergerak masuk, semakin lama semakin cepat.
“Ohh... Nnhhh... Vann.. Vann... Vanny...” kataku berulang-ulang. Vaginanya yang becek dan lembut benar-benar nikmat membungkus penisku.
“Ahh.. Aaahh... Ahhh Kakk.. Nnggghh!!” Vany mengerang, satu tangan mencengkeram pundakku, yang lain mengelus perutnya yang buncit.

Kuremas dadanya kuat-kuat hingga susunya menyemprot, kumainkan puting kirinya yang sensitif dengan jemariku, membuat Vany memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya menahan rangsangan.
“Oohh.. Kakk.. Kak aku ga bosen bosen digituin.. Ahhh...” desahnya. Keringat membanjiri tubuh kami. Gerakan pinggulku semakin cepat menghujam vaginanya. Nafas kami memburu. Penisku berdenyut-denyut, menghantam-hantam mulut rahimnya yang sedang mengandung anakku.
“Aaahh.. NNhhh!! Ooh Kakk.. Kakak... Mmmnhh!! Aaahh...” Vany menggeletar, badannya semakin menegang. Ia mengapitkan kedua kakinya ke pinggangku. Vaginanya mengencang, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku tahu Vany sudah tak tahan.
“Van... Vann tunggu bentar Kakak juga.. Nnggghh juga udah mau keluarr...”
“Ga ku.. kuattt... Kaaaakk... KKkk... Aaaahhh...!!!”

Vany orgasme dan squirting berkali-kali kencang sekali hingga aku harus mencabut penisku dari vaginanya. Tubuh mungil adikku gemetar hebat sekali setelah itu, tapi aku benar-benar belum puas menikmatinya; padahal tadi sudah tinggal sedikit lagi aku mencapai klimaksku juga. Tanpa menunggu lama, aku segera memasukkan lagi penisku ke dalam vaginanya, dan kembali menggenjot adikku dengan nafsu.

“Aahh.. Hhh.. Kakk.. Kakkk nafs.. nafssuu banget de...hhhH!.. Aaahh pelan-pelan kakk..” desah Vany tak karuan. Tangannya mencengkeram tepi meja, susu menyemprot dari putingnya, dadanya yang super besar dan perutnya yang buncit berguncang-guncang seirama tusukan penisku.

“Mnnhh.. Vann.. Vanny kuarin jurus kamu donk... Nngghh...” pintaku.
Vany mengangguk, wajahnya menegang, berkonsentrasi, dan sebentar kemudian serangan itu datang! Penisku serasa seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan bertubi-tubi. Ini dia yang kutunggu.
“Oohh... Vaann.. Vannyy!!! VANNN!!!”

Aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Nikmatnya tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku memejamkan mata, menahan nafas, membiarkan spermaku terus keluar hingga bulir terakhirnya di dalam tubuh Vany.

Kucabut penisku, dan segera terlihat cairan putih kental yang mengalir perlahan dari dalam vagina adikku, melumuri anus dan menetes ke meja. Aku merosot, tersengal mengatur nafas, duduk bersandar pada meja di belakangku. Penisku ngilu rasanya, tapi seperti biasanya, belum menunjukkan tanda-tanda melemas setelah dua kali keluar. Tubuhku tak pernah puas menikmati Vany.

Saat itu Vany turun dari meja, menegakkan dirinya, dan berjongkok persis di depanku. Vaginanya yang basah kuyup, masih meneteskan spermaku, berada beberapa senti di atas kepala penisku.
“Lagi, Kak... Aku belom puas... Tanggung jawab...” perintah Vany sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku tersenyum, melumat bibir mungilnya lembut. Tanganku merogoh ke pantatnya yang montok, membimbingnya turun.

Vaginanya membungkus penisku erat saat Vany menurunkan pinggulnya perlahan. Hangat dan lembut sekali rasanya. Vany mulai bergerak naik-turun perlahan; perutnya yang buncit dan mulus menggesek perutku setiap kalinya.
“Nnhh.. Mmhh... Vannn.. Enak banget.. Mmhh...” desahku.

Vany menikmati sekali posisi ini. Ia memejamkan mata, menggigit bibirnya. Tanganku bergerak, meremas-remas pantatnya yang montok dan padat sambil membantunya bergerak naik-turun. Dada Vany yang besar menekan dadaku, membuat susunya mengalir keluar dan membasahiku. Kucium, kujilat leher adikku dengan nafsu.

“Aaahh.. Kakkk... Kenapa posisi ini enak.. Bangett sihh... Nnhhhh” desahnya. Ia mencium pundak dan leherku, tangannya mencengkeram erat punggung kakaknya.

Aku mempercepat genjotanku ke dalam vaginanya. Vany mengerang, menekankan kepalanya ke pundakku.
“Kakk... Kakak... Nnnnnhhh...”
“Mau keluar, Yang??”
Vany mengangguk liar, memelukku semakin erat. Aku dapat merasakan vaginanya menyempit, menjepit penisku kencang-kencang. Aku menusukkan penisku lebih cepat dan kuat. Vany menggelengkan kepalanya.
“Mmmmmmmmnn... Nnnnn... NNNHHaaaaaHH!!!”
Dengan lenguhan panjang Vany orgasme untuk ketiga kalinya siang ini. Aku dapat merasakan cairan vaginanya yang dingin meledak keluar, menyiram penis dan pahaku. Susunya pun menyemprot banyak membasahi dadaku.

Kucabut penisku dari vaginanya dan mengarahkannya ke dalam anus adikku. Vany menjerit kecil ketika penisku menerobos anusnya yang luar biasa sempit dan mulai menghujam dengan kuat ke dalamnya. Ini enak sekali. Aku merosot hingga tiduran di lantai, sementara Vany terduduk di atasku, bergerak sesuai irama genjotanku. Dadanya berguncang-guncang menggiurkan.

“Aaahh... Ahh Kakk.. Nnhhh... Kakk... Mmhh..” desah Vany sambil mengelus perutnya. Tangan kirinya meremas dan memainkan dadanya sendiri, menyemprot-nyemprotkan susu keluar. Kucengkeram pantat Vany. Anusnya sangat ketat menjepit penisku, membuatku tak bertahan lama.

“Van.. Ohh.. Hhh.. Hhh... Vannn Kakak mau keluarr...”
“Kak... Kakk... Kakk.. Nnhh Nnhhh... Akuu jugga... MMmmhhhHH...”
“Nngghh.. Vann.. Vannyy... Vannyyy!!! VANNNY!!”

Aku mengerang, tapi Vany ternyata telah mencapai puncaknya terlebih dahulu. Ia menjerit kencang dan squirting kuat-kuat membasahi pinggang dan pahaku, anusnya menyempit lagi. Sedetik kemudian aku orgasme, meledakkan spermaku banyak-banyak ke dalam anus adikku.

Vany roboh ke atasku, terengah, tersengal. Tubuh kami bersimbah keringat. Penisku yang telah lemas kucabut dari anusnya, membuat spermaku meleleh keluar dari dalamnya. Vany berguling turun dan duduk bersandar ke meja di sebelahku, matanya terpejam; dadanya bergerak naik-turun, berusaha mengatur nafas.

“Hh.. Thanks Van...” bisikku setelah beberapa lama.
Vany mengangguk lemah, lelah.
“Sama-sama...” katanya.

Kami terdiam. Aku mendudukkan diri, melirik arloji, jam 4.15... Harusnya Cherry sudah selesai. Aku menoleh ke adikku, perlahan aku meraba dadanya yang besar. Kudekatkan mulutku ke putingnya dan mulai menyedot susu yang manis dari dalamnya. Vany nyengir dan mendengus tertawa.

“Kak... Belum capek apa? Ntar aku jadi terangsang lagi loh...” katanya lembut. Ia membelai rambutku.
“Mmm... Cuma mau minum koq, Yang...” bisikku. Vany tersenyum. Tanganku mengelus perutnya, mulus sekali, enak sekali.

Saat itu tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka perlahan. Hatiku mencelos. Aku menatap Vany, melihat ketakutan dan keterkejutan yang sama di mata adikku. Kami membeku di tempat. Panik. Tak akan sempat kami memakai pakaian kami. Langkah kaki perlahan mendekat, semakin jelas.

“Astagah Diitt... Udah gue duga lu bakal di sini!!”

Aku hampir pingsan karena lega. Cherry, sahabatku, berkeringat dan terlihat lelah tapi senang, berdiri bertolak pinggang di hadapanku dan Vany.

“Duh Cher... Lu bikin gw jantungan,” ujarku lega. Vany telah tertawa terbahak-bahak di sebelahku.
“Lagian lu kacau sih... Hai, Van!” kata Cherry geli. Ia melambai ke arah Vany, yang segera berdiri dan memeluk Cherry erat.
“Apa kabar, Cher??” ujar Vany riang.
“Baik banget... Wah kamu udah gede banget!” kata Cherry sambil menatap perut adikku. Vany tertawa.
“Iya donk udah 5 bulan... Salahin dia nih!” ujarnya sambil menunjukku. Cherry tertawa, membelai perut buncit Vany dengan lembut. Heran, koq bisa ga canggung sama sekali sih?
“Yang ini juga gede banget, Van... Bagi-bagi donk!” ujar Cherry sambil meremas dada Vany yang memang super besar.
“Eehh!! Cherry!!” seru Vany sambil tertawa dan menghindar.
“Heh.. Udah-udah ayo pulang,” kataku sambil memakai celana dan kaosku lagi. Vany mengambil sehelai kaos dan celana pendek dari tasnya dan mengenakannya perlahan.

Kami bertiga berjalan ke arah tempat parkir. Tiba-tiba Vany nyeletuk.
“Cher, kamu... Agak beda deh,”
“Hm? Beda gimana?”
“Ya kan Cher! Emang gw ngerasa agak ada yang lain dari lu...” ujarku setuju. Vany mengangguk. Rupanya Vany juga melihat ada sesuatu yang aneh dari Cherry.
Anehnya, sekali lagi Cherry hanya tersenyum simpul penuh arti.

* * *


Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Terminal 2 Keberangkatan
Sabtu, 3 Januari 2009 – 15.00 WIB.


“Sampe ketemu, Ma...”
“Ya... Ati-ati ya... Jaga adikmu baik-baik. Bulan depan Mami-Papi kesana.”

Ayah-Ibuku memeluk dan mencium kedua anaknya. Hari ini aku, Vany, dan Cherry akan berangkat ke Singapore. Vany akan tinggal di sana bersamaku hingga setelah melahirkan. Kami melambai dari balik pintu kaca yang memisahkan kami dari Ayah dan Ibu, dan mulai berjalan perlahan menuju ruang tunggu.

“Hmmm... Tinggal di luar negri sendirian enak ga, Kak?” tanya Vany, mengenakan baju terusan warna pink muda ditutupi jaket Adidas putih. Ia berjalan sambil membelai perutnya yang semakin besar, memasuki bulan keenam sekarang (Aku berusaha mengalihkan pandanganku. Celanaku terasa menyempit). Kami sudah tahu bahwa anak yang di dalam kandungan Vany berjenis kelamin perempuan, dan entah kenapa Vany sangat ingin menamainya Ella.
“Ya ada enaknya ada enggaknya... Tapi kamu kan ga sendirian,” kataku. “Ada Kakak...”
“Ada aku juga...” ujar Cherry riang. Vany tertawa.
“Hahaha iya sih...”

Kami berjalan menuju ruang tunggu. Sambil berjalan, aku tak dapat melepaskan pandanganku dari sahabatku. Sungguh, ada yang lain darinya, tapi aku tak dapat menemukan apa. Jelas Cherry terlihat agak menggemuk setelah sebulan di Jakarta, tapi itu wajar karena aku pun menghabiskan sebulan ini untuk makan makanan yang enak-enak di kota kelahiranku. Apa ya? Apa pantatnya tambah montok? Aku jarang bertemu dengan sahabatku ini selama sebulan terakhir, karena kami masing-masing sibuk dengan urusan kami sendiri. Kami bahkan tidak ML sama sekali selama di Jakarta. Aku menatapnya makin tajam, menyelidiki.

“Heh, lu ngapain ngeliatin gue sampe kayak gitu?” hardik Cherry.
“Cher... Lu... Seriusan deh ada yang laen. Apa ya?”

Kali ini Cherry nyengir lebar, nyaris tertawa. Tapi heran sekali, Vany juga ikut nyengir!

“Ahh Cherr!! Van! Kalian apaan sih kasi tau donk ada apa!” pintaku tak sabar. Tak kuduga, Vany yang menjawab.
“Ella kan bakal punya adik, Kak...” ujarnya riang. Aku melonjak kaget.
“HAH?! Hah jangan bercanda kamu, Van!!” aku memelototi sahabatku. “Lu... Lu hamil??”
Cherry nyengir, mengangguk.
“Udah 3 bulan...” katanya sambil membuka retsleting hoodie tebalnya. Ternyata benar, memang perutnya terlihat buncit dari balik tank top kuningnya. “... Anak lu juga, Dit. Pasti.”
“Minggu lalu ke Tante Rina sama aku,” jelas Vany. “Tantenya sampe geleng-geleng waktu tau ini anak Kakak juga...”

Aku tak dapat berkata apa-apa. Bagaimana ini? Cherry juga hamil anakku?

“... 3 bulan, Cher?” tanyaku gelagapan. Cherry mengangguk, tersenyum manis seperti biasanya. Berarti... Berarti sekitar awal-awal aku tahu bahwa adikku juga hamil, sekitar akhir September. Wah ini kacau!

Tiba-tiba aku sadar akan suatu keanehan. Sekali lagi aku mengamati perut Cherry yang buncit.

“Cher, 3 bulan kata lu?”
“Ya. Napa mank?”
“Koq udah segede itu? Waktu Vany hamil 3 bulan gue liat dari webcam belum begitu keliatan bedanya,” tuntutku.

Cherry nyengir, Vany tertawa terbahak-bahak. Astagah ada apa?

“... Kan kembar, Dit...”
“KEMBAR??!!”

7.
Jumat, 20 Maret 2009 – 14.52 SGT
Singapore

“Mmhh… Mhhh!! Hunny!”
“Oohh… Cher… Cherr… Nnhhh…”

Kutampar pantat Cherry yang super besar, kemudian kuremas kencang-kencang. Kenyal sekali rasanya. Cherry memejamkan mata erat-erat, menikmati. Aku menghujamkan penisku berkali-kali ke dalam anusnya yang super-sempit. Luar biasa.

“Nngggghhh… Aaahh.. Aaaahh sayang gue mau keluarrrr…”
“Lagi?? Mmhh… Ohh Cherryy…”
“Iyaaa… Iiiyaaa AAAHH!!!!”

Cherry orgasme untuk yang kelima kalinya siang itu, squirting kencang-kencang. Tubuh seksinya merosot ke lantai. Tapi aku masih belum puas; kucabut penisku dari anusnya, dan segera kuhujamkan ke dalam vaginanya. Cherry mengerang dan mendesah nikmat. Kuangkat tubuhnya perlahan hingga terduduk di pangkuanku, dan aku pun mulai menggerakkan pinggulku naik-turun.

Siang itu aku dan Cherry sahabatku sedang ML di ruang latihan tari di kampusku. Entah kenapa seusai kuliah tadi kami sangat ingin ML, maka kami pergi ke ruangan ini, sekalian menunggu jam latihan tari Cherry sekitar pukul setengah empat sore nanti.

“Mmmhhh… Diittt… Pelann… Pelann… Ngghhh…” kata Cherry. Tangannya mengelus perutnya yang buncit.

Yap, sahabatku ini sedang hamil 5 bulan. Anakku, anak-anakku tepatnya, karena janin yang ada di dalam rahimnya ini kembar. Ah, terlalu panjang jika kuceritakan di sini semuanya.

Kuremas dadanya (34C, lumayan… Sejak hamil dada Cherry terus membesar), kumainkan puting susu sahabatku dengan jemariku. Kuciumi perlahan lehernya yang kurus jenjang. Cherry menjadi bertambah cantik sejak hamil; kulitnya yang sawo matang mulus sekali menjadi tambah halus dan mulus, dadanya menjadi bertambah besar dan kencang, perutnya yang buncit seksi sekali, dan yang jelas pantatnya yang memang sudah pada dasarnya montok dan seksi menjadi bertambah besar dan menggiurkan.

Hujamanku semakin kencang dan kuat ke dalam vagina Cherry. Tanganku merogoh ke bawah, meremas-remas pantatnya yang super montok. Aku hampir klimaks. Tangan kanan Cherry menopang perutnya yang buncit.
“Aaahhh… Aaahh.. Mmmmhhh… Mmnnhh.. Nnhh…” Cherry mendesah tak karuan.
“Cherr.. Cherr gue mau keluar!! Mmmhh!!!” desahku, tercekat.
“NNgghhh keluarr…inn…. Aaahh…”
“MMMMMMHHHH!!! CHERRYY!!!”

Kucabut penisku dari vaginanya dan kuledakkan spermaku di wajah cantik sahabatku. Cherry memejamkan mata, membuka mulutnya lebar-lebar menerima bulir demi bulir cairan putih kentalku. Cherry menggenggam penisku, dijilat dan disedotnya sisa spermaku hingga bersih. Enak sekali.

Aku bersandar lemas ke dinding ruang latihan. Cherry terengah, duduk bersandar perlahan. Tubuhnya yang sedang hamil bersimbah keringat.
“Great… Cumshot pas gue mau latihan,” katanya bercanda. Aku tertawa, mengambil celana dalamku dan memakainya.
“Ah lu suka aja,” jawabku. Cherry nyengir dan berdiri goyah, mengambil pakaiannya.
“Ntar malem jadi di tempat lu?” tanyanya. Aku mengangguk. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Sejak pagi⎯ralat, sejak tengah malam⎯kejutan demi kejutan menyenangkan telah kuterima dari Vany, teman-teman kampus, dan sekarang Cherry, dan malam ini kami akan makan malam dan merayakannya di apartemenku.

“Bantuin masaknya ya, Cher,” pintaku sambil mengancingkan celana jeans. Cherry masih telanjang bulat.
“Pastinya… Ah tapi Vany kan jago banget masak,” jawab Cherry sambil mengelap mukanya dengan handuk.
“Hahaha tapi lagi hamil 8 bulan gitu kasian juga sih sendirian,” kataku. Cherry mengangguk setuju. Betul, Vany sedang hamil 8 bulan. Anakku juga. Pasti teman-teman pembaca sudah tahu betul ceritanya.
“Lu bantuin dulu deh sebelom gue dateng,” kata Cherry. Aku mengacungkan jempolku.
“Eh lu pake baju lah!” ujarku. Cherry terbahak.
“Iyaa iyaa.. Kenapa, nafsu lagi ya kalo liat gue bugil gini terus?” godanya. Cherry mendekatiku dan memelukku, kemudian berbalik.
Kupeluk sahabatku dari belakang, kukecup ubun-ubun kepalanya.

“I love you, Cher…” bisikku. Cherry tersenyum.
“Love you too…” Ia berbalik, mencium bibirku dengan lembut.
“Hmm… Apa mau pacaran aja kita?” kataku sambil mengelus perutnya yang buncit. Cherry nyengir, pipinya merona merah.
“… Ah tapi gue harus share cowo gue ma Vany,” bisiknya, pura-pura merajuk. Aku tersenyum, kupeluk erat sahabatku.
“Lu udah kayak cowo gue koq, Dit… Dari dulu,” kata Cherry. “Cuma masalah status aja.”
“Gimana kalo diresmiin aja?” desakku. Sahabatku ini nyengir. Pipinya jelas-jelas merah padam. “Ini juga anak-anak gue kan, Cher…” tambahku, mengelus perut buncitnya.
Cherry nyengir, melepas pelukanku dan mulai memakai pakaiannya.
“Gimana kalo kita bicarainnya di tempat yang lebi enak?” katanya. Aku terkekeh.
“Ya-ya, Cher… Masa di ruang nari gini plus abis ML,” ujarku.
“Hahahah abis MLnya sih gapapa…” kata Cherry, selesai mengenakan kaos gombrongnya, kontras dengan legging super-ketat warna abu-abu yang dipakainya, membentuk paha dan pantatnya yang super seksi itu.
“Hahahaha dasar lu…”

Kudekati sahabatku yang cantik ini. Kupeluk lagi ia dari belakang. Kuelus perutnya yang buncit. Cherry menunduk, memegang tanganku.
“Gimana akhirnya sepupu lu yang mau adopsi mereka?” tanyaku. Seminggu lalu Cherry berkata bahwa ada kakak sepupunya yang sudah menikah tapi masih belum dikaruniai anak, sehingga saat mendengar bahwa Cherry hamil, mereka memutuskan untuk mengadopsi anak-anak kembar ini.
“Lusa baru bisa ketemu sama sepupu gue itu…” jawab Cherry riang. “Mau ikut?”
“Pasti ikut. Anak gue gitu,” jawabku. Cherry tertawa.
“Udah pulang sana… Ntar Vany nungguin loh,” katanya sambil mendorongku. Aku nyengir dan berjalan, menggandeng Cherry yang membimbingku ke pintu keluar.

Sebelum aku membuka pintu, Cherry mengecup pipiku.
“Gue bener-bener sayang sama lu,” bisiknya di telingaku. Entah kenapa aku merasa pipiku merona.
Aku nyengir, menunduk, mengecup perut buncitnya.
“Papi pulang dulu…” Cherry terbahak melihat tingkahku.
“Byee… Thanks arlojinya,” ujarku sambil meremas pantatnya yang montok. Cherry mengernyit.
“Masih aja ya...!” ujarnya sambil menjulurkan lidah. Aku tertawa dan berjalan pergi.

Saat berjalan pulang, aku berpapasan dengan teman-teman Cherry sesama penari. Beberapa yang mengenalku menyapaku riang, mengucapkan selamat ulang tahun. Aku berjalan ke bus stop di dekat kampus dan duduk menunggu bus yang akan membawaku pulang ke rumah. Siang itu panas sekali. Cuaca di Singapura aneh sekali. Sekarang panas sepert ini, nanti malam bisa-bisa hujan lebat dan super dingin. Ku keluarkan kacamata hitamku.

Busku datang. Aku naik dan menemukan tempat duduk dekat jendela. Aku terdiam, tapi pikiranku berjalan… Betapa bedanya respon orang-orang di Singapura pada kehamilan Cherry disbanding dengan orang-orang di Jakarta pada kehamilan Vany. Cherry dan aku mendapat ucapan selamat yang melimpah dari teman-teman kuliah dan dosen-dosen, dan di tim tarian pun Cherry yang tidak bisa ikut menari bersama teman-temannya lagi justru diangkat menjadi asisten koreografer karena kemampuan koreografinya yang memang luar biasa. Sementara adikku Vany, harus pindah kesini untuk menutupi masalah. Beda sekali.

Aku melirik arlojiku. Setengah empat sore. Sedang apa ya Vany di rumah? Sejak bulan Januari lalu Vany pindah ke sini dan tinggal bersamaku. Untuk mengisi waktu Vany mengikuti kursus bahasa Mandarin, kursus membuat cake, dan sebagainya. Di samping itu, yang membuatku senang, Vany setiap hari mengeluarkan keahliannya memasak, dan selalu memasak makanan yang enak-enak buat kakaknya⎯dan Cherry yang seringkali main ke apartemen kami⎯dan tentu saja hampir setiap hari kami menyempatkan diri untuk ML. Semakin besar kandungannya, nafsu Vany pun semakin besar. Luar biasa.

Ella tumbuh dengan sehat dalam kandungan Vany, masih diselingi terapi setiap 3 hari sekali untuk mengurangi resiko cacat pada Ella karena anak hasil hubungan inses (dan syukurlah dokter terus berkata bahwa kemungkinan cacat hanya 0,5%), dan sekarang sudah memasuki bulan kedelapan kandungannya. Perut adikku benar-benar buncit sekarang, yang entah kenapa dalam pandanganku seksi sekali.

Aku merogoh tasku dan menutupkannya pada pangkuanku. Astagah, bahkan memikirkan perut Vany yang buncit dan mulus saja membuatku tegang lagi… Padahal baru sekitar setengah jam yang lalu aku meledakkan spermaku tiga kali saat ML dengan Cherry. Kacau ini.

Bus sampai ke depan apartemenku. Aku berjalan masuk dan segera menaiki lift ke lantai 10 tempatku tinggal. Kubuka kunci pintu apartemenku, sepi sekali.

“Vany sayang… Kakak pulang…” ujarku. Tak ada jawaban.
“Vaaan…?” panggilku. Aku berjalan ke arah dapur. Beberapa sayur telah dipotong rapi dan diletakkan di atas piring. Ada beberapa kantong berisi belanjaan dari pasar dan supermarket, tapi tak ada adikku di sana.
“Van? Sayaaang…?”

Aku sampai di depan pintu kamarku dan Vany. Hawa dingin menguar dari celah di bawah pintu. Oh, Vany di dalam rupanya.
Kubuka perlahan pintu kamarku. Benar saja, adikku sedang tertidur lelap di ranjang kami. Wajahnya yang sangat imut terkulai di atas bantal. Tangannya memeluk guling. Rambut hitamnya yang sebahu agak awut-awutan, tapi adikku ini tetap terlihat cantik sekali. Tersenyum, aku duduk perlahan di sisi ranjang, membelai rambut dan membetulkan selimutnya. Kukecup perut adikku yang sangat buncit, kemudian kutinggalkan kamar, membiarkannya tertidur.

Aku berjalan ke ruang tengah, duduk di sofa, hendak menyalakan laptopku, mengecek facebook. Tiba-tiba mataku terantuk pada secarik kertas kecil yang tergeletak di atas meja, ditindih remote control TV. Kuambil kertas itu.


Kakak sayang,
Aku tidur dulu ya... Tadi abis dari pasar n supermarket capek.
Jam 4 bangunin aku ya Kak.
Luv,
Vany.
P.S: Bangunin na jangan nakal. :-P
Justru kalimat terakhir itulah yang membuatku berpikiran jahil. Kulirik arlojiku, jam 4 tepat. Nyengir nakal, aku berjalan kembali ke kamar.

8.
Vany masih terlelap, terlentang di atas ranjang. Dadanya yang super besar bergerak naik-turun seirama dengan perutnya yang sedang hamil 8 bulan, bernafas tenang. Aku duduk di sebelahnya, mengusap perut buncitnya perlahan. Vany tetap pulas.
Perlahan, kubuka kancing piyama pinknya. Satu-dua-tiga-empat-lima... Yak terbuka semua. Kubuka piyamanya, perlahan, hati-hati sekali, jangan sampai ia terbangun... Vany tidak memakai BH... Astagah aku tak pernah bosan akan dada adikku; luar biasa besar (ukurannya 34F sekarang... Bahkan bertambah besar 1 cup lagi dalam 3 bulan ini), mulus, bulat penuh, montok—entah kenapa tidak ada tanda-tanda menurun sedikit pun, dan sekarang tentu saja penuh susu yang nikmat. Putingnya yang coklat tua sempurna sekali. Baru tadi pagi kusedot susu banyak-banyak dari dalamnya sebelum berangkat kuliah.
Aku menegakkan diriku, memandangi tubuh mungil Vany; sempurna sekali. Perutnya yang bulat dan sangat buncit mulus sekali tanpa bekas stretch-mark sedikit pun. Vany jelas bertambah gemuk sejak hamil, tapi entah kenapa justru aura kecantikan dan keseksian adik kecilku ini semakin bertambah kuat.

Dengan lembut, kuremas dada Vany. Enak sekali, lembut dan penuh di tanganku. Vany menggeliat, tapi masih terlelap. Telunjukku memainkan kedua putingnya. Kurasakan putingnya mengeras, menegang; Vany memang sangat mudah terangsang sejak hamil.
Kudekatkan kepalaku, dan mulai menjilat, menyedot putingnya dengan lembut, sambil terus meremas dadanya, semakin kuat. Susu yang nikmat segera menyembur keluar. Kumainkan puting kirinya yang sangat sensitif dengan lidahku, kujilat, kusedot susunya.

“Mmmh...” Vany mendesah perlahan dalam tidurnya.

Kusedot semakin kuat putingnya. Semakin banyak air susu keluar. Tanganku membelai perut buncitnya. Penisku sudah tegang sekali, sakit rasanya tertahan celana dalam dan celana jeansku.

“Ngg... Mmhh...” desahan Vany semakin terdengar jelas.

Kembali kuremas-remas dada adikku, kali ini dengan nafsu walau tetap lembut. Vany menggeliat lebih kuat. Tanganku merogoh ke dalam celananya, mengusap lembut vagina adikku... Agak basah.

“Mmhh... Nghh... Kaak?” kata Vany setengah mengantuk.
“Bangun Van...” kataku sambil nyengir. “Udah jam empat.”
“Mmmm? Iyaa...” Vany menunduk, melihat apa yang kulakukan untuk membangunkannya. “Iiii... Kakaaak... Uda dibilang banguninnya jangan nakal aaa... Ini malah nakal banget!” ujar Vany setengah kesal. Tapi bibirnya membentuk senyum manis.
“Hehehe abis kamu seksi banget sih... Tidur aja seksi...” belaku. Vany tertawa renyah.
“Aa... Kakak...”

Kuremas-remas dadanya dengan lebih kuat. Air susunya menyemprot, mengalir keluar. Perlahan, kukecup dada adikku, bergerak turun ke perut hamilnya. Kecupanku lembut di atas perutnya yang mulus. Vany tersenyum.

“Kakak suka banget sama perutku...” bisiknya. Aku mengangguk setuju.

Kubuka celana panjang piyamanya, celana dalam hijau muda berenda Vany sudah agak basah. Tersenyum, kubuka juga celana dalam adikku perlahan-lahan. Vaginanya yang tembem dihiasi bulu yang sangat tipis, membuatnya bertambah seksi. Vany telah membuka kemeja piyamanya, sehingga adikku telah telanjang bulat sekarang, terlentang di atas ranjang.

“Ayo tanggung jawab...” katanya. Aku terbahak.
“Ih nafsu banget deh...”
“Iiii kakak itu yang nafsu aku bangun-bangun langsung di ML-in!” ujarnya tak mau kalah.
Tertawa, aku merunduk, menciumi dan menjilati vagina adikku. Vany menggeliat, mengejang. Kujulurkan lidahku, menjilati bagian dalam vaginanya.

“MMhh... Aahh... Kaakk...” desahnya.
Kusedot klitoris Vany yang menonjol. Kedua tangan Vany mencengkeram seprei. Jelas nikmat sekali. Aroma segar vaginanya yang basah memenuhi inderaku.

“Aahhh.... Kaakk.... Mmmhh.... Nhh...”

Aku bergerak naik, kuciumi perut buncitnya sambil kubelai lembut. Bibirku naik menyedot putingnya, meminum susu yang nikmat. Tangan kananku merogoh ke bawah, kumasukkan tiga jemariku ke dalam vagina Vany, yang langsung mengejang.

“Nggghh!! Kaakk.. Aaa... Kaakhh... Aaahh... Aahh...” desahnya seru.

Kecupanku naik ke lehernya yang kurus, Vany memejamkan mata, menggigit bibirnya menahan nikmat. Semakin naik, kulumat bibir mungil adikku. Vany segera membelitkan lidahnya dengan lidahku. Jemariku bergerak semakin cepat, menusuk-nusuk vaginanya. Cairan vaginanya bermuncratan keluar. Muka Vany memerah.

“Aaahhh!! Aahh.. Kakkk.. Kaaakkkk!!” desahnya. Aku tahu tak lama lagi Vany akan keluar.
“Ayo, Van... Keluarin...”
“NNggghhh... Kaaakk....” Vany mencengkeram lenganku. Suara ‘crek crek crek crek’ jemariku yang menghujam vaginanya semakin terdengar, semakin basah.
“Aaahhh... KKAAAKK!! MMMMMMNnnnhhhh!!!”

Kucabut tanganku dari vaginanya. Vany squirting; satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh... Semburan demi semburan cairan keluar dari dalam vaginanya. Vany terkulai lemas di ranjang. Matanya terpejam, nafasnya terengah, tubuhnya gemetar dampak orgasmenya yang hebat.

“Nnnnhh... Kaa..kk.... Ngac...oo...” bisiknya, gemetar. Kukecup bibir adikku lembut, menenangkannya.
“Kakakku ini super nakal...” katanya lemah. Aku nyengir. “Harus dihukum...”
“Heh? Dihukum gimana?” tanyaku, tersenyum lebar. Vany nyengir.
“Ayo buka celananya!” perintahnya. Aku tertawa, menurut. Kubuka celana jeansku. Penisku yang sudah sangat tegang langsung menyembul keluar. Ujungnya telah basah.
“Sini...” kata Vany, perlahan menegakkan diri hingga terduduk, menepuk perlahan perutnya yang mulus dan sangat besar. Aku berlutut di depan adikku, Vany menggenggam penisku, dan segera mengulumnya dengan nikmat. Sensasi lembut bibir Vany yang mungil membungkus penisku, enak sekali.

Kepala Vany bergerak maju-mundur menyedot penis kakaknya. Aku memejamkan mata, benar-benar enak sekali. Lidahnya bergerak nakal di bagian bawah penisku.
“Mmhh.. Vann... Enak... Bangett...” ujarku menikmati. Vany menyedot dengan sangat-sangat lembut, semakin lama semakin kencang dan kuat.
Vany mengulum penisku hingga ke pangkalnya, kemudian dengan amat sangat perlahan menarik mulutnya hingga ke kepala penisku yang berdenyut-denyut rasanya. Dibiarkannya penisku keluar perlahan-lahan dari celah mungil bibirnya yang lembut, kemudian Vany menjilati penisku dari kepala hingga pangkalnya. Aku benar-benar tidak tahan.
“Vaann... Maauu kk.... keluarr...” kataku terbata.

Tapi saat sedikit cairan kental keluar dari kepala penisku, Vany mengangkat kedua dadanya yang super besar dan montok itu, diselipkannya penisku diantara belahannya. Kelembutan dan kekenyalan dada adikku membungkus penisku, yang entah kenapa menahan semburan spermanya.
Vany menekan, memijat penisku dengan dadanya. Susunya mengalir perlahan setiap kali Vany menekan dadanya yang besar lebih kencang lagi membungkus penis kakaknya. Tanpa sadar pinggulku bergerak maju-mundur. Jika ada satu hal yang dapat membuatku kehabisan kata-kata untuk menjelaskan kenikmatannya, itu adalah titf*ck dari adikku Vany.
Gerakan pinggulku semakin kencang. Bagian bawah penisku tertekan perut buncitnya yang keras. Kulihat kepala penisku hilang-timbul dari belahan dada Vany. Aku sungguh-sungguh tak tahan.

“Nnggghhh... Mmhh... Vaann.... VVVAANN....NNYY!!” seruku.
Spermaku meledak bertubi-tubi melumuri wajah imut adikku. Vany telah mengangakan mulutnya lebar-lebar, sehingga bulir demi bulir cairan kentalku menyemprot ke dalam mulutnya. Rasanya lama sekali baru penisku berhenti menyemprotkan sperma, dan saat berhenti, kulihat wajah, poni, leher, dan dada Vany telah berlumuran sperma kakaknya.

Aku terduduk, kujatuhkan tubuhku ke belakang hingga terlentang. Penisku rasanya ngilu sekali. Ini ejakulasi kelima hari ini; sekali tadi pagi dengan Vany, tiga kali dengan Cherry tadi siang, dan yang barusan ini. Tiba-tiba aku merasa ngantuk sekali.

“Ah Kakak kebanyakan sih ama Cherry tadii...” ujar Vany manja, menelungkup di atasku; perutnya yang buncit menekan penisku. “Jadi udah lemes deh sama aku... Harusnya disimpen aja.”
Aku tertawa. “Hahaha ntar sore juga udah kuat lagi... Kakak boleh tidur dulu ga?”
Vany nyengir dan mengangguk. “Aku mandi trus siapin buat masak dulu deh... Kakak ntar bantuin kan?”
“Yup. Cherry juga koq,” kataku. “Kakak tidur sejam deh...”
Vany mengecup bibirku dengan lembut.
“Sleep tight, Sayang...” bisiknya. Aku tersenyum, memejamkan mata.

***

Aku terbangun karena aroma masakan Vany. Kulirik jam di dinding... Setengah 6 lebih sepuluh menit. Cherry akan datang pukul 6 sepertinya. Aku beranjak dari ranjang, masih dengan sedikit lemas aku berjalan keluar kamar, mencari adikku.
Aku berjalan ke arah dapur, tapi aku tidak menemukan adikku. Panci-panci sudah dimatikan apinya, hanya uap yang masih menguar dari balik penutup panci, menyebarkan aroma khas sup kacang merah buatan adikku. Aku tersenyum, bahkan wangi sup-nya pun sudah sama dengan wangi sup buatan ibuku. Kulirik tudung saji di atas meja, menyembunyikan beberapa piring hidangan nikmat olahan Vany. Hatiku tergoda untuk menyicipi salah satunya, tapi menahan diri karena tak ingin merusak kesenangan menyantap bersama makan malam dengan Vany dan Cherry.
Aku menguap, masih mengantuk... Kubuka lemari es untuk mengambil sebotol minuman isotonik. Masih mengantuk, aku berjalan kembali ke kamar sambil meminumnya. Di mana Vany?
Terduduk di ranjang, kembali meneguk minumanku, aku menoleh dan melihat sehelai t-shirt warna hijau tergeletak di sisi ranjangku. Astagah... Tentu saja Vany mandi. Rupanya tadi aku terbangun belum sadar betul sehingga tak menyadarinya. Sekarang aku bisa mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Aku segera berdiri, melepas pakaianku dan berjalan masuk ke kamar mandi, berniat mandi bersama adikku. Namun aku tertegun saat masuk.

Kutemukan bukan hanya Vany di dalam ruangan shower, tapi juga Cherry sahabatku. Dua cewek super seksi ini sedang mandi bersama, saling mengusap tubuh satu sama lain, meremas dada, pantat, dan saling mengecup leher dan bibir satu sama lain dengan perlahan... Dan tentu saja saling mengusap perut buncit mereka satu sama lain. Penisku langsung tegak berdiri menatap pemandangan seperti itu.

“Wow...” kataku.

Sahabatku dan adikku menoleh, dan ketika melihatku langsung nyengir senang sekali. Wajah imut Vany merona sedikit.
“Akhirnya lu bangun juga!” ujar Cherry.
“Wa... Koq.. Koq bisa...” kataku terbata. Cherry terbahak. Vany semakin merona.
“Mmm... Tadi aku lagi masak... Cherry dateng, terus bantuin... Terus abis masak keringetan... Terus mandi deh,” jelasnya polos.
Aku nyengir. Adikku ini lucu sekali. Ngomong sangat polos padahal satu tangannya masih terletak di dada Cherry, yang lain di atas perut buncitnya.
“Boleh gabung?” tanyaku.

Cherry tak menjawab, hanya berjalan keluar dan menarikku masuk ke dalam ruangan shower. Agak sempit rasanya sekarang... Dipenuhi 3 orang. Tapi aku tak peduli. Saat pancuran air hangat menyentuh tubuh kami, aku teringat saat pertama kali Vany melepas keperawanannya... Sore hari di bulan Juli yang lalu, mirip seperti sekarang. Bedanya hanya sekarang ada satu cewek lagi, membelai punggungku perlahan, perutnya mengusap punggungku perlahan. Enak sekali.

“Gue mandiin ya, Dit...” bisik Cherry. Tangannya mulai mengusap dada dan perutku dari belakang. Aku memejamkan mata, menikmati. Rupanya Vany tak mau kalah.
“Kak... Mandiin aku donk...” pinta Vany manja. Aku terbahak.
“Nakal kamu...” bisikku. Vany menjulurkan lidah, menyerahkan botol sabun cair kepadaku. Tersenyum, aku mulai menggosokkan sabun ke badan adikku dengan lembut, mulai dari lehernya yang agak gemuk sekarang, pundak, dan punggung...
Perlahan tanganku meraba dadanya yang super besar dan kencang, kuremas dadanya dengan lembut. Jemariku memainkan dan memelintir puting Vany yang keras... Menyemprotkan susu ke arah kaca yang membatasi ruang shower. Vany memejamkan mata, menikmati sentuhan kakaknya. Tangan Vany bertumpu pada kaca pembatas.

“Mmhh.. Kaak...” desahnya pelan. Uap mengembun di kaca, keluar dari mulut adikku. Kucium leher dan pundaknya perlahan. Tanganku bergerak turun, melumuri perut adikku yang buncit dengan sabun. Aku suka sekali dengan perut ini... Aku tak menolak perut adikku yang rata dulu sebelum dia hamil, tapi entah kenapa semakin besar perutnya, semakin seksi menurutku. Sesekali aku menoleh ke belakang untuk melumat bibir Cherry.
Cherry terus membelai tubuhku, menciumi pundak dan punggungku. Ini enak sekali. Tangannya yang lembut mulai memegang penisku... dan mengarahkannya ke pantat Vany. Aku nyengir, menoleh. Cherry mengedip padaku. Cherry menyelipkan penisku yang sangat tegang di belahan pantat Vany yang sangat montok. Tanganku bergeser ke pinggulnya yang melebar, sudah siap melahirkan. Aku mulai bergerak maju-mundur, menggesekkan penisku di antara kedua bongkahan pantatnya yang empuk.
“Kaakk... Ga mau disimpen buat ntar malem aja?” ujar Vany lemah.
“Hmm... Masih kuat koq...” kataku. Vany hanya tersenyum manis, memejamkan mata. Perlahan, kumasukkan penisku ke dalam anusnya, dan mulai menggenjotnya dengan nafsu. Sempit, hangat sekali.
“Mmh... Mnghh.. Ngh... Hh.. Kaakk... Kakk...” desah Vany tiap kali penisku menghujam tubuhnya. Pantatnya yang tebal dan besar menepuk-nepuk pingganggku. Kuremas dada Vany kuat-kuat, memeras susunya semakin banyak keluar. Hujamanku semakin kencang. Cherry mencium dan menijlati leherku dari belakang, jemarinya memainkan putingku. Aku tak tahan, aku siap keluar.
“Vann.... V... Vannny... Nggghhh!!!”
Kuledakkan spermaku berkali-kali dalam anus Vany. Gemetar, Vany berbalik, mencium bibirku dengan nikmat. Tangannya membelai penisku yang masih tegang, masih meminta lagi. Kupegang perutnya yang mulus dan besar, enak sekali.
“Eeh... Giliranku sekarang...” kata Cherry tak mau kalah. Vany mengerucutkan bibir, pura-pura merajuk, tapi ia membalikkan badanku menghadapi sahabatku yang super cantik, yang sudah berlutut di lantai ruang shower menghadapi penisku, dan seketika itu juga memasukkannya ke dalam mulutnya. Aku memejamkan mata. Sekarang giliran Vany yang menggosokku dengan perut buncitnya yang super mulus. Cherry bergerak maju-mundur mengulum penisku. Lidahnya berulah di bawah batang penisku. Enak sekali. Vany menjilati leherku. Gila... Threesome seperti ini benar-benar luar biasa.
“Mmmm... Sllrppp... Sllrppp....” Cherry berisik menyedot penisku. Bibirnya yang cukup tebal membungkus penisku dengan sempurna. Benar-benar enak.
“MMhhh.... Cherr... Ngh...” desahku... Aku tahu aku tak dapat bertahan lama dibeginikan terus... Tapi Cherry tiba-tiba melepaskan sedotannya, berdiri perlahan, membalikkan badannya ke arah tembok. Tangan kirinya masih memegang penisku, membimbingnya ke arah vaginanya.
Tak menunggu disuruh dua kali, segera kuhujamkan penisku ke dalam vagina sahabatku. Kedua tanganku meremas erat-erat pantat yang sampai hari ini menurutku masih pantat termontok dan terindah di muka bumi (well... Di samping pantat Kim Kardashian atau selebritis mancanegara lainnya), yang semakin bertambah besar karena kehamilannya. Pinggulku bergerak maju-mundur, menghujamkan penisku kuat-kuat ke dalam rahim Cherry yang sedang mengandung anak kembarku.
“Oohh.. Oohh... Aangghh... Nhh... NNnnhh...” desahnya tak karuan tiap kali penisku menghujam ke dalam tubuhnya.
Vany berjalan perlahan ke depan Cherry, memegang kedua lengannya yang bertumpu ke dinding, mengalihkannya ke atas perut Vany. Cherry menegakkan diri, melumat bibir adikku dengan nafsu. Tangannya meremas dada Vany kuat-kuat, menyemprotkan susu dari dalamnya. Vany dan Cherry berciuman dengan sangat hot, saling membelitkan lidah.
Genjotanku semakin kuat. Aku semakin terangsang melihat adik dan sahabatku saling berciuman. Vagina Cherry seolah semakin lama semakin menyempit. Setiap kali Vany mencubit putingnya, vagina Cherry menjadi lebih sempit lagi. Ini enak sekali.
“Mmhh... Vann... Cherr.... Nngghh...”
“Ngh... Ngh... Ngh... Hh... Ngghh... Dit... Dit..” Cherry mendesah bertubi-tubi.
“Oohh... Ch... Cherryy....” desah Vany saat Cherry menghisap susu dari putingnya. Aku tak tahan.
“Nnnnnnngghhhh!!!”
Kuledakkan spermaku ke dalam rahim Cherry berkali-kali. Sekujur tubuhku seperti tersengat listrik rasanya. Penisku seperti tak mau berhenti mengeluarkan cairan. Kutarik lepas penisku dari vagina sahabatku saat masih mengeluarkan sperma. Beberapa muncrat menyemprot punggung Cherry, bahkan wajah Vany. Cherry merosot ke lantai. Rupanya Vany juga berhasil dibuat orgasme oleh Cherry yang terus memainkan dadanya. Adikku bersandar ke dinding, memejamkan mata, terengah-engah.
Sempoyongan, aku bersandar ke dinding. Cairan putih masih mengalir dari dalam vagina Cherry, meleleh keluar melumuri pahanya yang montok. Aku terengah-engah... Tapi penisku masih meminta lagi.
“Hh... Di... Di kamar aja, yuk?” kataku, tersengal.
“Kakak masih kuat??” tanya Vany, sedikit terkejut. Aku pun heran. Cherry menggeleng lemas, nyengir lebar.

Kami berjalan keluar dari kamar mandi, mengeringkan tubuh kami masing-masing dengan handuk, dan berjalan ke kamar. Vany dan Cherry merebahkanku terlentang di tengah-tengah ranjang, mereka berdua berlutut di sebelahku, Vany di kanan dan Cherry di kiriku, siap melanjutkan. Penisku sudah tegang sekali.

“Sekarang Kakak nurut aja yaa...” bisik Vany menggoda di telingaku.
“Kita yang bakal kerja keras...” kata Cherry.

Perlahan, dengan sangat sexy, mereka berdua membuka handuk yang membungkus tubuh hamil mereka, kemudian melemparkannya ke lantai. Entah apa, tapi tubuh (dan terutama perut) mereka terlihat mengkilat sore itu. Sangat mulus. Tak tahan, tangan kiriku meremas bongkahan pantat Cherry yang montok sekali, dan membelai perut Vany yang super besar dan mulus.

Kedua cewek ini mendekatkan wajah mereka ke penisku yang sudah tak sabar. Hatiku berdebar-debar, entah kenapa. Cherry mulai dengan mengulum kepala penisku. Vany menjilati batangnya perlahan. Sensasi diblow-job oleh 2 cewek tak pernah dapat kulukiskan.

“Mnhhh.. Vann... Cherrr.... Mngghh...”
“Slrrppp... sllrp.. Enak Kak?” tanya Vany. Aku hanya dapat mengangguk buru-buru.
“Mmmmm... Slrpp... Mm... Mah... Apa gue manggil lu ‘Kak’ juga aja ya, Dit?” kata Cherry sambil melepas kulumannya.
“Heh jangan aneh-aneh! Udah lanjutin!” ujarku sambil tertawa. Vany terbahak.
“Cherry... Gantian doonk...” pinta Vany. Cherry mengangguk, berpindah menjilati batangku, membiarkan Vany menyedot kepala penisku. Sedotan Vany selalu kuat.
Cherry mulai menciumi pinggangku, menyerahkan penisku sepenuhnya pada Vany yang telah memasukkan seluruh batang penis kakaknya ke dalam mulutnya. Lidahnya yang mungil bermain di bawah batang penisku, menyedotnya cepat. Kepalanya bergerak naik-turun-naik turun. Aku tak tahan.
“Vann... Kakak... mmmnnhh.... Kkhh...” kata-kataku tercekat.
“Eits... Jangan keluar dulu,” kata Vany, tiba-tiba melepas sedotannya. Benang ludah tipis menjuntai antara bibirnya dengan kepala penisku.
“Kita ada surprise buat lu...” kata Cherry.
“Astagah surprise apa lagi...” kataku, senang.
Cherry dan Vany menegakkan diri, berlutut berhadap-hadapan di kanan-kiri penisku. Perut mereka yang buncit menghadapi penisku, dan perlahan, Vany dan Cherry mendekatkan perut mereka, menjepit penisku dengan perut hamil mereka yang mulus dan kencang.
“Uwahh.. Vann... Cheerrr... Aahh... Ahh...” desahku tak karuan. Nikmat sekali.
Vany dan Cherry nyengir, mulai bergerak naik-turun menggosok penisku dengan perut mereka. Aku mendudukkan diri, kubelai perut keduanya; perut Vany yang sudah 8 bulan hamil lebih besar sedikit dari perut Cherry yang 5 bulan hamil anak kembar, tapi keduanya benar-benar mulus dan menggiurkan.
“I love you, Kak...” bisik Vany, memegang perutnya dengan kedua tangannya dan menggerakkannya lebih cepat menggosok penisku. Aku memejamkan mata, ini enak sekali.
“MMhh... Sini kamu, Vany...” ujar Cherry tiba-tiba, meremas dada adikku dan mengecup bibirnya. Vany terbelalak, tapi sesaat kemudian sudah menikmati ciuman Cherry, membelit lidahnya. Aku tak pernah tahan melihat pemandangan ini.

“MMMMMNNGGHHH.. nGGGHH... Gue... Kellluarr.... Nnhgggghh...”

Kuledakkan spermaku berkali-kali di antara perut buncit kedua cewek ini, menyemprot wajah, dada, dan tentunya perut keduanya. Aku tergeletak, terengah. Tubuh kami bertiga sudah berkeringat.

“... Gila itu... itu... tadi... Enak banget...” kataku. Kedua cewek itu tertawa. Mereka merebahkan diri di kanan-kiriku.
“Ayo, Sayang...” pinta Cherry sambil membelai penisku. Aku mengangguk, berlutut, berbalik menghadapi mereka berdua.

Aku memandangi kedua cewek cantik yang sedang bugil di atas ranjangku ini. Benar-benar luar biasa. Dua kecantikan yang berbeda, kulit dan wajah Vany yang sangat oriental, bersebelahan dengan Cherry yang tanned cenderung sawo matang dengan wajah bule-nya, keduanya sedang mengandung anak-anakku. Benar-benar luar biasa.
Kuarahkan penisku pertama-tama pada vagina Vany. Tembem dan hangat sekali sekarang. Vany memejamkan mata saat perlahan-lahan penisku menembus liang vaginanya. Cherry memain-mainkan dada Vany dengan satu tangan, sambil menjilati lehernya.

“Mmnhh... Ngghh... Nhhh...” desah Cherry. Aku mulai mempercepat tusukanku. Badan Vany yang terlentang bergerak seirama hujamanku. Semakin lama semakin kencang, semakin kuat.

“Oohh... Kakkk... Kakkkk... Nghh...” desahnya makin kuat.
Aku menggenjot adikku semakin kuat. Vany memejamkan mata, mulutnya menganga. Tangannya mencengkeram seprei kuat-kuat.
“Kakk.. Kaaaakkk.... Nnggghh!!!!!”
Vany squirting kuat-kuat, membasahi penis dan perutku. Aku mendudukkan diriku di sisinya. Mengerti, Vany naik ke atasku, membelakangiku, dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Vany menggelinjang, tangannya menopang perutnya yang buncit. Tanganku merogoh ke depan, meremas dada montok Vany yang berguncang-guncang menggiurkan, kumainkan putingnya.
Cherry beranjak turun dari ranjang, mencari sesuatu dari tasnya yang terletak di sebelah ranjangku, dan mengeluarkan sebuah dildo besar berwarna merah; bukan dildo biasa, tapi double-dildo (kedua ujungnya berbentuk kepala penis) dengan strap-on, sehingga bisa dipakai oleh cewek. Vany terbelalak menatap dildo besar itu.
“Gila.... Gede... Banget, Cher?” katanya sedikit tersengal karena penisku masih menghujam vaginanya.
“Hmmm... Kalo pas Kakakmu ga ada aku pake ini...” jawab Cherry cuek. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sahabatku ini cukup maniak rupanya.
Perlahan, Cherry menusukkan salah satu ujung dildo itu ke dalam vaginanya hingga masuk setengah, kemudian memakai strap-on nya. Muka Cherry merona merah. Sekarang sahabatku ini terlihat seperti memiliki penis besar berwarna merah, lebih besar dari penisku. Cherry naik ke ranjang, membelai perut Vany dan melumat bibirnya. Vany mulai was-was.
“Ch.. Cherr? Mau ngapain.... Nnnhh... nh...” tanyanya.
“Tenang aja...” bisik Cherry, menjilat tangannya dan membasahi kepala ‘penis’ merahnya. Aku mengerti apa yang ingin dilakukan Cherry, sehingga aku melepas penisku dari dalam vagina Vany dan menusukkannya ke dalam anus Vany. Vany menggelinjang, terbelalak.
“Aaah... Kakk... Ch... Aaah? Ch... OOOHHH! Cherrryy!!”
Cherry telah menusukkan dildo merah besar itu ke dalam vagina adikku dan mulai menghujam-hujamkannya. Perut buncit mereka saling bergesek. Muka Vany merah padam. Ia memejamkan mata, menikmati double penetration pertamanya.
“Aaaannghh.. Annnhhh.. Aaannhhh...” desah Vany kuat-kuat. Anusnya menyempit tiap kali Cherry menusukkan dildonya ke dalam vagina Vany.
“Nhhh.. Oohh.. V... Vann.. Ini enakk...” desah Cherry. Ia melumat bibir adikku, sementara aku menciumi leher serta terus meremas dadanya. Kedua lubangnya penuh, terus-menerus bergantian ditusuk oleh penisku di anusnya dan dildo Cherry di vaginanya.
“NNGHHH.. Nggghhhh.. NNggghhhhhh... Nggghhhh...” lenguh Vany tak karuan. Badannya bergetar. Tiba-tiba Cherry menjerit. Aku tahu Vany baru saja mengeluarkan jurus spesialnya, membuat dildo merah itu bergetar kuat sekali, sehingga dildo yang masuk ke dalam vagina Cherry pun bergetar.
“Ngghhhhhh!!!!! NNGHHH!!! OOOHH!!”
Vany menjerit dan squirting kuat sekali hingga dildonya terlepas. Sesaat kemudian ia kembali squirting kencang-kencang. Tubuhnya terkulai bersandar padaku, masih gemetar hebat sekali. Kubelai perutnya dan kukecup kepalanya untuk menenangkannya.
“La... gi...” desah Vany, meminta lagi.
“Heh... Kamu udah lemes gitu...” kata Cherry.
“Lagii... Sekali... Lagi....” desaknya. Rupanya ia ketagihan.
“Terakhir ya...” bisikku.

Tak menunggu lama, kutegakkan tubuh adikku, kumasukkan penisku ke dalam vaginanya dari belakang. Vany menggelinjang. Setelah penisku mantap berada di dalam vaginanya, Cherry perlahan menusukkan dildonya kedalam vaginanya juga dari depan. Vany terbelalak, mulutnya menganga.
“Aaaaa... Aaahhhhh... Annnhhh..... Aannnhh!!!” desahnya saat dua batang besar memenuhi vaginanya yang sempit.
Perlahan-lahan, bergantian, aku dan Cherry mulai menusukkan senjata kami ke dalam vagina Vany. Vany menggeletar. Aku pun memejamkan mata, ini enak dan sempit sekali.
Hujaman kami semakin cepat. Aku tahu Cherry juga mempercepat tusukannya. Muka Vany kembali merah padam. Desahannya semakin kuat.
“Ngghh! Aannghh... Arghhh... Annhh!! Mmhhh!! Mngghh!!!!” desahnya tak karuan.
“Diit... Dit.. Gue mau.. Ngghh.. Kuarrr...” ujar Cherry, memejamkan mata, menggigit bibir bawahnya.
“Gue juga... Nnnhh.... V... Vannn?” kataku. Vany mengangguk liar.
“Hnnnghhh... Nhhgg!!” lenguh Vany tak karuan.
Hujamanku semakin kuat ke dalam vagina Vany. Tiba-tiba Vany mengeluarkan jurus spesialnya. Gelombang demi gelombang serangan memijat penisku dari dalam vaginanya. Aku tak tahan. Aku tahu Cherry juga sudah mencapai orgasmenya.
“Oooohh... Vvvvv... Vaaaaannn!!!”
Bertubi-tubi aku mengeluarkan spermaku ke dalam rahim Vany. Cherry dan Vany juga squirting bersamaan. Cherry merebahkan diri ke ranjang, terengah-engah. Aku masih meledakkan spermaku ke dalam Vany. Linu sekali rasanya sekarang penisku, sejak tadi dipaksa terus menerus mengeluarkan sperma.
Kucabut penisku dari tubuh adikku. Vany terengah-engah, matanya menatap kosong langit-langit ruangan, sepertinya sudah hilang kesadaran. Penisku masih tegak berdiri, masih meminta lagi.
Aku berbaring miring di belakang tubuh sahabatku. Kubuka strap-on nya, tapi kubiarkan dildo merah itu menancap di vaginanya. Kutampar pantat Cherry , kemudian kutusukkan penisku ke dalam anus Cherry. Bongkahan pantatnya yang montok membungkus, menjepit penisku erat-erat.
“Lu... Gi... la.... Aaahhh.. Annhh...” desahnya. Aku tersenyum.
“Habis ini gue pingsan kali,” kataku. Kupercepat hujamanku ke dalam anusnya. Cherry mendesah, menggelinjang, tangannya mengelus-elus perutnya yang buncit. Tangan kiriku merogoh dari bawah tubuhnya, ikut membelai perutnya. Tangan kananku memainkan dildo merah itu, menusuk-nusukkannya ke dalam vaginanya.
“Nnnnggghhh... Hunn... nny... Nngghhhh!” katanya.
“Ch... Cherrr... Cherrr gue mau keluarr.... Cherrr...” kataku semakin cepat, hujamanku semakin kencang. Kepalaku berdenyut-denyut rasanya. Cherry mengangguk, mengetatkan jepitan anusnya. Tanganku menhujam-hujamkan dildo semakin cepat ke dalam vaginanya.
“Aaaa..... AAAHH... AANNHH!!” jerit Cherry.
“Chhhh... Cherrryyyy!!!!”

Aku tak tahu berapa kali aku menyemprotkan spermaku ke dalam anus Cherry, yang pasti saat kucabut penisku, cairan putih meleleh keluar dari antara pantatnya yang super montok.

Kami bertiga berbaring telentang di ranjang, menatap langit-langit. Aku memejamkan mata. Gila... Hari ini sepertinya penisku bekerja lebih keras dari yang sudah-sudah. Sudah lemas sekarang, sudah puas.
Aku menoleh ke kiri, menatap Vany, adik cewekku yang seksi, yang sedang menatap kakaknya. Senyum lemah mengembang di wajahnya yang imut.
“.... Love you...” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“Love you too, Van...”

Aku menoleh ke kanan, menatap sahabatku Cherry, yang masih memejamkan mata rapat-rapat, menikmati sisa-sisa sensasinya. Kulitnya yang sawo matang tertimpa cahaya oranye matahari senja itu, terlihat mengkilat mirip emas.
“I love you, Dit...” ujarnya. Aku terbahak.
“I love the both of you...” kataku. Kupeluk keduanya. Kami terdiam, memejamkan mata, masih terengah.

Tiba-tiba kami mendengar bunyi seperti genderang perang yang ditabuh kencang sekali.

“Suara apaan, tuh?” tanya Vany, terbelalak. Cherry menggeleng.

Tiba-tiba terdengar lagi. Kali ini aku tertawa kencang-kencang.

“Itu suara perut kita! Laper!!” ujarku.
“Oooohhhh!! Yaelaaahh!!” ujar Vany. Cherry tertawa.
“Bener juga ya! Makanannya jangan-jangan udah dingin lagi kita tinggal ML gini!” ujar Cherry. Vany segera terduduk mendengar masakannya terancam bahaya.
“Oiya! Ayo cepet! Bangun!! Makan!!” tukasnya, segera berdiri dan memakai pakaian, meninggalkan ruangan. Aku terbahak-bahak melihat tingkah adikku.
“Yuk!” ajakku pada Cherry. Cherry mengangguk, nyengir lebar.


Malam itu dinner kami berjalan dengan luar biasa. Rasanya aku belum pernah makan malam sebahagia itu. Masakan Vany benar-benar sedap, dan kami bertiga makan dengan seru, ditingkahi canda satu sama lain. Seusai makan, kami pergi menonton bioskop bersama. Aku sadar beberapa orang menoleh dan menatap kami dengan tatapan heran karena selama berjalan aku menggandeng atau merangkul kedua gadis cantik yang sedang hamil ini di kanan dan kiriku, tapi aku benar-benar tak peduli; aku berjalan dengan adikku yang sexy dan sahabatku yang luar biasa cantik, dan keduanya mengandung anak-anakku. Hidup tak akan pernah sesempurna ini. Tentu saja kami mengakhiri malam itu dengan sekali lagi Threesome sepulang nonton, dan sepertinya jika seperti ini terus... Bisa-bisa kandungan Vany dan Cherry bisa bertambah satu janin lagi.... Oke itu tidak mungkin.

* * *

Semuanya berjalan lancar setelah itu. Ella lahir sebulan kemudian dengan sehat dan normal, tanpa cacat sedikit pun. Yang unik hanyalah kedua iris matanya yang terkena heterochromia iridium, sehingga membuat iris mata Ella berlainan warna; yang kanan berwarna biru, yang kiri berwarna hijau. Tapi selain itu tidak ada cacat sedikit pun. Vany pun sehat, dan setelah selesai semua perawatan, ia pun dapat kembali melanjutkan sekolahnya. Ella diurus oleh ibu dan ayahku.
Tiga bulan kemudian Cherry melahirkan sepasang anak kembar, 2-2nya perempuan. Aku memberi mereka nama Yuri dan Yuna. Cantik-cantik, mirip bule seperti ibunya. Keduanya diadopsi oleh sepupu Cherry. Aku dan Cherry resmi berpacaran setelah itu.
Kuliahku berjalan lancar. Aku kuliah sambil bekerja paruh-waktu sebagai fotografer di salah satu model agency dari Jepang. Cherry kuliah sambil mengajar dance di kampus dan di sebuah tempat kursus dance yang cukup terkemuka di Singapore. Setahun setelah semuanya, Cherry mengandung anakku untuk yang kedua kalinya, kali ini laki-laki, dan lahir pada bulan Oktober 2010. Aku menamainya Shinji. Sejak itu aku memutuskan untuk menikah dengan Cherry dan merawat anak ini. Setelah itu, Cherry kembali mengandung dan melahirkan dua orang anak perempuan lagi untukku, masing-masing berjarak setahun. Aku kembali menamai mereka berdua Yuri dan Yuna, seolah mendapat kembali anak-anak kembarku yang pertama yang diadopsi oleh sepupu Cherry.

Dan... Tentu saja. Aku masih tetap sering pulang ke Jakarta setiap ada kesempatan untuk menjenguk Vany dan Ella, juga mengundang mereka datang berkunjung ke Singapore (dengan seizin Cherry). Aku dan Vany masih sering ML, kadang-kadang threesome bersama Cherry. Vany bertumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik, sangat seksi. Dadanya tetap 34F, perutnya telah kembali langsing, lekuk tubuhnya semakin terbentuk, semakin banyak pria mengidam-idamkannya, tapi sayangnya... Vany tak pernah membuka hatinya untuk pria lain.

* * *

Kamis, 28 Juni 2012 - 9.00pm WIB
Jakarta, Indonesia

“.... And the prince and princess lived happily ever after. The end.”
Kututup buku cerita bergambar Snow White itu. Ella menatapku mengantuk dengan matanya yang unik, mulut mungilnya menyunggingkan senyum manis.
“Good night, Sayang...” kataku lembut sambil mengecup dahi anak perempuanku. Ella sudah berumur hampir 3 tahun.
“Good night, Papi...” bisik Ella. Memejamkan mata.
Kubenarkan selimutnya, dan dengan perlahan aku berjalan keluar kamar Ella, mematikan lampu. Sebelum keluar aku menoleh sekali lagi. Ella sudah tampak terlelap, memeluk boneka panda. Tersenyum, aku menutup pintu kamarnya perlahan.

Aku baru kembali ke Jakarta sore hari itu. Sudah dua bulan lebih aku tidak pulang. Kali ini aku kembali ke Jakarta untuk menghadiri wisuda dan prom night Vany, adikku. Tak terasa ia pun telah lulus SMA. Vany sudah diterima di Waseda University di Jepang, dan karena aku dan Cherry pun telah lulus kuliah, kami berencana untuk pindah ke Jepang bersama-sama; Aku, Cherry, Shinji, Yuri dan Yuna, juga Vany dan Ella. Aku akan bekerja di kantor pusat model agency-ku di Jepang sambil melanjutkan kuliah S2 di sana.

Aku masuk melalui pintu tembusan ke dalam kamarku, yang sekarang juga menjadi kamar Vany. Ayahku merenovasi rumah sedikit sejak kehadiran Ella, membuat kamar lama Vany menjadi kamar Ella dan kamarku menjadi kamar Vany. Ia pun mengizinkanku tidur sekamar dengan Vany bila aku kembali ke Jakarta.
Vany, 18 tahun sekarang, sedang memilah-milah baju untuk prom night esok malam. Beberapa gaun dan setelan bertebaran di atas ranjang kami, dan Vany yang mengenakan lingerie polos berwarna kuning muda agak transparant masih menatap lemari pakaian dengan tampang serius. Aku tersenyum geli, mendekatinya. Vany menoleh.
“Hai, Kak... Ella udah tidur?” tanyanya.
“Udah... Dia demen banget Snow White,” kataku, mengecup pipinya. Vany terkekeh.
“Iya... Tiap malem minta dibacainnya Snow White mulu...” jawabnya, kembali berkonsentrasi pada lemari pakaian.
“Haha... Pantes kulitnya putih banget kayak Snow White,” candaku sambil duduk di ranjang. Kulit Ella memang sangat putih mulus seperti susu, cenderung kemerahan.
“Kak, bagus ini atau ini?” Vany menunjukkan dua potong gaun: Satu sack dress berwarna ungu tua dengan motif kristal di bagian dada, satu lagi sheath dress polos berwarna hitam. Aku memperhatikan keduanya.
“Hmm... Kalo yang item ini apa nggak membuat kecemburuan sosial?” kataku. Vany terbahak.
“Hahahaha.. Iya sihh.. Toket segede ini...” katanya. “Tapi kalo ditutupin selendang gitu? Ato cardigan?”
“Acaranya di mana sih?” tanyaku.
“Kempinski Ballroom... Grand Indonesia itu loh,” jawab Vany, kembali memutar badan menghadap lemari.

Aku memperhatikan adikku dari belakang. Aku bisa melihat bongkahan pantatnya dari balik daster ini... Benar-benar seksi adik cewekku ini. Tapi semenjak tadi sore saat ia menjemputku di airport, aku seperti melihat sesuatu yang berbeda darinya. Apa ya?

“Ah! Ini aja deh!” Vany berbalik dan menunjukkan cocktail dress berwarna biru langit dengan motif batik berwarna sama di bagian kanan bawah. Vany mendekatkan dress itu ke badannya. Cocok sekali.
“Hmm... Ini bagus!” ujarku jujur. Vany nyengir senang, menggantung dress itu pada pintu lemari pakaiannya dengan riang.
“Kakak besok dance sama aku ya...” pintanya. Aku tertawa.
“Hahaha... Vaann... Kamu tuh udah minta 15 ribu kali, kali...” kataku melebih-lebihkan. Vany memang sudah sangat sering memintaku untuk berdance dengannya saat prom night. Vany tertawa.
“Iiihhh.. Mendramatisir!” ujarnya. Ia berjalan mendekatiku, mengalungkan tangannya di sekeliling leherku, mengecup bibirku.
“Aku sayang Kakak...” katanya lembut.
“I love you too, Van...” jawabku. Aku memandangi matanya yang sipit. Rupanya Vany menangkap sesuatu dari mataku.
“Kak... Ada apa?” tanyanya. Aku tersenyum.
“Kamuu... Agak lain. Jujur,” jawabku. Senyuman Vany semakin lebar.
“Ih, Kakak... Masa dari tadi belom nyadar juga,” katanya nakal. Aku semakin heran.
“Hmm? Nyadar apa?”

Vany menatapku, menggelengkan kepala pura-pura kesal. Perlahan, Vany melepas tali pundaknya lingerienya, dan membiarkan lingerie itu jatuh perlahan ke lantai, menampakkan tubuhnya yang sudah matang sekarang; dadanya yang bulat penuh dengan puting yang coklat muda sempurna... Dan... Perutnya...?

“Aku hamil, Kak... 2 bulan...” katanya. Muka Vany merona merah. Tangannya mengelus perutnya yang baru sedikit membuncit. “Baru tau 3 hari yang lalu, koq...”
“... Van... Kamu... Hamil lagi?” tanyaku terbata, terkejut. Rasa senang merayapi tubuhku. Tapi tak ada rasa takut kali ini. Vany mengangguk, nyengir lebar.
“Semoga yang ini cowok ya...” bisiknya, duduk di atas pangkuanku, mencium bibir kakaknya. Kupeluk erat adikku yang seksi ini, kuremas pantatnya. Pikiran dan perasaanku bercampur aduk; senang, kaget... Semuanya. Astagah... Padahal 2 bulan lalu kami hanya ML satu kali.
“Van...”
“Hmm...?”
“I... I love you, Vany...” aku terbata. Vany tersenyum manis, memelukku erat.
“I’m forever yours, Kak...”

9.
Rabu, 18 Mei 2022 – 5.45pm JST
Tokyo, Japan

“Mmmhhh!.... Mnggh!”
Kuremas pantat mungil yang montok itu.
“Aaahh... Nggh... Oohh.. Osoi.... Sh.. Shite kudasai (pelan-pelan...)”
Mulutnya yang mungil menganga, mengeluarkan desahan panjang.
“Nhhh... Mhh... ini s.... sempi... t... sekali... Mmhh!” ujarku, tercekat.
Tanganku meremas dadanya yang sangat bulat, 30D... Putingnya yang merah jambu tegak berdiri, menantangku untuk menjilatinya. Tubuh gadis mungil itu bersimbah keringat, bergerak naik-turun di atasku.
“Oohh... Ngghh... K... Kim.... Och... i... Enn.. ak banget...”
Vaginanya yang mulus tak berbulu membungkus penisku, menerima hujaman demi hujaman keras ke dalam rahimnya.
“Aahh.. Anghh... Annh... P.... Pa...”
Matanya setengah terpejam menikmati, tapi masih menampakkan irisnya yang biru dan hijau cantik.
“Aahh... Aah... P... Papiii...”
Marcella mendongak, memejamkan mata. Kuciumi lehernya yang kurus dan jenjang. Rambut hitam panjangnya tergerai, kontras dengan kulitnya yang sangat putih mulus seperti susu.
“Ell... Ella... Papi mau... Keluar... Ngh...” kataku, tertahan.
“Nggh?? Lagi...? Mmmnhh... Papi... Tung.. Tunggu.. Bentar... Nhh... Bareng...” kata Ella. Ciumanku pindah ke pundaknya, genjotanku makin cepat menghantam rahimnya.
“Nnnhh... Ga... Tahann... Ella.... Ell... ELLA... AAH...”
Kuledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Satu, dua, empat, enam, tujuh.. Tak berhenti-berhenti.
“Paapp... Pappii... NNGGH... AAHHHH!!!”
Ella orgame untuk yang kelima kalinya dan squirting sangat kencang hingga penisku terlepas dari vaginanya. Ella menyemprotkan cairan bening itu berkali-kali. Air susu juga menyemprot keluar dari putingnya. Ia terkulai lemas di atas ranjang, terengah-engah, memejamkan mata. Penisku masih tegak berdiri, masih meminta lagi.

“Hhh... Hh... Mmhh... Papiii... Masih mau lagii?” tanyanya lemas. Tapi mukanya merona merah segar. Aku tersenyum dan mengangguk. Ella menggeleng.
“Pantes dulu Mami Vany sampe mau sama Papi... Kuat banget...” katanya. Aku tertawa.
“Sampe sekarang juga masih mau,” belaku. Kukecup bibir anakku perlahan. “... Mami Cherry juga mau koq.”
“Papi sih parah loh...” kata Ella.
“Kenapa?”
“Udah ngehamilin adek sendiri... Dua kali, lagi...” katanya pura-pura merajuk. “...Terus anak sendiri di ML-in sejak umur 9 taon belom tau apa-apa... Sekarang sampe hamil segala...”

Aku tertawa. Kebelai perut Ella yang sangat buncit, tak sebanding dengan tubuh mungilnya dan wajahnya yang polos. Ella, anakku yang sekarang berusia 13 tahun, sedang 7 bulan mengandung anakku, ayahnya.
“Siapa suruh punya toket kayak gini...” kataku, meremas dadanya yang super bulat dan menggiurkan. Air susu mengalir dari kedua putingnya yang mungil. Ella mengernyit.
“Maminya aja kayak gitu...” belanya. Aku tertawa. Kucium bibir Ella, yang langsung memasukkan lidahnya, membelit lidahku.
“Tetep aja Papi yang parah...” katanya setelah melepas ciuman.
“Tapi kamu seneng di-parah-in... Parahan siapa hayo...” belaku.
Ella tertawa renyah, mirip sekali dengan tawa ibunya.
“Siapa suruh senjatanya 28cm gini...” balasnya sambil menatap mataku dalam-dalam. Kutatap mata anakku. Aku tak pernah berhenti menyukai matanya yang berlainan warna. Matanya selalu menyihirku.

“Ayo cepet, ah! Ntar kalo mami-mami pada pulang bisa-bisa minta ikutan... Papi ga kuat ntar...” ujarku, terlepas dari lamunanku.
Kubalikkan badan Ella perlahan hingga tertelungkup. Ella menungging otomatis. Kutepuk pantat mungil anakku yang putih mulus, kutusukkan penisku ke dalam anusnya, sempit sekali.
“Nnnnngghh.. Iihh... Papi...”